Tim Husoli BWI sedang mewawancarai salah seorang tokoh yang melahirkan UU No 41 Tahun 2004, Dr. Wahiduddin Adams di ruang kerjanya, Gedung MKRI Jl. Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa 16 April 2019. Dari kiri ke kanan : Dr. Wahiduddin Adams, Bahar Maksum, Risky dan Nurkaib
Jakarta, BWI,- Revisi atas undang undang (UU) tentang Wakaf adalah suatu keniscayaan. Sehingga tujuan dilahirkannya UU tersebut bisa tercapai. Yakni untuk memajukan perwakafan nasional.
Hal itu ditegaskan oleh salah seorang tokokh yang ikut melahirkan UU No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, Dr. wahiduddin Adam menjawab pertanyaan Tim Husoli (Humas, Sosialisasi dan Literasi) Badan Wakaf Indonesia (BWI) terkait dengan kondisi UU tersebut yang saat ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan.
‘’Tetapi saya bicara ini bukan sebagai Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), melainkan pihak yang terlibat dalam proses lahirnya UU Wakaf itu. Saya bisa disalahkan, kalau bicara masalah revisi UU atas nama anggota Hakim MK,’’ tegas Wahiduddin ketika diwawancarai di ruang kerjanya Gedung MKRI, Jl. Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa, 16 April 2019.
Seperti diketahui, salah satu pasal dalam UU itu menyatakan, bahwa calon pemberi wakaf (Wakif) harta bergerak, seperti uang, harus datang ke LKS PWU (Lembaga Keuangan Syariah Penerima Wakaf Uang) untuk menandatangani Ikrar Wakaf Uang (IWU) di bank yang ditunjuk sebagai penerima wakaf tersebut. Padahal, dalam perkembangan teknologi keuangan saat ini, wakif bisa mentransfer dananya lewat E Banking (Electronic Banking) tanpa harus hadir secara fisik di kantor LKS PWU tersebut.
Selain itu, dalam setiap Rapat Koordinasi BWI Pusat dengan BWI Daerah, selalu merekomendasi agar UU Wakaf segera direvisi. Seperti rekomendasi Rakor BWI Pusat dan BWI Kabupaten/Kota se DKI Jakarta, Jawa Barat dan Banten pada 13-15 Maret 2019 di Bandung, salah satu rekomendasinya adalah perlunya UU tentang Wakaf untuk segera direvisi.
Menurut mantan Direktur Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM itu, hal seperti itu memang perlu direvisi untuk disesuaikan dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih. ‘’Tetapi, kalau itu dilakukan dengan revisi UU, itu perlu waktu lama. Untuk sementara, hal itu bisa disesuaikan dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) atau Keputusan Menteri Agama,’’ tegas mantan aktifis mahasiswa IAIN Syarief Hidayatullah, Jakarta itu.
Dari pengalaman yang ada, menurut Wahiduddin, proses revisi UU itu memerlukan waktu dua hingga tiga tahun. Karena pembahasannya melibatkan banyak pihak, bukan hanya dibahas antara anggota DPR dan Pemerintah. ‘’Kalau KMA atau PMA, cukup dibahas secara internal Kementerian Agama bersama pihak BWI. Cukup simpel,’’ ujarnya.
Meski begitu, katanya lebih lanjut, saat ada Rapat Kerja Menteri Agama dengan DPR, hal itu bisa dilaporkan. Perlu ditegaskan, bahwa PMA atau KMA itu hanya untuk kepentingan mendesak. Sehingga, kalau ada revisi UU, maka ketentuan itu akan masuk dalam proses revisi tersebut.
Mengenai masalah lain yang perlu direvisi dalam UU tersebut, Wahiduddin mengatakan, ‘’Yang lebih tahu Pimpinan dan Pengurus BWI. Saya udah lama gak mengikuti perkembangan perwakafan nasional, walau saya pernah menjadi anggota BWI pada periode pertama lahirnya BWI.’’
Saat itu, Wahiduddin menjadi anggota BWI dalam devisi kelembagaan. ‘’Itu tugas Kementerian Hukum dan HAM. Karena, seorang pejabat yang ikut melahirkan UU itu, saya ditugaskan untuk ikut mengawalnya. Sehingga, kalau ada masalah yang kurang difahami dari isi UU Wakaf itu, saya bisa langsung memberikan penjelasan,’’ ujarnya.
Yang jelas, saat ini usia UU Wakaf itu udah mencapai sekitar 15 tahun. Sehingga wajar saja, bahkan bisa menjadi keharusan untuk direvisi. Tujuannya, agar UU itu bisa ikut mendorong suksesnya pengembangan wakaf produktif, bukan jadi penghambat. Justru pasal-pasal yang menjadi penghambat laju perkembangan wakaf produktif itu yang harus diperbaharui.