Oleh Amelia Fauzia, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tukarguling, yang dalam istilah fikih disebut istibdal atau dalam hukum positif disebut ruilslag sering terjadi dan menimbulkan kontroversi bahkan berekses terhadap munculnya konflik sosial di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat tukarguling benda atau obyek yang secara hukum berstatus wakaf. Tukarguling wakaf sudah masuk dalam wacana pedebatan ulama mazhabdan masuk dalam buku-buku fikih sejak abad pertengahan. Para ulama berbeda pendapat mengenai tukarguling wakaf. Misalnya Imam Shafi´i tidak memperbolehkan tukarguling wakaf, namun beberapa muridnya membolehkan. Di Indonesia yang realitasnya mengikuti mazhabSyafi´i, semakin lama praktek tukarguling wakaf semakin banyak dilakukan dan beberapa menjadi kontroversial bahkan berekses konflik. (Abdullah Ubaid, 2008)
Tulisan ini akan mendiskusikan tukarguling wakaf dari sisi sosiologis dengan mengambil contoh beberapa kasus tukarguling wakaf di Indonesia yang terjadi belakangan. Tulisan ini melihat, pertama, bahwa telah terjadi transformasi dalam praktek wakaf. Praktek wakaf mengalami perubahan sejalan dengan proses modernisasi dan rasionalisasi pada masyarakat. Semakin banyak praktek tukarguling wakaf di Indonesia berarti semakin diterimanya modernisasi dan rasionalisasi dalam praktek wakaf. Karenanya teori modernisasi yang mengatakan bahwa semakin modern dan rasional suatu masyarakat maka semakin mereka akan meninggalkan agama, tidaklah tepat. Yang terjadi adalah modernisasi dan rasionalisasi justru merambah dalam praktek keagamaan.
Kedua, wakaf yang merupakan ibadah sosial notabenenya adalah fenomena sosial yang sangat terkait dengan kultur, politik, ekonomi, dan relasi sosial. Persoalan yang timbul akibat dari tukarguling wakaf harus dilihat dari konteks ini. Kasus-kasus tukarguling yang kontroversial dan kemudian berekses pada konflik sosial lebih banyak diakibatkan oleh pertarungan kepentingan profan, yang jika tidak diselesaikan dengan baik akan berujung konflik terbuka yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian material.
Tulisan ini dibagi dalam tiga bagian, pertama adalah deskripsi mengenai transformasi yang terjadi dalam praktek wakaf di Indonesia. Bagian ini merupakan latar belakang yang akan mengulas bagaimana praktek wakaf pada abad dan dekade belakangan. Bagian kedua akan mengambil kasus-kasus tukarguling yang terjadi di berbagai tempat. Dan bagian ketiga akan menganalisa kasus tukarguling wakaf dari sisi rasionalisasi pemanfaatannya serta sebab-sebab yang mendorong terjadinya kontroversi dan bahkan konflik sosial.
Transformasi Praktek Wakaf di Indonesia
Dalam sejarah Islam, praktek wakaf yang telah memberi dampak sosial ekonomi kepada masyarakat dipengaruhi oleh kondisi sosial keagamaan ekonomi dan politik masyarakat Muslim. Misalnya, di Turki wakaf uang pernah berkembang pesat. Di Mesir, wakaf dalam bentuk saham sudah biasa dilakukan, serta di Jerusalem banyak wakaf dalam bentuk dapur umum yang memberi makanan kepada fakir miskin. (Singer, Amy., 2002) Dua contoh yang terakhir ini hampir tidak pernah didengar di Indonesia. Hal ini bukan karena perbedaan sumber hukum, tapi pada perbedaan interpretasi dan kondisi serta kebutuhan masyarakat.
Seperti halnya di wilayah Muslim lain, praktek wakaf juga bertransformasi di Indonesia, sejalan dengan perkembangan masyarakat. Jika dilihat satu-dua abad belakangan, transformasi ini akan terlihat menonjol. Misalnya, dari abad ke 16 sampai awal abad ke 20, di Indonesia tidak ada inovasi wakaf dalam bentuk sewa ruko atau toko. Menurut Rahmat Djatnika dalam disertasinya yang berjudul “Les Biens De Mainmorte, (Rachmat Djatnika, 1982) wakaf didominasi dalam bentuk tanah (untuk masjid), kuburan, sawah/kebun, bangunan sekolah/pesantren. Sedangkan saat ini di Indonesia sudah ada inovasi wakaf uang, wakaf benda-benda bergerak seperti mobil, wakaf rumah sakit, wakaf dalam bentuk usaha toko dan juga bangunan untuk disewakan. Bahkan Departemen Agama dan Badan Wakaf Indonesia mempromosikan jenis-jenis wakaf yang inovatif seperti itu. Artinya, secara perlahan dan tidak sadar telah terjadi transformasi praktek wakaf di Indonesia menuju perkembangan yang lebih maju, sejalan dengan perkembangan sosial dan ekonomi.
Tansformasi ini juga berpengaruh pada bagaimana masyarakat dan ulama menerjemahkan dan mengkontekstualisasikan sumber hukum dan fikih mengenai wakaf. Sejalan dengan transformasi dan kemajuan ini secara tidak sadar telah terjadi pula perubahan yang terkait dengan fikih wakaf. Praktek wakaf di Indonesia yang dulu sangat berorientasi fikih abad pertengahan dari mazhab Syafi´i, sekarang sudah mulai dikombinasikan dengan fikih mazhablain, dan juga pola pemahamannya lebih rasional. Misalnya, pada abad ke 19 masih terdapat banyak laporan bahwa masjid terpaksa dibiarkan rusak dan hancur akibat masyarakat tidak berani mengubah dan mengganti material masjid tersebut karena khawatir melanggar aturan fikih. (Amelia Fauzia, 2008). Pada masa itu masyarakat cukup strik atau sangat berhati-hati untuk tidak melanggar aturan fikih secara letterlijk, sehingga berakibat pelarangan terhadap praktek tukarguling wakaf. Namun saat ini, masyarakat lebih dapat menerima terhadap praktek tukarguling wakaf karena pertimbangan maslahat yang lebih besar.
Dari sini dapat dilihat bahwa transformasi praktek wakaf berdasarkan interpretasi dan penggunaan fikih wakaf yang lebih aktual dan rasional, yang lebih mengedepankan kemaslahatan. Akibat rasionalisasi dan kemaslahatan itulah, maka praktek tukarguling wakaf saat ini semakin banyak. Terlebih lagi karena didukung oleh ulama misalnya melalui fatwa yang dikeluarkan oleh MUI, dan juga melalui sosialisasi dan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh Badan Wakaf Indonesia dan Departemen Agama. Sejalan dengan penerimaan terhadap tukarguling wakaf, maka kasus tukarguling wakaf banyak terjadi. Jika sebelum awal abad ke dua puluh jarang sekali ada kasus tukarguling wakaf, maka sekarang ini tidaklah demikian. Di bawah ini akan dibahas secara ringkas enam kasus tukarguling wakaf yang mendapat sorotan media pada dua dekade terakhir.
Overview Kasus-kasus Tukarguling Wakaf
Tukarguling yaitu menukar benda dengan sesuatu benda lainnya, baik dengan cara benda itu dijual terlebih dahulu kemudian diganti dengan barang yang lain, atau dipindahkan lokasinya. Dalam wakaf, kasus-kasus tukarguling didominasi oleh kasus tukarguling tanah. Di bawah ini akan melihat secara ringkas enam kasus tukarguling wakaf yang terjadi dalam dua dekade belakangan, yang mendapat sorotan media cetak dan online.
1. Tanah Wakaf Masjid Demak
Tukarguling ini terjadi karena tanah wakaf masjid Demak terkena proyek pembuatan jalur lingkar Demak sebagai jalur alternatif Pantura. Selain tanah wakaf yang dikelola Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) ada pula tanah milik warga yang terkena proyek ini. Proyek tukarguling ini berproses secara bertahap sejak tahun 1996 sampai tahun 2004 dilakukan oleh BKM Demak dan pemerintah daerah. Proses penggantian tanah wakaf dari pemerintah pernah ditolak dua kali karena tanah penggantinya dianggap bernilai jual lebih rendah dibandingkan dengan tanah wakaf. Akhirnya proses penggantian selesai di tahun 2004, di mana tanah wakaf seluas 39.401 m2 ditukar dengan sembilan bidang tanah seluas 77.066 m2 di Desa Betahwalang, Bonang, Buko dan Wedung. Proses tukarguling ini disetujui oleh Departemen Agama yang ditandatangani oleh Mentri Agama tertanggal 15 Oktober 2004. Dalam proses tukarguling yang cukup lama ini, masyarakat dan LSM melihat indikasi adanya permainan dan kecurangan yang mengambil alih tanah wakaf Masjid Demak untuk dijual atau menjadi milik pribadi beberapa pejabat. (Arwan Pursidi dan Hasan Hamid, 2004)
2. Tanah Wakaf Bondo Masjid Agung Semarang
Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Semarang mengurus tanah wakaf masjid Agung Semarang seluas 118 hektar yang dulu didapat dari Kerajaan Demak. BKM Semarang melakukan tukarguling tanah wakaf masjid Agung semarang dengan pihak swasta. Karena ada dugaan sarat manipulasi, tukarguling ini ditentang oleh sejumlah kalangan pemuda Islam yang melakukan berbagai aksi demo. Aksi demo ini berjalan sampai 19 tahun dan menyebabkan tanah wakaf sempat dikuasai oleh pihak lain. Pada Desember 2001 akhirnya tanah wakaf seluas 118 hektar itu bisa kembali ke tangan BKM Semarang yang memang berwenang untuk mengurus tanah wakaf tersebut. (Liputan6, 06/12/2001).
3. Tanah Wakaf Pemakaman di Petogogan
Ada sebidang tanah wakaf yang terletak di Jalan Nipah Baru, Petogogan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang digunakan sebagai pemakaman. Luas tanah pemakaman ini adalah 8.965 m2. Tanah ini adalah wakaf dari Habib Abdullah al-Aidid, yang diperuntukkan bagi pemakaman umat Islam Petogogan. Pemakaman ini dikelola oleh Yayasan Amaliyah Arrafiqurrahim Wan Syarifah, yang diketuai oleh Syarief Husein Alaydrus selalu ketua yayasan. Yayasan menandatangani tukarguling tanah pemakaman ini dengan PT Multi Promo Mandiri, sebuah perusahaan properti, pada bulan Juli 2006. Lokasi penggantinya adalah sebidang tanah seluas 10,600 m2 di wilayah Pondok Gede, Bekasi. Menurut pejabat KUA awalnya ada ahli waris makam yang mengajukan tukarguling ini karena pemakaman dianggap sering digunakan untuk tempat maksiyat. Sudah ada 50 makam yang dipindahkan dari total 525 makam yang ada. Namun ikatan keluarga ahli waris makam dan masyarakat sekitar kemudian menolak dan meminta tukarguling tidak dilanjutkan, dan tempat itu tetap difungsikan sebagai pemakaman. Penolakan ini bersumber dari adanya isu bahwa lahan akan digunakan untuk membangun apartemen, bukan untuk lahan hijau terbuka. Ketua Komisi Fatwa MUI Masyhuri Syahid menyatakan ketidaksetujuannya dengan alasan bahwa jika menggunakan aturan fikih yang tepat, maka tukarguling tidak diperbolehkan. Kasus tukarguling ini sudah sampai ke tangan Departemen Agama, namun belum mendapat persetujuan dari Menteri Agama. Proses pemindahan makam menuai protes keras dari para keluarga ahli waris makam karena persetujuan dari Mentri Agama perihal tukarguling ini belum ada. (Tempo Interaktif, 23 Agustus 2007)
4. Wakaf Masjid Darussalam, Kuningan, Jakarta
Tukarguling wakaf tanah masjid Darussalam yang terletak di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, menuai protes warga. Warga tidak setuju tukarguling tanah masjid tersebut dengan sebidang tanah di RW 04 Jalan Raya Pedurenan Jakarta Selatan. Keberatan warga karena saat ini di RW 04 sudah ada lima buah masjid dan lima buah mushalla. Sedangkan warga tetap menginginkan ada masjid di wilayah mereka. Namun keberatan warga tidak ditanggapi oleh Walikota dan perusahaan pengembang yang memindahkan masjid. Menurut warga, masjid yang baru (masjid pindahan) itu disinyalir juga dibangun secara sembunyi-sembunyi. (Tempo Interaktif, Tukar Guling Masjid Diprotes Warga, 18 Maret 2005,)
5. Tanah Wakaf IAIN Sunan Ampel Surabaya
Pemerintah kota Surabaya berencana melakukan pembangunan Frontage Road yang akan memakan tanah wakaf milik Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surabaya. Pemkot Surabaya meminta IAIN untuk membebaskan tanah seluas 4.635 m2 untuk kepentingan jalan dimaksud. Pihak IAIN Surabaya keberatan melepaskan tanah wakaf tersebut dengan beberapa pertimbangan. Pertama menurut rektornya, tanah ini adalah tanah wakaf untuk pendidikan dan IAIN ingin tetp menjalankan amanah wakaf tersebut. Kedua, IAIN tidak mau mendapat ganti rugi berupa uang karena dikhawatirkan uang itu akan masuk ke kas negara dan akan banyak terkurangi sehingga yang diterima IAIN sedikit. Alasan ketiga, IAIN menghendaki sistem tukarguling dimana pemkot menyediakan lahan pengganti di sekitar tempat yang sama dengan alasan tanah kampus IAIN sangat terbatas. Sedangkan pihak pemkot bertahan untuk mengganti lahan dengan uang karena kesulitan mendapatkan lahan di kota Surabaya. Saat ini proses pelepasan tanah ini masih menunggu hasil negosiasi Departemen Agama dan Departemen Keuangan dan belum mendapatkan jalan keluar. (Moh. Sholehuddin, 16 Februari 2010).
6. Tanah Makam Mbah Priok
Dua bulan belakangan ini kerusuhan terjadi di Koja yang berawal dari adanya kasus tukarguling makam Makam Habib Hasan Al Haddad atau yang sering disebut sebagai Mbah Priok. Tanah makam ini awalnya adalah tanah pribadi keluarga Al-Attos yang dijadikan pemakaman wakaf keluarga Al-Attos. Namun tanah seluas 5,4 hektar ini juga dipakai untuk memakamkan warga sekitar, sehingga keluarga Al-Attos menyerahkan pengelolaan makam ini kepada Pemerintah Kolonial Belanda ketika itu. Kemudian pemakaman ini dikelola oleh pemerintah DKI Jakarta dan lebih sering disebut sebagai TPU Dobo. Makam Mbah Priok aslinya ada di Pondok Duyung, dan kemudian dipindahkan ke TPU Dobo ini. Pada tahun 1993 terjadi tukarguling lahan TPU Dobo ini yang dilakukan oleh Pemerintah DKI dengan lahan dari PT Pelindo II yang ada di Semper. Karenanya pada tahun 1997 seluruh kerangka jasad yang ada di TPU Dobo termasuk makam Mbah Priok dan keluaga Al-Attos dipindahkan ke Semper dan pemakaman-pemakaman lain.
Namun tahun 1999 bekas makam Mbah Priok dibangun kembali layaknya pusara makam oleh Habib Ali Zaenal Abidin dan Habib Abdullah Sting yang mengaku sebagai ahli waris mbah Priok dan juga ahli waris dari tanah tersebut. Pemerintah DKI mencoba melakukan penggusuran area, dengan tetap mempertahankan situs makam mbah priok sebagai cagar budaya. Namun oleh banyak kalangan, tukarguling yang dulu dilakukan oleh pemerintah DKI dianggap tidak sah karena status pemda hanyalah pengelola. Selain itu pihak ahli waris keluarga mengaku memiliki sertifikat atas bidang makam tersebut dan menurut mereka makam Mbah Priok belum dipindahkan. Karena itu upaya penggusuran mendapat penentangan keras oleh ahli waris yang juga melibatkan masyarakat termasuk organisasi kedaerahan dan keIslaman. Sehingga sempat terjadi bentrok masa antara polisi pamong praja dan masyarakat pada tanggal 14 April 2010 yang mengakibatkan korban jiwa. (Okezone, 12 Maret 2010).
Keenam kasus di atas ada keterkaitan dengan tanah wakaf dan tukarguling, walaupun berbeda antara satu dan lainnya, misalnya dari sisi bentuk konflik sosial, fungsi wakaf, konteks dan latar belakang, serta pemangku kepentingan. Kasus-kasus memperlihatkan bahwa wakaf dan tukarguling wakaf masuk dalam ranah sosial kemasyarakatan dan karena itu penting untuk ditelisik dari sisi sosiologis.
Tukarguling Wakaf: Rasionalisasi Praktek Agama dan Konflik Sosial
Praktek wakaf adalah realisasi atas ajaran agama mengenai kedermawanan sosial yang tidak dapat dilepaskan dari persoalan kemasyarakatan. Karenanya kasus tukarguling sangat tinggi nuansa profan (non sakral keagamaannya), walau terkadang juga menggunakan alasan-alasan yang bersifat fikih keagamaan.
Kasus-kasus di atas hanyalah contoh dari sekian banyak kasus tukarguling yang menuai kontroversi dan konflik sosial di masyarakat sehingga mendapat sorotan media. Sedangkan kasus yang berjalan mulus dan dianggap “biasa-biasa“ tidak banyak dimuat media. Kasus tukarguling menuai kontroversi biasanya terjadi karena ada perasaan ketidakpuasan atau penolakan minimal dari salah satu pemangku kepentingan, apakah dari pihak pengurus wakaf, pihak ketiga yang bertukarguling (misalnya perusahaan), pihak pemerintah (bisa pemerintah daerah atau Departemen Agama), atau masyarakat pengguna wakaf.
Rasionalisasi Pemanfaatan Wakaf
Tukarguling wakaf terjadi karena adanya rasionalisasi atas pertimbangan pemanfaatan aset wakaf yang lebih maslahat. Setidaknya ada tiga jenis tukarguling dilihat dari sisi tujuan dan konteksnya, yaitu pertama untuk kemaslahatan atau menyelamatkan benda wakaf itu sendiri, kedua untuk investasi dan pengembangan, dan ketiga respon atas pengembangan untuk kemaslahatan umum. Jenis tukarguling yang pertama dan kedua lebih banyak bersumber atas inisiatif internal dari nazir wakaf serta masyarakat, sedangkan yang terakhir lebih banyak didorong oleh faktor eksternal. Jenis tukarguling yang ketiga ini sering menimbulkan kontroversi dan konflik karena ketidaksiapan nazir dan masyarakat pemanfaat wakaf, serta kemungkinan ada pihak ketiga yang memanfaatkan peluang untuk mendapat keuntungan.
Misalnya kasus tukarguling tanah wakaf masjid Demak terjadi karena adanya rencana dari pemerintah daerah untuk membuat jalan untuk fasilitas umum. Karena prosesnya yang lama (sampai melampaui periode kepengurusan nazir dan kepala daerah), masyarakat melihat indikasi adanya pengambilalihan tanah wakaf menjadi milik pribadi beberapa pejabat. (Suara Merdeka, 3 November 2004). Begitu pula tukarguling wakaf makam di Petogogan. Masyarakat yang awalnya setuju belakangan menolak karena mensinyalir tanah yang ditukargulingkan akan digunakan untuk apartemen, bukan lahan terbuka hijau seperti yang diungkapkan ke masyarakat.
Rasionalisasi tukarguling wakaf dilakukan melewati proses pengujian dari sisi aturan fikih terlebih dahulu yang juga merupakan common sense. Prinsip yang utama adalah aset yang ditukargulingkan dengan wakaf bernilai jual lebih tinggi atau minimal sama, sehingga nilai wakaf itu tidak terkurangi. Proses yang terjadi kemudian lebih banyak bersifat profan, yaitu negosiasi harga atau tempat, atau benda pengganti wakaf, dan bukan masalah keagamaan. Proses negosiasi ini bisa memakan waktu lama jika belum tercapai kesepakatan. Misalnya, kasus tukarguling tanah wakaf masjid Demak berjalan cukup lama karena Departemen Agama yang mensupervisi nazir dan semua kegiatan perwakafan menolak tanah pengganti yang ditawarkan (sampai dua kali) karena harganya dinilai lebih rendah. Begitu pula yang terjadi dengan IAIN Sunan Ampel Surabaya. Pihak IAIN belum menyepakati penggantian tanah, namun berlindung dibalik Departemen Agama dan Keuangan.
Alasan tukarguling pada enam kasus di atas pada awalnya cukup rasional sehingga proses tukarguling dilakukan. Namun ada beberapa yang menjadi alot dan bahkan ditentang masyarakat karena ada indikasi penyalahgunaan. Misalnya, pada kasus makam Mbah Priok, makam Petogogan, dan Masjid Darussalam. Ketidaksetujuan masyarakat bahkan ada yang menuai konflik terbuka dan mengakibatkan korban jiwa seperti dalam kasus makam Mbah Priok. Dari sini jelas terlihat bahwa rasionalisasi tukarguling wakaf mengalami proses sosial yang jika tidak hati-hati akan menimbulkan konflik sosial.
Konteks tukarguling pada kasus-kasus di atas bersumber dari adanya rasionalisasi atas adanya kebutuhan masyarakat atas lahan. Masyarakat bisa menerima tukarguling sejauh alasannya kemaslahatan dan tidak mengurangi aset wakaf yang ada. Masyarakat yang rasional dan modern melihat tukarguling dari sisi praktikal. Bahkan, sekarang ada wacana untuk menggunakan tukarguling untuk pengembangan wakaf. Artinya, semakin modern dan rasional masyarakat, maka semakin banyak tukarguling wakaf yang terjadi untuk mengkontekstualisasikan pengembangan wakaf pada era modern. Namun demikian, kehati-hatian harus diutamakan agar tidak menimbulkan ekses konflik sosial.
Tukarguling dan Konflik Sosial
Seringkali konflik terjadi karena kesalahpahaman, adanya indikasi penyalahgunaan, keberpihakan dari pemerintah terhadap salah satu pihak berkonflik, dan sikap tidak mau mengalah dari kedua belah pihak. Keempat sebab ini saling mempengaruhi dan jika tidak dikelola dan dimediasi dengan baik akan terjadi konflik terbuka dan berdarah.
Sikap tidak mau mengalah menjadi faktor yang dominan dalam terjadinya konflik sosial. Diibutuhkan negosiasi yang komunikatif dan saling menghormati antar pihak yang terlibat tukarguling ini. Dalam kasus Masjid Demak dan IAIN Surabaya, pihak pemerintah daerah bersikap mengalah menghadapi tuntutan dari nazir dan Departemen Agama. Dalam hal ini pemerintah harus bersikap demikian karena tanah wakaf itu juga nantinya dipergunakan untuk masyarakat, bukan pribadi. Dalam kasus masjid Darussalam Kuningan, masyarakat pemanfaat wakaf bersikap pasif dan mengalah, walaupun mereka tidak setuju dan sangat menyayangkan dilakukannya tukarguling masjid.
