Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dengan fakta tersebut, Indonesia memiliki potensi yang besar dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan pengembangan perekonomian nasional. Salah satu wujudnya adalah melalui instrumen wakaf.
Menurut data dari Kementerian Agama RI, saat ini, aset wakaf berupa tanah mencapai lebih dari 3 miliar meter persegi, yang tersebar di lebih dari 420 ribu lokasi di seluruh Indonesia, dengan total nilai lebih dari Rp 600 triliun.
Namun sangat disayangkan, sebagian besar dari tanah wakaf tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal, sehingga peran sosial-ekonomi aset wakaf belum dapat dirasakan oleh umat Islam, khususnya masyarakat miskin Indonesia, yang menurut data BPS pada Maret 2013, mencapai 28,07 juta orang atau 11,37 persen.
Untuk memosisikan aset wakaf kepada peran sosial-ekonomi yang lebih besar, setidaknya tiga poin di bawah ini dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan aset wakaf.
Pertama, Diperlukan paradigma baru
Sebuah paradigma menjadikan manfaat aset wakaf bukan saja untuk kepentingan ibadah atau sosial semata (membangun masjid, panti asuhan, atau untuk tanah pekuburan), namun juga harus bisa membangun ekonomi untuk kemaslahatan yang lebih besar, khususnya mengentaskan masyarakat dari kubangan kemiskinan.
Cara pandang masyarakat yang masih tradisional tentang wakaf perlu diubah. Pengelolaan wakaf produktif yang profesional harus terus digalakkan.
Seperti pengembangan unit-unit usaha yang lebih variatif yang hasilnya nanti diperuntukkan bagi kemaslahatan umat. Indonesia seyogianya belajar dari negara-negara yang pengelolaan aset wakaf produktifnya dikelola dengan profesional.
Saudi Arabia misalnya, melalui International Islamic Relief Organization Saudi Arabia (IIROSA), telah meluncurkan enam proyek di Makkah.
Proyek tersebut di antaranya pembangunan hotel 30 lantai yang keuntungannya digunakan untuk membiayai anak-anak yatim di 28 negara, pembangunan gedung pendidikan 22 lantai yang keuntungannya digunakan untuk membiayai 30 institusi pendidikan di seluruh dunia, dan pembangunan Rumah Sakit 25 lantai yang keuntungannya diperuntukkan bagi kepentingan kesehatan 33 juta orang di 285 rumah sakit.
Kedua, Perlunya meningkatkan kapasitas Nadzir.
Nadzir, selaku pemegang amanat memelihara dan mengelola harta wakaf, perlu memiliki pemahaman lebih maju dan produktif. Tak sekadar memahami ilmu agama dan amanah, ia juga mesti memiliki jiwa wirausaha ( entrepreneurship) sehingga menjadi lokomotif bagi pengembangan dan pemberdayaan aset wakaf.
Ketua Badan Wakaf Indonesia, KH. Thalhah Hasan pernah mengatakan, “Para nadzir atau pengelola wakaf yang profesional hanya berjumlah 30 persen, sementara 70 persen sisanya kurang profesional. Berdasarkan data ini wajar dalam pendayagunaan wakaf di Indonesia kurang produktif.”
Ketiga, Perlunya menggali potensi wakaf tunai
Wakaf tunai menawarkan banyak kemudahan. Dengan adanya wakaf tunai, umat Islam akan lebih mudah memberikan kontribusi dalam wakaf tanpa harus menunggu modal dalam jumlah besar seperti mewakafkan tanah atau properti lainnya.
Wakaf tunai tidak boleh disalurkan sampai habis, melainkan harus diinvestasikan pada sektor yang menguntungkan. Keuntungan inilah yang akan dinikmati oleh masyarakat atau digunakan untuk membangun aset wakaf yang sudah ada atau untuk membeli aset wakaf baru.
Terkait dengan jumlah wakaf tanah yang sangat besar di Indonesia ini, yang belum dikelola secara produktif, maka wakaf tunai ini dapat dijadikan modal usaha untuk pengelolaan tanah tersebut.
Wakaf produktif tersebut dapat dijadikan sebagai lahan pertanian modern, pendirian sentra-sentra pendidikan dan kesehatan, pembangunan dan pengelolaan hotel islam atau sentra-sentra usaha lainnya. (rol)
Losa Priyaman
Direktur Keuangan dan Umum Dompet Dhuafa