Penulis : H. Hendri Tanjung, Ph.D
( Anggota Badan Wakaf Indonesia)
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 183 yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana diwajibkan pada orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertaqwa”. Ayat ini menegaskan bahwa taqwa adalah tujuan dari puasa itu sendiri.
Sebenarnya, apa puasa itu? Dalam hadits riwayat Bukhori dan Muslim, Puasa didefenisikan sebagai meninggalkan makan, minum dan syahwat. Makan minum adalah urusan perut, dan syahwat urusan bawah perut. Kedua hal ini (perut dan bawah perut) harus dikendalikan. Bagaimana mengendalikan urusan perut? Jawabannya adalah dengan Puasa.
Puasa akan mengendalikan konsumsi kita (makan dan minum). Ada 5 prinsip konsumsi dalam Islam yang harus kita pahami dan amalkan. Pertama, prinsip keadilan yaitu tidak menzolimi diri sendiri. Makan makanan yang haram termasuk menzolimi diri sendiri. Oleh karena itu, Allah memerintahkan manusia untuk memakan makanan yang halal dan baik saja. Allah berfirman dalan Qs Al baqarah ayat 168:” Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
Kedua, prinsip kebersihan, diantaranya mencuci tangan sebelum makan. Dari Salman al Farisi r.a, Rasulullah S.A.W, “Keberkahan makanan terletak pada (mencuci tangan) sebelum dan sesudah makan.” (Hr. Abu Dawud dan Tirmidzi). Bahkan sekarang, dalam kondisi wabah covid-19 ini, mencuci tangan menjadi keharusan setiap orang, sampai-sampai di sakunya terdapat hand-sanitizer.
Ketiga, prinsip kesederhanaan, tidak mubazzir. Allah berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 31 yang artinya:” Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.
Keempat, prinsip kemurahan hati. Allah begitu pemurah kepada hamba-hambanya, maka dalam mengkonsumsi pun kita harus pemurah kepada sesama. Dalam surat Al-Maidah ayat 96, Dengan Pemurahnya, Allah telah menyediakan lautan untuk penghidupan manusia dengan mengkonsumsi hewan yang hidup dilaut dan ikan-ikan (seafood).
Kelima, prinsip moralitas. Ternyata, apa yang kita makan akan menjadi karakter dan tabiat kita. Allah telah melarang kita minum khamar dan berjudi, karena akan menyebabkan timbulnya permusuhan dan kebencian, serta menghalangi dari ingat Allah dan sholat. Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 91 yang artinya: “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)”.
Puasa di bulan Ramadhan ini mengendalikan semua konsumsi makan dan minum kita pada 5 prinsip diatas. Meskipun yang dimakan halal, mestilah tidak mubazzir atau berlebih-lebihan.
Mengendalikan nafsu syahwatpun (urusan bawah perut), adalah dengan puasa. Dalam pengertian lebih luas, ketamakan terhadap harta, wanita, dan kekuasaan (tahta), merupakan urusan syahwat. Ada orang yang syahwat kepada harta sangat tinggi, namun kepada wanita dan tahta, tidak. Ada juga yang syahwatnya kepada wanita tinggi, namun terhadap harta dan tahta tidak. Tapi, ada juga yang berkumpul semua ketamakan syahwat itu pada satu orang. Melalui puasa, ketamakan kepada syahwat (harta, tahta dan wanita) itu, dikendalikan.
Dampak ekonomi Puasa
Dengan mengurangi nafsu untuk makan dan minum berlebihan, maka akan bedampak pada ekonomi itu sendiri. Misalnya, dengan puasa, dapat dilakukan penghematan-penghematan. Apabila penghematan ini dilakukan secara massif, maka alokasi dana yang dapat diberikan untuk membantu kaum dhuafa akan besar dan signifikan.
