Jakarta – Sejak 8 Januari 2010, pemerintah Indonesia telah menggulirkan Gerakan Nasional Wakaf Uang. Gerakan yang dimotori Badan Wakaf Indonesia (BWI) itu dimulai dengan penyerahan wakaf uang oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyo sebesar Rp 100 juta di Istana Negara Jakarta pada 8 Januari 2010 lalu. Presiden SBY pun berharap banyak dari Gerakan Nasional Wakaf Uang tersebut. Menurutnya, sebagai negara dengan jumlah penganut agama Islam terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mendulang dana wakaf uang dari umat.
”Sumber dana itulah yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan memberdayakan umat,” ungkap Presiden di hadapan pengelola BWI yang dipimpin KH Tolhah Hasan. Potensi wakaf uang yang dimiliki umat Indonesia bak raksasa yang memiliki kekuatan yang sangat besar.
Sayangnya, raksasa bernama ”wakaf uang” itu masih tertidur. Menteri Agama Suryadharma Ali dalam sebuah seminar wakaf beberapa waktu lalu mengungkapkan betapa dahsyatnya potensi wakaf yang dimiliki umat Islam di Tanah Air.
”Jika diasumsikan minimal lima persen dari umat Islam di Tanah Air mewakafkan uangnya sebesar Rp 100 ribu per bulan, maka dana segar yang akan terkumpul mencapai Rp 900 miliar atau per tahunnya mencapai Rp 10,8 triliun,” papar Menag. Dana segar sebesar itu, kata dia, dapat dimanfaatkan untuk memperkokoh kekuatan umat Islam.
Memasuki Juni 2010, menurut Wakil Ketua BWI, Prof Mustafa Edwin Nasution, dana wakaf uang yang telah berhasil dikumpulkan mencapai Rp 1,3 hingga Rp 1,6 miliar. ”Uang yang kami kumpulkan memang masih relatif sedikit karena wakaf uang juga baru berjalan selama empat bulan,” tutur Mustafa.
Menurut dia, dana yang dihimpun dari wakaf uang tersebut dipergunakan untuk pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Dalam bidang pendidikan, papar Mustafa, dana tersebut digunakan untuk memberikan beasiswa kepada para siswa, membangun atau memperbaiki gedung-gedung sekolah, untuk memberikan honor tambahan bagi para guru yang honornya masih kurang.
Sedangkan dalam bidang kesehatan, dana tersebut digunakan untuk membangun rumah sakit dan menyediakan obat-obatan gratis bagi masyarakat yang membutuhkan. Dlam bidang kesejahteraan, dana tersebut digunakan untuk memberikan modal putar berbagai usaha. Kkeuntungan dari usaha tersebut bisa digunakan untuk menambah honor guru yang masih kurang. Selain itu, dana tersebut juga dipakai untuk mendirikan perumahan murah.
Pengumpulan dana wakaf uang itu, kata dia, masih menghadapi berbagai kendala. Menurut dia, belum adanya pemahaman masyarakat secara mendalam tentang wakaf uang menjadi kendala utama. ”Sosialisasi tentang wakaf uang kepada masyarakat juga masih sedikit sebab untuk melakukan kegiatan sosialisasi juga membutuhkan banyak dana,” papar Mustafa.
Gerakan Nasional Wakaf Uang mendapat sambutan dari berbagai kalangan. Lalu apa yang harus dilakukan agar ”raksasa yang tertidur” itu segera bangkit dan memperkuat kondisi umat? Pemimpin Redaksi Republika, Ikhwanul Kiram Mashuri, mengungkapkan, BWI sebagai motor penggerak wakaf uang perlu melakukan terobosan yang dapat menarik umat berbondong-bondong berwakaf uang.
”Harus ada program yang konkret yang ditawarkan BWI agar umat mau mewakafkan uangnya,” papar Ikhwanul. Tanpa itu, papar dia, umat tak akan tertarik untuk mewakafkan uangnya, karena dana yang mereka wakafkan tak jelas peruntukannya.
Pakar ekonomi Islam, Adywarman Karim, menilai, konsep wakaf tunai sangat bagus. Menurut dia, agar konsep tersebut berhasil, maka diperlukan tiga hal. Pertama adalah proses sosialisasinya. ”Proses sosialisasi ini tentunya sangat berat, oleh karena itu proses sosialisasi ini harus dikerjasamakan dengan banyak pihak, misalnya lembaga keuangan syariah,” ujar Adywarman.
Kedua, kata dia, kemudahan akses. ”Orang belum berwakaf, bisa jadi karena aksesnya sulit. Untuk kemudahan akses ini sebaiknya kerja sama dengan mereka yang punya akses langsung dengan masyarakat seperti lembaga keuangan syariah,” tuturnya.
Selain itu, kata dia, bisa juga kerja sama dengan lembaga pembayaran seperti kantor pos, serta minimarket yangtengah berkembang di masyarakat, sperti Alfa Mart atau Indomart.
Ketiga, harus amanah. Sehingga, orang-orang merasa dana wakafnya akan dikelola secara amanah. ”Hal ketiga ini yang kita sebut dengan akuntabilitas. Jadi harus dipublikasikan. Seperti yang dilakukan Dompet Dhuafa atau Al Azhar Peduli Umat yang selalu beriklan di Koran.”
Pakar zakat, Prof Didin Hafidhuddin menilai wakaf uang belum popular di kalangan masyarakat. ”Masyarakat sebenarnya sangat mudah diajak. Karena itu, perlu ada semacam sosialisasi dan edukasi yang terus menerus tentang wakaf uang baik dilakukan oleh BWI, Kementrian Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), maupun ormas-ormas Islam.
”Saya pernah menyarankan ada kerja sama antara wakaf tunai dengan zakat. Kalau wakaf tunai lebih ditekankan kepada pembangunan infrastruktur misalnya bagaimana membangun sekolah, biaya SPP untuk anak-anak yang tidak mampu diambilkan dari dana zakat,” tuturnya.
Begitu juga, kata dia, pembangunan rumah sakit berasal dari dana wakaf dan biaya penobatan bagi orang-orang kurang mampu diambila dari dana zakat. J”adi ada pembagian tugas. Intinya wakaf untuk infrastruktur bangunan-bangunan, sedangkan zakat untuk SDM-nya, untuk biaya orangnya. Saya kira ini jauh lebih efektif.”
Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Prof Nasaruddin Umar juga menilai wakaf uang masih terbilang tradisi baru di Indonesia. ”Karena mazhab yang berkembang di Indonesia adalah pada umumnya adalah Syafi’I, maka jadi tidak popular,” tuturnya.
Pihaknya optimistis, tahun 2011 wakaf uang bakal lebih semarak. Hal itu, akan tercipta seiring dengan gencarnya sosialisasi dan meningkatnya kesadaran umat akan wakaf uang. Kini, umat menunggu gebrakan BWI lewat program-program yang konkret dan menarik, sehingga wakaf uang sebagai rakasasa yang masih tertidur dapat segera menggeliat. (republika/damanhuri)