Gagasan Penyusunan Laporan Keuangan Bagi Nazhir Profesional

Oleh Prof. Dr. Suparman IA, M.Sc

dan Ahmad Nizar, SE.

 

Dua laporan sumber dan penggunaan dana wakaf di bawah ini (gambar 1) merupakan laporan penerimaan dana wakaf yang dikelola oleh nazhir wakaf, katakanlah A dan B. Laporan ini ternyata telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik, sebut saja XYZ. Laporan itu adalah gambaran dana dari hasil pengelolaan wakaf uang yang sudah siap untuk dibagikan kepada mauquf alaih yang sudah dikurangi biaya-biaya administrasi serta penerimaan yang dapat diambil oleh nazhir (pengelola wakaf) sebesar 10% hasil bersih pengelolaan wakaf (pasal 12 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf).

 

Gambar 1

 

Laporan keuangan tersebut tidak ada bedanya dengan laporan keuangan secara konvensional, seperti laporan keuangan pengelolaan zakat, infaq dan shodaqoh. Dalam hal ini, lembaga yang diaudit merupakan amil untuk zakat, infaq dan shodaqoh. Lembaga-lembaga tersebut berperan sebagai penyalur dana hasil pengelolaan wakaf yang disetorkan oleh para nazhir (pengelola wakaf). Oleh karena itu, lembaga tersebut tidak berfungsi sebagai nazhir pada kasus laporan keuangan ini (gambar 1).

Apabila lembaga ini (A dan B) atau lembaga lain, perorangan ataupun organisasi dan badan hukum yang berperan sebagai nazhir, disarankan laporan keuangannya akan menyertakan nilai wakaf uang yang dikelolanya. Untuk itu Badan Wakaf Indonesia (BWI)  telah menyiapkan rancangan laporan keuangan untuk para nazhir professional dalam mengelola harta benda wakaf termasuk wakaf uang sesuai dengan aturan yang berlaku, misalnya seorang nazhir dalam mengelola wakaf uang boleh mendapatkan haknya sebesar 10% dari hasil bersih pengelolaan wakaf.
 

Gambar 2

 

Rancangan laporan keuangan pada gambar 2 masih bersifat draf, karenanya pembaca dapat memberikan input untuk perbaikan. Laporan keuangan ini pengakuan nilai wakafnya berbeda seperti yang terlihat pada gambar 1.

Pada gambar 1, pengakuan wakafnya terletak di sumber dan penggunaan dana. Dengan kata lain, pengakuannnya sama dengan akuntansi zakat. Sedangkan gambar 2 (draf laporan keuangan BWI), pengakuan wakafnya terletak pada laporan posisi keuangan (neraca). Pada posisi keuangan gambar 2, wakaf ditempatkan dalam aktiva tersendiri yaitu Aktiva Wakaf, sedangkan rekening lawannya diposisi kewajiban di akun wakaf  dan dibedakan sesuai jangka waktunya.

Metode pencatatan Badan Wakaf Indonesia ini dapat menjaga dan mengembangkan nilai wakaf sesuai konsep wakaf yaitu menahan pokoknya dan menyalurkan manfaatnya, serta sesuai dengan amanat peraturan wakaf yang menyebutkan, “Nazhir perseorangan, organisasi maupun badan hukum memiliki daftar kekayaan harta benda wakaf yang terpisah dari kekayaan lain atau yang merupakan kekayaan nazhir perseorangan, organisasi dan badan hukum”.

Dengan metode terbaru ini, laporan keuangan pengelola wakaf terlihat lebih transparan, akuntabel, mudah dimengerti stakeholder, dapat dipadukan dengan akuntansi lain (akuntansi perusahaan, perbankan, nirlaba dan zakat), serta sesuai dengan amanah UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No.42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya. Selain itu, laporan keuangan ini juga sedang dikembangkan agar dapat menyajikan laporan pengelolaan wakaf produktif dan penyaluran manfaatnya.

Nantinya, model Laporan Keuangan ini diharapkan menjadi Standar Akuntansi Wakaf di Indonesia bahkan di dunia, karena dapat mengakomodir kewajiban dan hak nazhir dalam rangka mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis wakaf (from liabilities to asset) dan tidak menutup kemungkinan untuk dijadikan buku akuntansi wakaf.

Pada peraturan yang ada, khusus wakaf uang diatur dalam mata uang rupiah, termasuk jika orang asing wakaf dalam bentuk mata uang asing harus dikonversi dahulu kedalam mata uang rupiah (Pasal 22 PP No.42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaannya).

Konsekwensi dari peraturan wakaf uang ini dalam jangka panjang akan berakibat bahwa nilai wakaf uang tetap, tetapi daya belinya akan menyusut seiring dengan waktu yang berjalan. Oleh karenanya, para anggota BWI dan para cendikia termasuk pengamat wakaf sedang memikirkan bagaimana nilai wakaf uang mempunyai Net Present Value (NPV) tetap.

Dengan begitu, diharapkan nilai wakaf uang sekarang ataupun di masa mendatang mempunyai daya beli yang sama. Dua diantaranya untuk menjaga NPV nilai wakaf uang tersebut adalah dengan mengkonversikan ke dalam logam mulia (emas) dan menempatkannya dalam bentuk deposito.

Contoh:
1. Jika dapat wakaf uang Rp.1.000.000,- pada tahun 2008 dikonversikan menjadi emas sebesar 2,5 gram (asumsi 1 gram = Rp. 400.000). Maka pada tahun 2018, nilai wakaf uang tersebut menjadi Rp.2.000.000 mengikuti harga emas pada tahun tersebut dengan asumsi tahun tersebut nilai emas meningkat menjadi Rp.800.000,-.

2. Jika dapat wakaf uang Rp.1.000.000,- pada tahun 2008 ditempatkan dalam bentuk deposito bank syariah (asumsi nisbah tetap 10% per tahun). Maka pada tahun 2018, nilai wakaf uang tersebut menjadi Rp.2.000.000,- karena adanya penambahan nisbah tetap 10% selama 10 tahun sebesar Rp.1.000.000,-.

Dalam hal ini, nazhir wakaf produktif khususnya dalam bentuk wakaf uang harus memenuhi semua persyaratan sebagai nazhir profesional yang berjiwa social enterprenuer yang dapat mengubah wakaf yang awalnya tidak ekonomis menjadi asset yang bernilai dan dapat menghasilkan manfaat (from liabilities to asset). []

 

* Penulis: Prof. Dr. Suparman IA, M.Sc, Bendahara BWI; dan Ahmad Nizar, SE, Akuntan BWI.

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *