Hendri Tanjung, Ph.D

Wakaf uang akan menempati babak baru di Indonesia. Ini ditandai dengan peluncuran Gerakan Nasional Wakaf Uang oleh Presiden Joko Widodo yang akan dilakukan pada 25 Januari 2021.

Sebuah momentum untuk mencapai potensi wakaf uang, yang jumlahnya Rp 178,65 triliun. Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia, Imam Teguh Saptono, menghitung potensi tersebut.  

Menurut survei Alvara dengan sampel 3.000 orang, diperoleh porsi belanja amal rata-rata orang Indonesia, lima persen per bulan dari total pengeluaran. Rumah tangga (RT) per 2015 berjumlah 66 juta (BPS), asumsi pertumbuhan 1,5 persen di 2020, menjadi 71 juta RT.

Rasio kelas menengah 42 persen atau 29 juta kepala keluarga (KK). Pengeluaran per bulan rata-rata Rp 7,5 juta. Potensi wakaf 29 juta KK (populasi) x Rp 7,5 juta (expenses per bulan) x 5 persen = 10,875 T per bulan.  

Artinya, potensi wakaf uang per tahun kelas menengah Indonesia mencapai Rp 130 triliun. 

Setidaknya, ada empat segmen dari sisi kemudahan pengumpulan wakaf uang yang dapat dilakukan.  Segmen pertama, wakaf dari kelas menengah Muslim, konformis dan universalis di segmen elite dan menengah atas.

Yuswohady et.al (2014) membagi Muslim menengah Indonesia ke dalam empat kelompok berdasarkan nilai emosional dan spiritual, yaitu rasionalis, apatis, universalis, konformis. Rasionalis ditandai dengan ‘Gue dapat apa?’. 

Apatis berprinsip, ‘emang gue pikirin’.  Universalis memegang pedoman ‘Islami itu lebih penting’.  Konformis berpikiran ‘pokoknya harus Islam’.  Persentase masing masing kelompok berturut-turut 29, 27, 23, dan 21 persen.  

Dengan asumsi pertumbuhan dana CSR 10 persen per tahun maka pada 2020, mencapai Rp 19 triliun.

Sementara itu, distribusi kelas menengah Indonesia tahun 2016 adalah elite (0,58 persen) dan menengah atas (3,71 persen).  Untuk segmen ini, potensi wakaf uangnya (23+21) persen x (0,58+3,71) persen x Rp 130 triliun = Rp 2,5 triliun.

Segmen kedua, ASN yang jumlahnya 4,2 juta jiwa.  Anggaran untuk belanja pegawai pada APBN 2020 sebesar Rp 416,1 triliun. Dengan mengambil besaran setengah persen per bulan untuk wakaf, diperoleh potensi wakaf uang ASN Rp 2 triliun per tahun.

Segmen ketiga, perusahaan nasional. Menteri Pendayagunaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam dengar pendapat dengan DPR, 30 Juli 2015 menyebutkan, potensi dana corporate social responsibility (CSR) perusahaan nasional Rp 12 triliun per tahun. 

Dengan asumsi pertumbuhan dana CSR 10 persen per tahun maka pada 2020, mencapai Rp 19 triliun. Sebaran CSR menurut pemanfaatan, di bidang pendidikan 19 persen dan kesehatan 16 persen. 

Dengan asumsi sektor potensial dikonversi menjadi wakaf adalah sektor pendidikan dan kesehatan, diperoleh potensi wakaf lembaga sebesar (19+16) persen x Rp 19 triliun = Rp 6,65 triliun.

Segmen keempat, hasil pengolahan tanah wakaf.  Asumsi dari 4,1 miliar meter persegi tanah wakaf, 10 persen berada di lokasi strategis dengan harga rata-rata Rp 10 juta per m2, diperoleh Rp 400 triliun.

Kedua, menggerakkan kelas menengah Muslim, kelompok konformis dan universalis di segmen elite dan menengah atas.

ika aset itu dikomersialisasikan dalam wakaf produktif, dengan potensi apresiasi harga pasar 5 persen per tahun dan return on asset (yield atas tanah) 5 persen per tahun, dihasilkan manfaat wakaf sebesar 10 persen atau Rp 40 triliun per tahun. 

Dengan demikian, total potensi wakaf uang di Indonesia, 130 + 2 + 6,65 + 40 = Rp 178,65  triliun per tahun, dibulatkan menjadi Rp 180 triliun.

Agenda ke depan

Pertanyaan penting yang mesti dijawab, apa yang mesti dilakukan? Ini berkaca pada gerakan wakaf uang yang pernah diluncurkan juga oleh presiden pada 2010, tidak membawa hasil signifikan bagi pengumpulan wakaf uang di Indonesia. 

Data wakaf uang yang berhasil dikumpulkan BWI sampai 2020, baru Rp 391 miliar. Setidaknya ada empat agenda yang mesti dilakukan. Pertama, menggerakkan wakaf aparatur sipil negara (ASN) se-Indonesia.  Ini sudah dimulai oleh Kementerian Agama (Kemenag).

Dalam acara peluncuran gerakan wakaf uang ASN di Kemenag pada 28 Desember 2020, terkumpul Rp 3,918 miliar yang disetorkan ke BWI sebagai nazir.  Secara perlahan, penulis yakin, gerakan ini diikuti kementerian lainnya.  

Semoga wakaf di Indonesia semakin berkembang dan memberi manfaat besar kepada masyarakat.

Kedua, menggerakkan kelas menengah Muslim, kelompok konformis dan universalis di segmen elite dan menengah atas. Penting memperbanyak sosialisasi dan literasi wakaf uang kepada mereka melalui media sosial.

Menurut Alvara Research Center tahun 2016, kelompok elite dan menengah paling banyak di Pulau Jawa, yakni  6,24 persen, Sumatra 3,76 persen, Sulawesi 3,50 persen, Kalimantan 3,21 persen, Papua 2,85 persen, Balinusa 2,72 persen, dan Maluku 1,53 persen.

Ketiga, mengajak perusahaan nasional menyalurkan CSR-nya dalam bentuk wakaf.  Keempat, membina para nazir meningkatkan kapasitasnya dalam pengelolaan wakaf tanah. Dengan langkah ini, tak mustahil potensi Rp 40 triliun per tahun dapat tercapai. 

Karena itu, pada 2021 ini akan dilakukan sertifikasi nazir untuk memastikan mereka benar-benar mampu mengelola wakaf tanah. Semoga wakaf di Indonesia semakin berkembang dan memberi manfaat besar kepada masyarakat.

Penulis : Hendri Tanjuh, PhD.

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *