Satu Tahun Badan Wakaf Indonesia

 

Jakarta (16/7/08) | Terhitung sejak turunnya Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia, tanggal 13 Juli 2007, berarti kehadiran Badan Wakaf Indonesia (BWI) sudah berusia satu tahun. Usia yang masih dini tentunya dalam mengemban tanggung jawab besar sesuai amanat undang-undang wakaf (UU No. 41/2004) untuk mengembangkan dan memajukan perwakafan di Indonesia. Karena itu harus dipahami, selain telah melakukan beberapa langkah terobosan, sudah pasti masih banyak lagi tugas-tugas yang harus dilakukan. Tapi, setidaknya, satu tahun ini dapat dijadikan cermin, apa saja yang telah di lakukan BWI dan apa yang akan di lakukan BWI ke depan.

 

Berikut ini sekilas wawancara staf Humas BWI Abdullah Ubaid Matraji dengan Wakil Ketua BWI Mustafa Edwin Nasution di sela-sela acara potong tumpeng “Syukuran 1 Tahun BWI dalam Memajukan Perwakafan” yang digelar di Kantor BWI, Pondok Gede, Jakarta, (15/7).

Apa makna perjalanan BWI selama satu tahun ini?

Kalau mau dibilang, perjalanan selama satu tahun ini tidak bisa dibilang sudah lama, tapi masih sangat singkat sekali. Pada tahun pertama ini kita bekerja dalam rangka meletakkan pondasi-pondasi organisasi Badan Wakaf Indonesia. Pondasi ini adalah peraturan-peraturan yang akan dijadikan pijakan dalam melakukan langkah-langkah untuk mengembangkan dan memajukan perwakafan di Indonesia.

Apa saja?

Peraturan tersebut antara lain menyangkut tata kerja organisasi dan beberapa SOP (standard operating procedure), misalnya SOP perubahan status dan peruntukan wakaf, SOP pengelolaan wakaf produktif, SOP nazhir professional, dan juga penyusunan rekomendasi kasus tukar guling (ruislag) tanah Wakaf.

Jadi pada dasarnya sudah banyak yang kami kerjakan, tapi juga masih lebih banyak lagi yang harus kami kerjakan. Persoalan wakaf ini kan persoalan lama, tapi belum kita seriusi, terutama soal pengelolaan wakaf kea rah produktif sebagaimana yang terjadi di dunia international. Indonesia masih belum optimal melakukan itu.

Di Indonesia aset wakaf masih dikelola secara tradisional. Karena itu, melalui BWI ini kita mau mengelola secara professional dan produktif. Terkait dengan hal tersebut, pada masa-masa awal ini, yang kami lakukan adalah meletakkan landasan kerja atau peraturan agar nanti lembaga-lembaga wakaf yang ada di Indonesia dapat bekerja secara professional dan produktif karena sudah ada instrumennya.

Apakah peraturan-peraturan itu sudah mencakup semua?

Tentu saja belum. Sekarang ini kami sedang menggodok peraturan yang terkait dengan Lembaga Keuangan Syariah. Lebih jelasnya, ini adalah masalah sisdur wakaf uang yaitu penerimaan dan penghimpunan; pengelolaan dan pemberdayaan; serta pendayagunaan manfaat wakaf. Karena itu, hingga kini kami belum bisa menerima wakaf uang. Pada dasarnya, peraturan ini sudah selesai dibahas di BWI, tapi kami masih menunggu pengesahannya dari Departemen Agama RI, dalam hal ini adalah menteri Agama.

Bagaimana dengan pembentukan perwakilan BWI di daerah?

Dalamg undang-undang wakaf pembentukan BWI di daerah itu sesuai dengan perkembangan perwakafan di daereah tersebut. Tapi makin hari makin terasa bahwa gaung perwakafan ini sudah terasa di daerah-daerah. Bahkan banyak pertanyaan yang muncul dari beberapa daerah tentang hal tersebut. Ini menandakan bahwa aspirasi mereka yang juga berkeinginan untuk memajukan perwakafan mesti ditampung.

Apa upaya BWI dalam menampung aspirasi?

Ya kita bikin regulasi tentang pembentukan perwakilan BWI di daerah. Regulasi itu sudah ada drafnya tapi belum masuk ke rapat pleno pengurus. Berarti menunggu pengesahan dari rapat pleno, setelah itu baru bisa dijalankan.

Selain itu, untuk menampung aspirasi dan berkomunikasi dengan khalayak, BWI juga membuat website dan membuka rubrik “Wakaf” di harian Republika, yang terbit setiap hari selasa minggu pertama tiap bulan. Ini bagian dari media interaktif dan sosialisasi perwakafan di Indonesia.

Ke depan apa yang akan dilakukan BWI?

Pada tanggal 6 Agustus nanti kita mengadakan Seminar Wakaf Produktif yang menghadirkan pembicara dari Mesir, Mustafa Dasuki selaku Ketua Yayasan Wakaf Shalih Kamil Universitas al-Azhar. Pada kesempatan tersebut, BWI juga akan me-launching beberapa program.

Antara lain kerjasama riset dalam pengembangan wakaf produktif bersama dengan perguruan tinggi (Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Indonesia), dan juga akan meluncurkan pilot project program wakaf produktif seperti rumah sakit, pusat bisnis, pendidikan dan beberapa model lain yang sedang kita godok.

Seminar tersebut juga disambung dengan acara Worshop Nazhir Profesional, yang melibatkan sekitar 30 nazhir professional dari berbagai wilayah di Indonesia. Forum ini digunakan sebagai ajang sharing sekaligus menggali pengalaman para nazhir yang sudah berhasil dalam mengelola dan mengambangkan harta benda wakaf secara produktif.

Program andalan lain?

Kita ini kan sedang menggodok model wakaf produktif, bagaimana agar pengelolaaan wakaf itu tidak seperti masa lalu. Biasanya, kita hanya sekedar mencari wakif, kemudian asetnya dikelola oleh nazhir, cara ini harus dirubah. Dalam era modern ini pengelolaan wakaf dapat dikombinasikan dengan sistem keuangan Islam yang baru, seperti sebut saja sukuk (obligasi syariah). Instrument ini dapat kita manfaatkan untuk memproduktif aset wakaf.

Jadi ada berbagai model pengembangan wakaf yang sekarang sedang kita teliti dan garap bersama tim litbang BWI. Ini bertujuan agar kegiatan perwakafan di Indonesia menjadi lebih produktif. Jadi, pengembangannya tidak terbatas pada sektor riil saja, tapi juga masuk dalam sektor finansial. [aum]  

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *