Sragen | Di daerah Sendangkarang, Genengduwur, Gemolong, Sragen, Jawa Tengah, seorang pria berharap bisa membantu pendidikan umat Islam yang berasal dari golongan tak mampu. Beberapa tahun niat itu tak kunjung terlaksana karena ia juga punya masalah finansial. Namun tahun 2004, semuanya berubah. “Ada seorang muslim yang berkenan memberikan wakaf tanah seluas 2.000m2 dan sebuah bangunan mesjid. Di tempat itulah, saya berjuang dari nol untuk mendirikan Ponpes,” paparnya.
Ya, pria itu adalah Kiai Slamet Al-Barqy, pendiri sekaligus ketua Yayasan Pondok Pesantren al-Musanni. Lembaga pendidikan yang didirikan di tanah wakaf itu diberi nama al-Musanni. Kata itu berasal dari bahsa Arab Sanniyah, yang berarti berhati luhur. Dengan nama itu, ia berharap agar para santri memiliki kepribadian yang luhur.
Hidup Sederhana, Back to Nature
Untuk meraih itu, para santri harus menempa hidup sederhana di lokasi pesantren. Mereka harus tinggal di gubuk-gubuk. Gubuk berukuran 3×4 m2 itu terbuat dari bambu dan anyaman bambu (gedhek). Untuk menghindari bahaya air, bangunan gubuk dibuat layaknya rumah panggung. Keseluruhan, terdapat 10 gubuk di atas tanah bertekstur perbukitan itu. Para santri putera harus tinggal di tempat tersebut. Rata-rata, tiap gubuk dihuni oleh lima sampai sepuluh orang santri.
Ketika ditanya apa alasannya sehingga pengurus Ponpes menjadikan gubuk sebagai tempat tinggal, Ketua Yayasan Al-Musanni, KH Slamet Al Barqy, mengatakan hal itu sengaja dilakukan demi membiasakan santri dengan kehidupan yang tidak serba mudah. “Sejak kali pertama berdiri pondok, saya sudah menggunakan gubuk sebagai tempat tinggal santri. Harapannya, santri terlatih menjadi orang yang siap menghadapi berbagai tantangan kehidupan dan memiliki sifat mandiri,” jelasnya.
Selain itu, lanjutnya, keberadaan gubuk yang ada di tanah perbukitan dengan pemandangan alam yang masih hijau, merupakan salah satu penerapan konsep back to nature. “Setahu saya, ketahanan tubuh seseorang akan lebih tinggi jika ia menyatu dengan alam. Oleh karena itu, para santri saya latih untuk dekat dengan alam,” ujarnya.
Mencetak Wirausahawan
Semua itu dilakukaan, demi mewujudkan tekad pendiri Ponpes untuk mencetak seorang wirausahawan yang berakhlak mulia. “Selain mempelajari ilmu agama, terutama ilmu fikih sebagai dasar bermuamalah, santri juga diberikan bekal keterampilan. Diantaranya membuat kerajinan dari kuningan, mengelas, dan otomatif. Lulus dari pondok, saya berharap para santri bisa memiliki usaha sendiri sehingga tidak tergantung kepada orang lain,” urainya.
Keinginan untuk tidak tergantung kepada orang lain, juga telah dicontohkan para pengurus Ponpes Al-Musanni. Selama ini, mereka belum pernah membuat proposal permintaan dana untuk membiayai seluruh kegiatan Ponpes. “Kami memiliki beberapa divisi usaha yang penghasilannya digunakan untuk menopang biaya Ponpes. Jadi tidak mengandalkan donatur. Tapi kalau ada donatur yang akan memberikan bantuan, tetap kami terima,” ungkapnya.
Tak hanya pendidikan nonformal, kata Kiai Slamet, santri juga dibekali dengan pendidikan formal hingga tingkat STM tanpa dipungut biaya sepeserpun. “Yayasan Al-Musanni menyelenggarakan pendidikan formal tingkat sekolah menengah pertama (SMP) dan STM. Jadi, santri bisa belajar ilmu agama sambil sekolah,” katanya. (aum/slps/ewt)