Penulis ingat sekali ketika buka puasa pertama kali di Islamabad, Pakistan pada tahun 2004. Penulis diundang oleh teman untuk buka puasa bersama. Dalam bayangan penulis, pasti terhidang menu berbuka yang lezat dan banyak. Aneka makanan lezat segera menggelayut dalam bayang angan-angan penulis. Kalau di Indonesia, maka kolak dan gorengan adalah makanan berbuka yang hampir selalu ada. Ternyata, bayangan tersebut hanya tinggal bayangan. Buyar semua angan dan harapan. Yang terhidang hanya satu menu: buah apel dingin dipotong kecil-kecil dan diletakkan di piring kecil. Air minumnya, air putih yang dingin. Saat itu, bulan Nopember, penghujung musim gugur dan masuknya musim dingin. Berbuka puasa hanya dengan air putih yang dingin, membuat hati penulis jadi dingin. Penulis menggigit rasa kecewa keras-keras. Mencoba tersenyum dengan menertawai diri sendiri yang telah berharap terlampau besar pada menu berbuka yang melimpah dan lezat.
Namun, setelah beberapa lama, penulis berpikir, jangan-jangan berbuka puasa seperti itulah yang Sunnah. Sederhana menunya, dan hemat belanjanya.
Mari kita simulasikan beberapa penghematan yang dilakukan dengan mengurangi menu buka puasa. Data yang digunakan adalah data BPS: Jumlah penduduk Indonesia tahun 2020 = 271.066.400 jiwa (BPS). jumlah orang miskin = 24.785.870 orang (9,14%). Penduduk muslim = 229.620.000 jiwa (84,7%). Jumlah jiwa per kepala keluarga (KK) = 4,7 jiwa. Dengan data diatas, dibuat 5 simulasi, jika penghematan berbuka puasa sebesar Seribu rupiah, lima ribu rupiah, 10 ribu rupiah, 20 ribu rupiah dan 50 ribu rupiah per KK yang tidak miskin. Adapun simulasi sederhananya, dapat dilihat pada Tabel 1.
Dari table 1 jelas terlihat bahwa ada 5 simulasi dengan penghematan 1.000, 5.000, 10.000, 20.000 dan 50.000 rupiah. Kita ambil saja mediannya, Rp. 10,000. Dengan penghematan sepuluh ribu rupiah saja per KK dalam sehari, karena mengurangi menu buka puasanya, maka akan dapat memberikan donasi kepada keluarga miskin sebesar hampir tiga juta rupiah per KK.
Tabel 1. Simulasi penghematan buka puasa dan donasi kepada kaum dhuafa.
Seandainya masih berat juga menghemat sepuluh ribu, cobalah dengan penghematan lima ribu rupiah. Hanya dengan menghemat Rp. 5.000,- saja perhari, maka kaum dhuafa akan mendapat donasi sebesar hampir satu setengah juta rupiah. Untuk kondisi wabah covid sekarang, yang membuat orang kehilangan pekerjaan, maka uang sebanyak satu setengah juta tersebut akan sangat berharga.
Hitungan diatas adalah hitungan manusia, bukan hitungan Allah. Apabila hitungan Allah digunakan, maka setiap KK yang berinfaq seribu rupiah, maka akan diganjar oleh Allah dengan pahala 700.000. Apabila berinfak 5.000,- akan diganjar dengan pahala 3,5 juta dan apabila berinfaq 10 ribu, akan diganjar dengan pahala tujuh juta. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 261 yang artinya: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Melihat dampak ekonomi puasa terhadap kaum dhu’afa dan pahala yang diperoleh dengan bersedekah dari Allah seperti yang diuraikan diatas, rasa-rasanya, tidak ada alasan bagi kita muslim yang beriman untuk tidak bersedekah. Mari kita mulai dengan gerakan menghemat menu berbuka sebesar Rp 10.000 perhari. Penulis menyebutnya GASEBU (GerAkan menghemat SEpuluh riBU). Di akhir bulan Ramadhan, kita berikan uang yang dihemat itu sebagai sedekah (di luar zakat harta) kepada lembaga zakat untuk disalurkan kepada kaum dhuafa. Penulis yakin, pembaca adalah salah satu dari orang-orang yang bersedekah.
2 Responses
Semoga kita semua bisa menjadi orang yang bertaqwa
Amiin, semoga istiqomah selalu