Pada dasarnya wakaf merupakan ibadah yang komprehensif, yaitu memuat aspek hablumminallah dan habluminannas. Di satu sisi, harta yang diwakafkan merupakan wujud kerelaan mengorbankan harta yang dimiliki. Sedangkan di sisi lain, wakaf juga memiliki dimensi sosial ekonomi yang terwujud dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal tersebut, wakaf dapat dikatakan sebagai metode distribusi kekayaan berbasis non-pasar.
Di masa modern ini, khususnya di Indonesia, nampaknya wakaf mengalami penyempitan makna dan tujuan. Wakaf di Indonesia kini identik dengan 3M, yaitu Masjid, Madrasah, dan Makam. Data Sistem Informasi Wakaf Kementerian Agama (SIWAK Kemenag) menujukkan bahwa sebanyak 72% tanah wakaf di Indonesia dimanfaatkan sebagai Masjid dan Mushalla, 14% digunakan untuk sekolah dan pesantren, 4% digunakan untuk lahan pemakaman, serta 8% sisanya untuk berbagai kegiatan sosial lainnya.
Berdasarkan data singkat tersebut, dapat dikatakan bahwa pemanfaatan wakaf di Indonesia kurang memberikan dampak langsung terhadap perekonomian masyarakat. Barangkali hanya peruntukan sekolah dan pesantren saja yang akan memberikan dampak jangka panjang. Masjid dan Mushalla yang tidak mampu menjadi pusat-pusat penggerak aktivitas masyarakat, pada akhirnya sekedar menjadi tempat ibadah saja.
Pada dasarnya, pemanfaatan tanah wakaf untuk 3M memang tidak salah. Hal ini disebabkan peruntukan harta wakaf memang disesuaikan dengan kehendak pewaka senyampang tidak bertentangan dengan syariat Islam, sebagaimana tercantum dalam UU Wakaf No. 41/2004, pasal 22 & 23. Namun demikian, melihat sejarah masa lampau, akan dapat kita temukan bentuk-bentuk wakaf yang menekankan pada aktivitas ekonomi masyarakat. Sebagai contoh wakaf sumur raumah Usman bin Affan, yang konon terus dirawat oleh pemerintah hingga saat ini menjadi kebun kurma dan hotel berbintang.
Di era pasca kenabian, pemanfaatan aset wakaf juga berkembang sangat pesat. Sebagaimana catatan Ibnu Batutah mengenai wakaf di Damaskus pada tahun 720-an misalnya, di mana wakaf diantaranya digunakan untuk pembiayaan kebutuhan dasar masyarakat dan perbaikan infrastruktur (Yalawae, 2008). Demikian pula pada masa dinasti bani Abbasiyah, Umayyah, hingga dinati Bani Utsmani (Ottoman). Sementara itu, di masa modern ini, pengelolaan wakaf dengan penekanan pada aktivitas sosial-ekonomi juga dapat kita temukan di Malaysia (Mohsin, 2016), Pakistan (Shirazi, 2015), Singapura (Karim, 2007; 2010, Mohsin, 2014), dan Turki (Sabit, 2011). Negara-negara tersebut telah berhasil mengelola aset wakaf sebagai perhotelan, perkantoran, pusat-pusat dagang dan pertokoan, bahkan bank.
Merujuk pada contoh-contoh tersebut di atas, kiranya perlu sinergi antara pemerintah dan lembaga-lembaga wakaf untuk menanamkan pemahaman pada masyarakat, bahwa wakaf tak sebatas masjid, madrasah, dan makam saja. Sungguhpun demikian, produktivitas dan kebermanfaatan wakaf memang tak dapat diukur dari aspek ekonomi saja. Selama harta wakaf yang ada dimanfaatkan dengan baik serta tidak ditelantarkan, maka hal tersebut sudah cukup baik. Namun demikian, seyogianya kita kembali merujuk pada praktek-praktek wakaf di masa lalu, yang sukses menjadi instrumen penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Penulis : Girindra Mega Paksi, Dosen Luar Biasa (DLB) FEB Universitas Brawijaya
2 Responses
Assalamu ‘alaikum klu mau masukkan tulisan dikirim kemana ?
Cukup bagus