Kesalahpahaman pandangan tentang tukarguling dapat menambah amunisi pihak yang sedang melakukan proses tukarguling. Pihak yang tidak setuju sering kali merujuk pandangan bahwa tukarguling wakaf tidak diperbolehkan dalam hukum Islam. Memang dalam fikih, ulama berbeda pandangan mengenai tukarguling wakaf. Ulama dan mahhab yang sangat berhati-hati biasanya (seperti mazhab Syafi´i) cenderung menolak tukarguling, sedangkan ulama mazhab yang lebih rasional dan melihat maslahat akan memperbolehkan tukarguling. Belakangan ini para ulama memperbolehkan tukarguling dengan mempertimbangkan kemaslahatan umum. Badan Wakaf Indonesia termasuk Departemen Agama melalui Undang-undang dan peraturan yang dikeluarkannya sudah memperbolahkan tukarguling wakaf. Namun masih saja ada ulama yang berpandangan bahwa tukarguling tidak diperbolehkan. Hal ini terlihat misalnya dalam kasus makam Petogogan, di mana salah satu ketua komisi Fatwa MUI (dikutip diatas) menolak penggusuran/tukarguling dengan alasan tidak diperbolehkan menurut hukum Islam.
Adanya indikasi penyelewengan dan penyalahgunaan dapat memicu penolakan masyarakat atas tukarguling. Dalam kasus makam Petogogan, isu bahwa bekas makam akan digunakan untuk apartemen memicu kemarahan masyarakat karena alasan tukarguling yang diajukan sebelumnya adalah untuk lahan terbuka hijau. Indikasi adanya manipulasi dalam kasus tukarguling tanah wakaf bondo masjid Semarang melibatkan kelompok orang dan organisasi yang melakukan demo, bahkan menguasai tanah wakaf sampai 19 tahun lamanya.
Dan yang terakhir, adanya keberpihakan pemerintah daerah terhadap satu pihak yang bersengketa soal tukarguling. Dalam kasus Mbah Priok, banyak pihak yang kemudian terlibat menambah ruwet penyelesaian konflik yang ada. Bahkan keberpihakan pemerintah daerah telah memperuncing konflik karena pemerintah menggunakan cara kekerasan, misalnya penggunaan satpol PP untuk pengosongan lahan. Sedangkan kemudian masyarakat yang merasa memiliki tempat itu mempertahankan dengan memobilisasi masa dari organisasi sosial sehingga terjadi konflik terbuka yang menimbulkan korban jiwa dan luka-luka. Dari kasus-kasus di atas, konflik yang timbul terkait dengan sesuatu yang profan yang menyangkut tukarguling, menyangkut proses komunikasi, negosiasi, dan sikap keterbukaan sehingga satu atau lain pihak tidak merasa dibohongi atau dirugikan.
Penutup
Maraknya tukarguling wakaf didukung oleh proses modernisasi yang terjadi pada masyarakat Muslim sehingga melihat praktek keagamaan secara lebih rasional sejauh menyangkut urusan sosial kemasyarakatan. Praktek wakaf berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Semakin modern dan rasional masyarakat, maka praktek wakaf juga mengalami perubahan kearah modernisasi.
Sejalan dengan modernisasi di Indonesia, tukarguling wakaf adalah satu bentuk pemanfaatan wakaf yang bertujuan untuk kemasalahan wakaf dan umum, dan berproses sesuai dengan kondisi budaya, ekonomi, dan politik, di mana kemungkinan menjadi kontroversi dan konflik sosial bisa terjadi, karena wakaf adalah praktek keagamaan yang tidak terlepas dari konteks sosial kemasyarakatan. Kontroversi dan konflik yang terjadi lebih banyak bersumber pada proses-proses yang bernuansa profan, bukan yang keagamaan. Kontroversi harus dilihat dari sisi bahwa ia memberi pembelajaran bagi masyarakat banyak, namun diupayakan tidak merambah menjadi konflik sosial. Konflik sosial yang menyangkut tukarguling ini penting dipelajari sebagai antisipasi bagi pemangku kepentingan dan pemerintah untuk mengatasinya dan mencegah konflik-konflik di masa yang akan datang.
Daftar Pustaka
Detiknews, Jakarta Bisa Dilaknat Jika TPU Petogogan Digusur Jadi Apartemen, 13/06/2007, http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/06/tgl/13/time/123115/idnews/793202/idkanal/10
Djatnika, Rachmad. “Les Biens De Mainmorte (Wakaf) A Java-Est.” PhD diss., École Des Hautes Études Et Sciences Sociales, 1982.
Fauzia, Amelia, Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy in Indonesia, Disertasi Universitas Melbourne, 2008.
Koran Tempo, Sengketa Tanah Pemakaman, http://korantempo.com/view_details.php.10333926y/2007/626d3D9+sengketa+tanah+pemakaman&cd=24&hl=id&ct=clnk&gl=id\
Liputan6.com, Tuntas: Sengketa Tanah Wakaf Masjid Agung Semarang, 06/12/2001, http://berita.liputan6.com/daerah/200112/24932/class=’vidico’
Matraji, Abdullah Ubaid, Membangkitkan Perwakafan di Indonesia, Padang Ekspres, 28 Mei 2008, http://www.bwi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=237%3Amembangkitkan-perwakafan-di-indonesia&catid=27%3Aopini〈=en
Okezone, Ribuan Orang Tolak Pembongkaran Makam Mbah Priok, Jumát 12 Maret 2010, http://www.fiqhislam.com/agenda-muslim/islam-indonesia/11870-ribuan-orang-tolak-pembongkaran-makam-mbah-priok.html
Pijper, Dr. G. F. “Afbraak van Moskeën.” Oudheidkundig Verslag 1930, Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia-Centrum, Albrecht & Co, 1931.
Poskota, Gapura & Pendopo Makam Mbah Priok Dibongkar Bulan Depan, Pos kota, sabtu 13 maret 2010, http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/03/13/gapura-pendopo-makam-mbah-priok-dibongkar-bulan-depan
Pursidi, Arwan dan Hasan Hamid, Menelusuri Tanah Wakaf BKM Demak (1), 03 Nopember 2004, http://www.suaramerdeka.com/harian/0411/03/kot02.htm
Sholehuddin, Moch, Wakaf dan Kendala Frontage Road di IAIN, Jawa Pos, 16 Februari 2010, http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=117602
Singer, Amy. Constructing Ottoman Beneficence: an Imperial Soup Kitchen in Jerusalem. Albany: State University of New York Press, 2002.
Suara Merdeka, Bupati Endang Bantah Serobot Tanah Wakaf, 03 November 2004, http://www.suaramerdeka.com/harian/0411/03/nas08.htm
Suara Merdeka, Disoal, Tanah Wakaf untuk Kegiatan Usaha, 16 Oktober 2004, http://www.suaramerdeka.com/harian/0410/16/kot29.htm
Syam, Nur, IAIN Dukung Frontage Road, tapi Patuhi Hukum, Metropolis, Jawa pos, 12 April 2010, http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=127854
Tempo Interaktif, Sengketa Tanah Petogogan Masih Menggantung, 23 Agustus 2007, http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2007/08/23/brk,20070823-106153,id.html
Tempo Interaktif, Tukar Guling Masjid Diprotes Warga, 18 Maret 2005, http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2005/03/18/brk,20050318-24,id.html