Semarang – Konsep pengelolaan wakaf dan kemandirian pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, Jawa Timur, dapat menjadi acuan bagi pondok pesantren lain. Sebab, pondok tersebut mampu memetakan mana hak milik lembaga dan mana milik lainnya.
Hal itu disampaikan promovendus doktor studi Islam IAIN Walisongo Semarang, Nurul Iman LC MHI, pada ujian disertasi terbuka, (27/12), di kampus tersebut.
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Ponorogo itu mengatakan, sejak Pondok Gontor menyebut dirinya sebagai pesantren wakaf, berakibat pada perubahan kepemilikan dari milik pribadi menjadi milik institusi.
”Dari situlah ahli waris tidak mempunya hak. Pengelolaan pondok tidak lagi didominasi keluarga pendiri tapi atas dasar AD/ART di lembaga pondok tersebut,” kata Nurul, di hadapan promotor dan para penguji yang diketuai Rektor IAIN Walisongo Prof Muhibbin.
Kokoh
Temuan mendasar dalam penelitian yang berjudul ”Wakaf dan Kemandirian Pendidikan (Studi Pengelolaan Wakaf di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo)” itu adalah sumbangan aspek materiil Rp 19 miliar per tahun yang sebenarnya hanya merupakan bentuk fisik. Adapun sesuatu yang berharga sebenarnya adalah sumbangan pengelolaan wakaf secara non-materil.
Menurut lelaki kelahiran 4 Februari 1972 itu, manajemen pondok dan unit usaha di Pondok Gontor memiliki dasar yang sangat kokoh dalam operasionalnya, Karena itu, perwakafan yang dilakukan secara profesional akan mampu menyejahterakan nazir.
”Nazir di pondok merupakan profesi yang tidak digaji tapi ditekuni,” ungkap suami dari Amalia Sulfana itu.
Karena itu, pengelolaan wakaf di Pondok Gontor telah memberikan sumbangan dalam membangun kemandirian pendidikan. Selain itu, capaian materiil dalam pengelolaan wakaf juga diakui para pengelolanya turut berkontribusi terhadap kemandirian pondok dan memberikan sumbangan terhadap kesuksesan berbagai program. (suaramerdeka)