Mempercepat Sertifikasi Tanah Wakaf

Pada hari Selasa (2/6), dalam perjalanan pulang dari diskusi perwakafan dengan lembaga-lembaga perwakafan dunia di Kuala Lumpur, saya menerima telepon wawancara dari salah satu wartawan koran ini. Ia menanyakan perkembangan sertifikasi tanah wakaf dan rumah-rumah ibadah. Saya jelaskan bahwa dari 435.395 persil tanah wakaf yang ada di Indonesia, baru 66,25 persen saja yang sudah mempunyai sertifikat wakaf. Sisanya, sebanyak 33,75 persen atau 146.966 persil tanah wakaf belum bersertifikat wakaf.

 

Menurut data Kementerian Agama, sebagaimana dikutip Wakil Presiden Jusuf Kalla pada acara pembukaan lokakarya dan orientasi pengelolaan wakaf dan aset masjid di Indonesia di Istana Wapres pada tanggal 25 Mei 2015, jumlah masjid di seluruh Indonesia ada 860.000 buah. Berarti ada kurang lebih 424.605 masjid yang belum bersertifikat wakaf. Dengan demikian secara keseluruhan ada total sekitar 571.571 aset tanah wakaf yang belum mempunyai sertifikat wakaf.

 

Hasil wawancara ini ternyata ditulis menjadi berita di koran ini pada hari Rabu (3/6) dan memantik “kegemasan” Ketua Komisi VIII DPR RI, Saleh Daulay. Diberitakan pada hari berikutnya, ia berencana meminta keterangan langsung dari Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Kementerian Agama (Kemenag) dalam forum rapat dengar pendapat (RDP). Terus terang saya pribadi sangat senang mempunyai wakil rakyat seperti beliau: tanggap dan cergas begitu menengarai ada suatu “masalah” terkait kemaslahatan umat. Saya pun senang jika Komisi VIII akan meminta keterangan para stakeholder dan BWI sebagai mitra kerja Komisi VIII pasti akan siap untuk memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya agar problem sertifikasi wakaf bisa segera selesai.

 

Persoalan sertifikasi tanah wakaf sejatinya bukan soal baru. Ini masalah lama, sejak Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf belum lahir, tetapi tidak kunjung diselesaikan oleh Pemerintah. Wakaf yang merupakan sumbangan harta dari masyarakat untuk kepentingan umum dan juga kesejahteraan umum mestinya didukung penuh oleh pemerintah, baik dalam hal regulasi maupun sertifikasi. Masyarakat sudah menyumbangkan hartanya untuk diwakafkan guna kepentingan ibadah, sosial, pendidikan, dan kesejahteraan umum lainnya. Apa yang dilakukan masyarakat dalam bentuk wakaf sejatinya merupakan bantuan kepada pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, sudah seharusnya jika Pemerintah membalas kebaikan masyarakat yang berwakaf, antara lain, dengan melindungi keberadaan tanah wakaf dengan menerbitkan sertifikat wakaf.

 

Pada tahun 2000-an, Pemerintah bisa menyeelesaikan sertifikasi tanah wakaf sebesar 66,25 persen melalui program nasional (prona) sertifikasi tanah wakaf. Mengapa sisa yang Cuma 33,75 persen ini tersendat?

 

Selama ini banyak sertifikat tanah wakaf yang terbit berkat upaya dari pihak nazhir. Untuk mendapatkannya kadang mereka harus merogoh kocek yang dalam, apalagi jika tanah wakafnya berada di tempat strategis dan luas. Hal ini semestinya tidak terjadi jika Pemerintah berpihak kepada harta wakaf. Artinya, Pemerintah semestinya bisa menerbitkan sertifikat tanah wakaf dengan biaya Rp 0 karena masyarakat juga telah memberikan tanahnya untuk meringankan beban tugas Pemerinta juga dengan biaya Rp 0. Bayangkan jika 860.000 masjid, musalla-musalla, dan madrasah-madrasah se Indonesia semuanya didirikan Pemerintah dan tanahnya juga dibeli oleh Pemerintah. Kira-kira, berapa yang harus dibayarkan Pemerintah? Mungkin bisa jembol APBN kita.

 

Selama ini Pemerintah sebetulnya sudah “berbaik hati” memberikan anggaran bantuan sertifikasi tanah wakaf. Anggaran ini dititipkan melalui Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Kementerian Agama. Namun, anggarannya hanya cukup untuk membantu 2.500 persil tanah wakaf pada tahun 2015. Jumlahnya pun cuma Rp 2.000.000 per tanah wakaf. Jika benar hanya ada 571.571 tanah wakaf belum bersertifikat, lalu Pemerintah hanya membantu sertifikasi sebanyak 2.500 persil per tahun, maka dibutuhkan 229 tahun agar sertifikasi selesai. Itu pun dengan asumsi tidak ada lagi orang berwakaf tanah. Lalu bagaimana dengan tanah-tanah wakaf yang digunakan untuk musalla, madrasah, pemakaman umum, dan lain-lain? Berarti dibutuhkan puluhan atau bahkan ratusan tahun lagi agar tanah-tanah wakaf mempunyai dokumen legal yang kuat.

 

Sebetulnya sertifikasi tanah wakaf bisa sangat mudah dan cepat jika semua pihak menyadari beberapa hal berikut. Pertama, tanah wakaf adalah milik kita bersama, bukan milik pribadi nazhir maupun wakif, mirip dengan badan hukum publik. Tanah wakaf tidak boleh dijual maupun berpindah kepemilikan. Ia hanya boleh dikelola agar manfaatnya bisa dirasakan semua orang. Kedua, tanah wakaf aset abadi yang berfungsi menyediakan fasilitas keagamaan dan sosial secara gratis. Tanah wakaf bahkan bisa dinikmati untuk kepentingan umat selain Islam. Misalnya tanah wakaf yang dikelola secara produktif untuk menyediakan beasiswa pendidikan, maka siswa nonmuslim pun bisa menikmati beasiswa tersebut. Ketiga, tanah wakaf adalah bantuan dari rakyat untuk membantu Pemerintah melayani masyarakat. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa kita semua, Pemerintah dan masyarakat, mempunyai kepentingan yang sama atas tanah wakaf, yaitu adanya perlindungan hukum yang kuat atas keberadaan tanah wakaf melalui terbitnya sertifikat tanah wakaf.

 

Sertifikat tanah wakaf, sebagaimana juga sertifikat tanah lainnya, dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional. Lembaga ini adalah lembaga Pemerintah struktural. Artinya, sukses atau tidaknya program sertifikasi tanah wakaf semata-mata tergantung pada kemauan Pemerintah. Walaupun Wapres Jusuf Kalla selaku ketua umum Dewan Masjid Indonesia, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, dan Menteri Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional telah menandatangani nota kesepahaman untuk mempercepat sertifikasi rumah ibadah/ tanah wakaf pada tanggal 25 Mei 2015 di Istana Wapres, program ini tidak akan sukses jika pola penganggaran masih seperti sekarang ini.

 

Jika Pemerintah mau, bisa saja sertifikasi tanah rumah ibadah dan tanah wakaf lainnya tidak perlu ada biaya. Pajak untuk tanah wakaf sudah dibebaskan, mengapa biaya sertifikasi masih harus bayar?[]

 

Penulis: Achmad Djunaidi (Direktur Eksekutif Badan Wakaf Indonesia)

Editor: Nurkaib

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *