Sejarah Awal Mula Wakaf

Dalam sejarah Islam, wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah Nabi hijrah ke Madinah pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut sebagian ulama, yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW, yakni mewakafkan tanah milik Nabi SAW untuk dibangun masjid.

Pendapat ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata, Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin menga takan adalah wakaf Umar, sedangkan orang- orang Ansor mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW.

Pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa Sayyidina Umar adalah orang pertama yang melaksanakan syariat wakaf berdasar pada hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar yang berkata, Bahwa sahabat Umar RA, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar RA, menghadap

Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, umar berkata: ‘Hai Rasulullah SAW, saya mendapat sebi dang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?’ Rasulullah SAW bersabda: Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibah kan, dan tidak diwariskan.


Ibnu Umar berkata lagi: Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah Ibnu sabil, dan tamu, dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau member makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta.

Selain Umar, Rasulullah juga mewakafkan tujuh kebun kurma di Madinah di antaranya ialah kebun A’raf Shafiyah, Dalal, Barqah, dan lainnya. Nabi juga mewakafkan perkebunan Mukhairik, yang telah menjadi milik beliau setelah terbunuhnya Mukhairik ketika Perang Uhud. Beliau menyisihkan sebagian keuntungan dari perkebunan itu untuk member nafkah keluarganya selama satu tahun, sedangkan sisanya untuk membeli kuda perang, senjata dan untuk kepentingan kaum Muslimin. Mayoritas ahli fikih mengatakan bahwa peristiwa ini disebut wakaf.

Editor    : Khayun Ahmad

Penulis: Taufik Hidayat

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

satu Respon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *