Praktik wakaf di Indonesia terus berkembang. Seiring dengan lahirnya Undang-Undang No 41 tahun 2004 tentang Wakaf, mulai bermunculan inovasi-inovasi dalam praktik wakaf yang sebelumnya asing bagi umat Islam di Indonesia. Salah satunya adalah wakaf uang. Wakaf uang muncul dalam UU tersebut dimaksudkan agar wakaf dapat lebih berperan di bidang perekonomian melalui penghimpunan dana dari para wakif untuk selanjutnya disalurkan pada proyek-proyek yang produktif dan bernilai ekonomis.

 

Pada UU Wakaf, praktik wakaf uang sedikit berbeda dari wakaf lainnya. Jika umumnya seseorang berwakaf tanah maka cukup ia menyerahkan sertifikat tanahnya kepada nadir atau pengelola dengan cukup ada pengesahan dari Kantor Urusan Agama. Tapi, pada wakaf uang regulasi yang berlaku, yaitu PP No 42 tahun 2006 tentang Wakaf menghendaki agar wakaf uang tersebut tidak langsung masuk ke nadir wakaf uang tersebut, melainkan disetor kepada bank syariah yang mendapatkan izin sebagai Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) dan telah bekerja sama dengan nadir wakaf uang. Dana wakaf uang yang disetorkan ke LKS-PWU nantinya akan dimasukkan sebagai dana titipan wakaf dengan akad wadi’ah pada rekening nadir wakaf uang yang ditunjuk oleh wakif.

 

Kehadiran bank syariah sebagai LKS-PWU diharapkan dapat menguatkan perbankan syariah dan menjamin keamanan dan transparansi pengelolaan wakaf uang. Hal ini penting, mengingat syarat dari pengelolaan wakaf uang adalah dana wakaf uang tersebut harus diupayakan pokoknya tetap. Di sisi lain, bagi perbankan syariah hal ini sangatlah menguntungkan karena dana wakaf uang merupakan dana dengan zero cost of fund atau biaya nol. Berbeda dengan dana pada tabungan atau deposito yang mengharuskan bank untuk membayar sejumlah bagi hasil untuk mendapatkan dana nasabah, dana wakaf uang adalah sumber dana yang tidak perlu adanya bagi hasil bagi nasabah. Belum lagi, jangka waktu wakaf uang yang dapat berlangsung hingga selamanya, sehingga akan menguntungkan perbankan dari sisi likuiditas.

 

Manfaat lainnya yang dirasakan dengan hadirnya bank syariah sebagai LKS-PWU ialah adanya jaminan atas kekekalan pokok dana wakaf uang. Pasal 48 Ayat (4) dari PP Wakaf memberikan kewajiban kepada LKS-PWU untuk menjaminkan dana uang wakaf di Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) apabila pengelolaan dan pengembangan dana wakaf uang dilakukan di perbankan syariah. Adapun, bila pengelolaan dana wakaf uang dilakukan di luar perbankan syariah maka dana wakaf uang tersebut wajib diasuransikan di asuransi syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 48 Ayat (5) dari PP wakaf.

 

Konsekuensi dari mengendapnya dana wakaf uang di bank syariah adalah setiap keuntungan yang didapatkan oleh nadir wakaf uang dari proyek-proyek yang dibiayai dana wakaf uang juga akan dinikmati oleh bank syariah karena menurut buku Tanya Jawab Wakaf Uang yang diterbitkan Kemenag pada halaman 88, nadir diharuskan mengelola dana wakaf uang pada produk LKS atau dengan pembiayaan menggunakan akad mudharabah muqayyadah atau bagi hasil antara bank syariah dan nadir. Artinya, bank syariah akan mendapatkan bagi hasil yang besar karena biaya dana yang dikeluarkannya adalah nihil.

 

Namun, skema wakaf uang ini juga menimbulkan kritik. Pertama, dana wakaf uang yang seharusnya dapat dikelola oleh nadir wakaf uang harus mengendap dulu di bank. Artinya, nadir wakaf uang tidak dapat langsung digunakan oleh nadir untuk membiayai proyek-proyek yang sebetulnya produktif. Apabila nadir wakaf uang ingin mengajukan pembiayaan kepada bank syariah, nadir wakaf uang tersebut harus mengajukan proposal selayaknya seorang nasabah umumnya yang ingin mengajukan pembiayaan ke bank syariah. Tentu, pengajuan pembiayaan dari dana wakaf uang akan memakan waktu. Belum lagi, ditambah dengan ketentuan bahwa wakaf uang tersebut harus diinvestasikan pada produk-produk LKS dan instrumen-instrumen, sehingga akan ada bagi hasil antara bank syariah dan nadir wakaf uang maka manfaat dari pengelolaan dana wakaf uang tidak bisa optimal diterima oleh nadir dan mauquf ‘alaih atau penerima manfaat wakaf.

 

Kedua, bank syariah sebagai sebuah bisnis di bidang jasa keuangan tentu menginginkan proyek yang berpotensi mendatangkan keuntungan yang besar agar mendapatkan bagi hasil yang besar. Hal ini akan memperkecil kemungkinan penyaluran dana wakaf bagi proyek-proyek bisnis berskala UMKM yang umumnya meminta pembiayaan dengan nominal kecil dan jumlahnya sangat banyak. Ini tentu merepotkan bank syariah yang memiliki SDM account officer yang tidak banyak. Maka, niatan dana wakaf uang untuk dapat menggerakkan perekonomian masyarakat secara riil akan terhalangi karena inefisiensi dalam koordinasi pembiayaannya.

 

Solusi atas permasalahan di atas ialah, sebaiknya peran bank syariah sebagai LKS-PWU tidaklah sekaligus berperan sebagai investor sebagaimana pada pembiayaan umumnya. Bank syariah dapat berperan sebagai bank agen sebagaimana pada praktik sukuk, yakni bank hanya sebagai tempat pembayaran sukuk (atau dalam hal ini wakaf) dan dana yang diterima oleh bank langsung disalurkan kepada pihak yang menjalankan proyek yang dibiayai, yakni pemerintah dalam hal sukuk atau nadir wakaf uang pada wakaf uang. Selain itu, hendaknya dalam praktik pembiayaan proyek dengan wakaf uang, bank syariah lebih berperan sebagai advisor atau penasihat bagi nadir wakaf uang yang menjalankan proyek tersebut dengan tetap memperhatikan aspek transparansi penggunaan dana wakaf uang. Hal ini agar nadir wakaf uang dapat secara leluasa menyalurkan dana wakaf uangnya, terutama saat disalurkan pada bisnis skala mikro.

 

Solusi kedua yang dapat dilakukan ialah amandemen PP Wakaf agar secara spesifik menyebutkan bahwa LKS-PWU dapat dijalankan oleh bank syariah dan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) yang di masyarakat umum dikenal sebagai Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Hal ini didasarkan fakta bahwa BMT ialah lembaga keuangan syariah yang bersifat mikro dan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Legalisasi peran BMT sebagai LKS-PWU secara eksplisit di dalam PP Wakaf akan memberikan setidaknya tiga manfaat. Manfaat pertama, yakni dari sisi pengumpulan dana wakaf uang, BMT yang umumnya dibangun atas dasar kedekatan dengan masyarakat sekitar akan dapat menjaring wakaf uang dari masyarakat dalam jaringan BMT bermodalkan kepercayaan yang telah terbangun. Kedua, BMT akan mendapatkan sumber dana pembiayaan yang sangat murah karena dana wakaf uang tidak memiliki biaya modal mengingat dana wakaf ialah dana abadi, sehingga margin pembiayaan BMT dapat dikurangi. Ketiga, dana wakaf uang akan langsung menyentuh sektor riil dan mikro karena BMT ialah LKS yang sangat dekat dengan kalangan masyarakat mikro dan sektor riil di sekitarnya, sehingga manfaat ekonomi wakaf dapat lebih dirasakan.

 

Penulis: Raditya Sukmana (Ketua Program Studi Magister Sains Ekonomi Islam Universitas Airlangga)

 

Artikel opini ini pernah dimuat di Harian Republika 03 Mei 2016

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *