JAKARTA, BWI.or.id— Wakaf untuk penyediaan sarana air bersih dan sanitasi bukan hal baru yang perlu diperdebatkan. Wakaf semacam ini sudah pernah dipraktikkan Sayyidina Utsman pada masa Nabi Saw. Beliau membeli sumur milik orang Yahudi dan mendermakannya untuk dimanfaatkan semua orang.
Demikian salah satu poin yang disampaikan anggota Badan Wakaf Indonesia Khaerul Huda dalam kegiatan sosialisasi pendayagunaan zakat, sedekah, dan wakaf untuk penyediaan air bersih dan sanitasi di Jakarta, Jumat (27/5/2016). Kegiatan ini dilaksanakan Kementerian Kesehatan dan didukung oleh Majelis Ulama Indonesia, Badan Wakaf Indonesia, dan Badan Amil Zakat Nasional.
Menurut Khaerul, Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2015 tentang pendayagunaan zakat, infak, sedekah, dan wakaf untuk penyediaan air bersih dan sanitasi sangat tepat agar masyarakat tidak ragu lagi.
Dalam kesempatan itu Khaerul Huda menyampaikan beberapa pola penggunaan wakaf untuk penyediaan sanitasi dan air bersih. Pertama, wakif bisa langsung mewakafkan aset berupa sarana sanitasi dan air bersih kepada masyarakat. Dalam pola ini masyarakat langsung bisa menggunakan sarana tersebut dan hanya perlu memelihara.
Pola kedua, nazir membangun sarana air bersih dan sanitasi di atas tanah wakaf dengan biaya dari dana zakat dan sedekah. Pola ketiga, nazir mengumpulkan dana wakaf uang dari masyarakat, lalu menggunakannya untuk pembangunan sarana air bersih dan sanitasi di atas tanah wakaf.
Pola keempat, nazir mengelola suatu aset wakaf secara produktif, lalu keuntungannya disalurkan untuk memberikan bantuan kepada masyarakat dalam bentuk sarana air bersih dan sanitasi.
Terakhir, wakaf uang bisa digunakan sebagai modal pembiayaan bagi anggota koperasi untuk membangun sarana air bersih dan sanitasi. Model ini aman jika diterapkan untuk anggota koperasi. Sejauh ini, sudah ada lebih dari 100 koperasi yang terdaftar di BWI sebagai nazir wakaf uang.
Kegiatan ini dihadiri oleh 44 orang peserta dari jajaran dinas kesehatan pusat dan daerah, MUI, dan Bappeda.[]
Penulis: Nurkaib