Oleh HM. Cholil Nafis, MA., Wakil Sekretaris Badan Wakaf Indonesia.

Dalam Islam dikenal adanya konsep distribusi kekayaan. Ini untuk mengantisipasi perputaran kekayaan pada orang-orang tertentu saja. Islam mengenalkan kepada umat Islam beberapa model instrumen ekonomi Islam untuk menjamin keadilan sosial dan pmerataan ekonomi. Di antaranya adalah zakat, infak, dan wakaf. Zakat dan infak meski secara prinsip berbeda, tapi dari segi pendistribuasiannya memiliki kesamaan, yaitu lebih dialokasikan untuk kepentingan konsumtif. Inilah yang membedakan kedua instrument ini dengan instrument wakaf yang bersifat produktif.  

Instrumen wakaf mengajak pengelola aset (nadzir) untuk berjiwa entrepreneur guna mengembangkan harta wakaf yang kemudian hasil laba dari pengembangan harta tersebut digunakan untuk kepentingan umat Islam. Berarti, dalam instrumen wakaf, harta pokonya harus dikelola dan tidak boleh habis, sementara hasilnya boleh didermakan. Wakaf telah menjadi paradigma dan instrument baru di Indonesia, karena instrument wakaf telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Paradigma Wakaf Produktif

Wakaf adalah instrument untuk kesejahteraan umat yang pertama kali dilakukan oleh Umar bin al Khtthab seizin Rasulullah saw. Pada saat itu, Umar mempunyai sebidang kebun yang subur dan produktif di Khaibar. Lalu karena ada semangat untuk membantu sesama dan demi kesejahteraan umat, maka Umar bin al Khatthab berkonsultasi kepada Rasulullah saw. bagaiman cara mendermakan kebun tersebut? Rasulullah saw menganjurkan agar kebun tersebut tetap pokoknya dan dikelola dengan baik serta hasilnya didermakan kepada masyarakat. Artinya, pokoknya tetap terpelihara dan terkelola, sementara hasilnya didermakan untuk kepentingan umat. Demikian pula ketika Ali bi Abi Thalib dan Utsman bin Affan mendermakan sebagian kekayaannya untuk dikelola dan hasilnya didermakan untuk kepentingan masyarakat.

Melihat wakaf secara historis, sesungguhnya telah mengajarkan umat Islam akan pentingnya sumber ekonomi yang terus menerus guna menjamin berlangsungnya kesejahteraan di masyarakat. Wakaf adalah instrumen ekonomi yang memberi kehidupan bagi pengelolanya dan masyarakat. Bukan sebaliknya, wakaf hanya menjadi beban pengelola dan menuntut uluran tangan kedermawanan dari masyarakat. Wakaf pada masa sahabat telah menjadi sumber ekonomi dan pembiayaan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, seperti pada masa khilafah Harun al Rasyid dengan perpustakaan Bayt al hikmahnya yang dibiayai oleh kekayaan wakaf. Pada masa keemasan Universitas Al Azhar mampu membiayai oprasional yayasan, gaji dosen dan beasiswa mahasiswa dari seluruh penjuru dunia hanya dari hasil pengelolaan harta wakaf. Sayang sebagian besar kekayaan wakaf yayasan Al Azhar telah diambil oleh Negara sejak pemerintahan Jamal Abd Nasr.

Berbeda dengan paradigma wakaf di Indonesia sejak masa penjajahan sampai era reformasi yang memahami wakaf hanyalah benda mati, tidak produktif dan menjadi tanggungan masyarakat. Wakaf dalam pemahaman umat muslim Indonesia hanyalah seputar kuburan, Masjid dan madrasah yang tidak bernilai ekonomi. Hal ini tercermin dari peraturan perundang-undangan tentang wakaf dan peruntukan tanah wakaf di Indonesia. Peraturan wakaf di Indonesia pra kemerdekaan hanya berdasarkan kebiasaanya masyarakat yang bersumber dari ajaran Islam dan diatur berdasarkan surat-surat edaran pemerintan Hindia Belanda.

Kemudian pelaksanaan wakaf diatur oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang: Peraturan Dasar Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang: Perwakafan Tanah Milik. Peraturan itu hanya mengatur dari sisi administratif dan kepemilikan tetapi belum menyentuh soal pengelolaannya.  Adapun data harta wakaf di Indonesia adalah berupa tanah yang tidak diproduktifkan. Menurut data terakhir Kementerian Agama per-23 Juli 2009, bahwa jumlah asset wakaf tanah di Indonesia sebanyak lebih dari 450 ribu lokasi, dengan luas lebih dari 2,7 milyar meter persegi. Aset sebesar ini mayoritas belum dikelola secara produktif dan belum menjadi sumber ekonomi.

Sesuai perkembangan ilmu ekonomi dan ilmu hukum di Indonesia, wakaf yang merupakan produk ijtihad telah mengalami perubahan yang signifikan. Pada penghujung tahun 2004 Indonesia telah mengesahkan undang undang wakaf yang merupakan titik awal paradigma baru tentang pamahaman wakaf di Indonesia. Diantara beberapa perkembangan yang terdapat dalam Undang Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf  adalah tentang harta wakaf, institusionalisasi wakaf dan manajemen pengembangan wakaf.

Paradigma baru tentang harta wakaf dapat dilihat pada bab ii  bagian keenam pasal 16 menyebutkan, bahwa harta wakaf terdiri dari benda tidak bergerak; dan bendan bergerak. Benda tidak bergerak bisa berupa tanah, bangunan dan tanaman yang semuanya berhubungan dengan tanah. Sedangkan benda wakaf  bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi uang, logam mulia dan surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa dan harta bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam bagian ini telah mengesahkan wakaf  produktif dan wakaf tunai. Undang undang ini merupakan suatu loncatan dalam pemahaman fiqh Islam, di mana barang yang bisa habis dibelanjakan seperti uang dan surat berharga bisa ditanggulangi dengan sistem modern yaitu lembaga penjamin. Lembaga penjamin bisa melestarikan harta pokok wakaf jika mengalami pailid (iflas) pada saat pengelolaan dan pengembangannya.

Institusionalisasi harta wakaf dapat dilihai pada bab VI yang mencantumkan Badan Wakaf Indonesia. Maka hart wakaf di Indonesia didaftar dan diatur oleh suatu lembaga yang khusus menangani wakaf. Persepsi tentang wakaf yang dikelola oleh individu dan tradisional akan bergeser kepada lembaga dan organisasi yang modern dan dijamin oleh undang undang. Institusi wakaf nantinya akan menjawab kebekuan komunikasi dan kerjasama dengan pihak lain guna pengembangan harta wakaf.

Perubahan paradigma manajemen pengembangan wakaf dapat dilihat pada bab V yang mengupas tentang pengembangan harta wakaf. Pengelola (nazhir) wakaf bisa dari individu yang cukup syarat, organisasi sosial keagamaan dan bisa dari lembaga hukum. Artinya, pengelola harta wakaf  bisa dilakukan secara kolektif sesuai dengan perkembangan zaman. Di mana Badan usaha dan pengembangan usaha masa sekarang ini dikelola secara kolektif dan professional. Wakaf dalam paradigma yang baru ini lebih mengedepankan unsur produktifnya dan sebagai sumber ekonomi umat dari wakaf yang hanya kebutuhan ibadah dan penyediaan sarana ibadah murni (‘ibadah mahdlah).

Aktualisasi Ajaran Wakaf

Menurut isi UU Nomor 41 Tahub 2004 tentang wakaf telah menempatkan wakaf menjadi lahan produktif dan sumber ekonomi, maka secara otomatis akan berinterkasi dengan disiplin ilmu lain guna menunjang optimalisasi pengelolaan dan pengembangan wakaf. Wakaf produktif  benda tidak bergerak mengaharuskan pengelola wakaf berinteraksi dengan insinyur pembangunan dan arsitektur kalau ingin mengembangkan bisnis properti, butuh ahli perminyakan kalau tanah wakaf mempunyai kandungan minyak dan butuh ahli entrepreneur untuk mengembangakan harta wakaf yang mempunyai nilai bisnis strategis.

Wakaf tunai bisa menjadi pilihan tepat untuk menyiapkan dana abadi gunakan dikelola dan hasilnya bisa untuk kepentingan public, seperti beasiswa, sarana publik dan untuk membantu modal pedagang kecil melalui program pinjaman lunak (al qardl al hasan). Banyak cara dan fasilitas untuk melakukan kampanye fund raising wakaf di era kartu kredik dan era ponsel (telepn celuler). Dengan kartu kredit dan anjungan tunai mandiri (ATM) bisa dilakukan cara transfer.

Di era teknologi informasi sekarang ini lebih mudah menggalang wakaf tunai, seperti telepon seluler bisa dijadikan sarana penggalian dana, seperti program SMS bisa dijadikan sarana efektif untuk mpenggalian dana sebanyak-banyaknya dari masyarakat. Kalau potensi wakaf di Indonesia bisa dioprimalkan sungguh sangat strategis mengingat penduduknya mayoritas beragama Islam dan terbesar di seluruh dunia.

Kalau saja orang yang berpendapatan 10.000.000,- perbulan berjumalah lima juta orang mau mewakafkan Rp 150.000,- perbulan, maka dalam waktu satu tahun akan terkumpul sebanyak 750. miliar rupiah. Kalau masyarakat yang berpendatana Rp 5.000.000,- perbulan sebanyak delapan juta orang dan mau mewakafkan Rp 100.000,- perbulan maka dalam setahun akan terkumpul sebanyak 800 miliar rupiah. Betapa besar potensi wakaf di Indonesia..

Sungguh pun demikian, sistem keuangan model wakaf yang bersumber dari ajaran Islam dan mempunyai kekuatan hukum karena dilindungi oleh undang-undang tidak akan serta merta akan mendapat respons positif dan dukungan masyarakat. Persoalan klasik dalam pengelolaan keuangan publik di republik ini adalah karena kurang amanah dari pengelola dan kurang didukung kemampuan manajerial.  

Maka, untuk dapat menjalankan syari’at wakaf dan demi efektifnya Undang Nomor 41 tentang wakaf perlu mengakombinasi kekuatan ajaran Islam, yaitu berupa pengelola yang amanah, bisa mempertanggungjawabkan secara administrative kepada public dan dikelola oleh pemimpin yang mempunyai kemampuan human skill, human tehnical dan human relation. Dengan demikian, ajaran wakaf tidak hanya mengikat hubungan vertikal tetapi juga mempertanggungjawabkan secara horizontal. []

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *