Wakaf yang telah dilakukan oleh Habib Bugak Asyi (baca: Aceh) pada tahun 1224 H atau 1800 M. Dengan adanya dana wakaf Baitul Asyi ini, hingga 200 tahun setelahnya, yaitu tahun 2019 lalu setiap jamaah haji dari Aceh mendapatkan 1200 riyal atau Rp 4,5 juta dengan total sekitar Rp 22 miliar untuk 4.688 jamaah.

Penerbitan Undang-undang Wakaf Nomor 41 tahun 2004 juga menjadi momentum berkembangnya pengelolaan perwakafan di Indonesia ke arah yang lebih baik dan profesional.

Pada tahun 2021, Indonesia juga telah menduduki peringkat pertama sebagai negara paling dermawan di dunia menurut Charities Aid Foundation (CAF) World Giving Index 2021.

Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) sebelumnya diluncurkan pada 25 Januari 2021, oleh Presiden RI Joko Widodo bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Tujuannya agar aset wakaf umat tidak hanya berupa benda tidak bergerak dengan tujuan terbatas, tapi dapat dimanfaatkan sebagai sarana mengurangi ketimpangan sosial dan kemiskinan, upaya untuk memperkuat solidaritas dan sosial, upaya meningkatkan literasi keuangan syariah dan upaya memperluas transformasi wakaf yang modern, transparan dan profesional.

Menurut data SIWAK MORA (2021) hingga Juni 2021, wakaf tanah terdapat pada 398.488 lokasi dengan luas 53.249 Ha dengan rincian penggunaan wakaf 72,6 persen untuk masjid, 14,3 persen untuk madrasah, 4,4 persen untuk kuburan, dan 8,7 persen untuk lain-lain.

Namun untuk pemanfaatan secara komersil masih tergolong rendah meskipun antara 10-20 persen dari lahan tersebut berada pada posisi strategis.

Namun untuk wakaf uang pengumpulannya masih belum mencapai target dikarenakan masih rendahnya indeks literasi wakaf, yaitu sebesar 50.48.

Perencanaan keuangan pribadi untuk wakaf menjadi salah satu langkah mudah untuk dapat berkontribusi untuk sosial sekaligus mengukuhkan pasif pahala yang bisa kita nikmati hingga hari akhir.

Berikut tahapan mewujudkannya:

  1. Mengevaluasi aset dan arus kas yang dimiliki;
  2. Mengalokasikan sejumlah uang secara rutin setiap periode untuk anggaran berwakaf;
  3. Menentukan pilihan model berwakaf yang diinginkan oleh wakif. Di antaranya wakaf pada proyek sosial, sektor usaha (riil), maupun wakaf melalui instrumen keuangan;
  4. Menentukan periode waktu perencanaan, misalnya selama 5, 10, 15 tahun, dan seterusnya;
  5. Memilih pihak yang akan mengelola dan menerima wakaf; Mengevaluasi kinerja pengelolaan wakaf yang dilakukan nazhir secara periodik;
  6. Mengajak anggota keluarga untuk juga berpartisipasi.

Berikut adalah penjelasan tentang alur investasi wakaf. Misalnya pemilik harta (waqif) menyerahkan sejumlah aset yang kemudian dikelola oleh nadzir. Aset tersebut kemudian dikembangkan dan dirawat.

Adapun penerima manfaat dari hasil pengembangan tersebut dapat diamanahkan bagi penerima khusus contohnya keluarga kandung (wakaf ahli).

Untuk sebagian orang yang pemahamannya tentang wakaf dan kaitannya dengan manajemen keuangannya masih rendah, maka perlu dibantu dengan konsultan keuangan atau perencana keuangan syariah. Tujuannya bukan hanya untuk menempatkan asetnya di investasi dengan keuntungan dunia semata, tetapi juga untuk akhirat.

Penulis: Murniati Mukhlisin Praktisi Ekonomi Syariah Pakar Ekonomi dan Bisnis Digital Syariah/Pendiri Sakinah Finance dan Sobat Syariah/Dosen Institut Tazkia

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *