Upaya pemberlakuan kurikulum wakaf secara nasional, mulai dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai perguruan tinggi, membutuhkan kemauan politik pemerintah. Komitmen pemerintah menentukan cepat atau lambatnya kurikulum wakaf diberlakukan di dunia pendidikan.
Komisioner Badan Wakaf Indonesia (BWI) Susono Yusuf menegaskan hal itu kepada Republika, Rabu (24/3). “Sebetulnya political will dari pemerintah yang kita harapkan karena inilah yang akan menentukan,” kata dia.
Susono menjelaskan, BWI telah merumuskan kurikulum wakaf berstandar nasional, mulai dari tingkat SD sampai perguruan tinggi. Rumusan ini disusun berdasarkan masukan dari pakar kurikulum dan pakar ilmu wakaf dari perguruan tinggi yang memiliki program studi (prodi) zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ziswaf). Rumusan itu kemudian disampaikan ke Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
“Mereka sebetulnya merespons positif, tetapi ada kendala dana dari BWI untuk mengorganisasi apa yang dihasilkan dari forum tersebut, kemudian tidak jalan. Jadi, sudah pernah gagasan itu dirumuskan dalam bentuk brainstorming,” ujar dia.
Saat ini, Susono melanjutkan, memang sudah ada materi wakaf dalam kurikulum pendidikan, tetapi porsinya masih kecil dan belum berstandar nasional sebagaimana yang diinginkan BWI. BWI, menurut dia, punya materi wakaf yang diharapkan masuk ke dalam kurikulum, baik SD, sekolah menengah, maupun perguruan tinggi.
Di perguruan tinggi, dia melanjutkan, sudah ada prodi ziswaf, tetapi belum seragam secara nasional. Setelah ditinjau, rumusannya sendiri-sendiri sehingga perlu rumusan kurikulum ziswaf yang berstandar sama secara nasional.
“BWI berharap Kemenag dan Kemendikbud bisa bekerja sama untuk bisa mengegolkan ini,” katanya.
Susono menyampaikan, kurikulum wakaf penting untuk penguatan literasi di kalangan pelajar dan mahasiswa. Bila pelajar mengenal wakaf sejak dini, hal itu menjadi investasi sumber daya manusia (SDM) wakaf agar pada masa depan bisa turut berkiprah memajukan perwakafan nasional.
Saat diminta tanggapannya, Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf Kemenag Tarmizi Tohor mengatakan, kurikulum wakaf, mulai dari jenjang SD hingga perguruan tinggi, masih dalam tahap wacana karena terkendala aspek regulasi.
“Namun, sejak 2019 dan khususnya pada masa pandemi Covid-19, kami Kementerian Agama telah melakukan edukasi wakaf yang sangat masif,” ujar Tarmizi.
Sementara, Ketua Dewan Pembina Asosiasi Yayasan Pendidikan Islam (AYPI) Afrizal Sinaro menyambut baik gagasan untuk memasukkan wakaf dalam kurikulum pendidikan. Ia menilai, selama ini pelajaran yang khusus membahas tentang wakaf masih sangat kurang.
“Wakaf selama ini sangat kurang sosialisasinya dari guru atau dosen,” kata dia.
Menurut dia, pemerintah bersama BWI bisa merumuskan kurikulum yang terpadu dan terintegrasi dalam penyusunan mata pelajaran (mapel) wakaf. “Untuk wakaf ini bisa dimasukkan dalam mapel agama Islam. Artinya, sekolah tidak perlu menambah mapel sendiri tentang wakaf ini.”