Yogya (13/8/08) | Meski wakaf telah memegang peranan penting dalam pembangunan masyarakat, namun dalam kenyataannya masih sedikit wakaf yang dikelola secara profesional dan produktif dan memberi manfaat secara ekonomis bagi masyarakat banyak. Menurut Sekretaris Badan Pelaksana Badan Wakaf Indonesia (BWI) Sumuran Sumuran, kekayaan tanah wakaf di Indonesia luar biasa besarnya. Data Departemen Agama hingga Januari 2008 mencatat kekayaan tanah wakaf di Indonesia sebanyak 361.438 lokasi dengan luas 2.697.473.783.08 m2. Dari total jumlah ini 75% di antaranya sudah bersertifikat wakaf dan sekitar 10% memiliki potensi ekonomi tinggi. "Boleh jadi yang belum terdata lebih banyak lagi," katanya.
Pada acara temu konsultasi tim kerja sertifikasi tanah wakaf di Yogya, Jawa Tengah, (15/7), ia juga mengemukakan, potensi benda wakaf tersebut dalam kenyataannya selama ini lebih banyak dimanfaatkan untuk keperluan konsumtif seperti masjid, musala, pesantren, madrasah, sekolah, pemakaman, rumah yatim piatu dan lembaga-lembaga Islam lainnya. Sehingga wakaf belum berperan banyak dalam menanggulangi permasalahan umat, khususnya masalah kemiskinan, pendidikan, pengangguran dan pemberdayaan ekonomi lemah. Bahkan pencitraan yang timbul terhadap wakaf adalah harta yang tidak bisa diproduktifkan dan hanya diperuntukkan sebagai tempat ibadah dan tidak memiliki nilai ekonomis.
Dari aspek nazhir, lanjut Sumuran, pengurus dan arapat wakaf sangat strategis dan sentral untuk pembangunan wakaf pada umumnya lebih didasarkan pada pengelolaan wakaf secara tradisional. Mereka tidak memiliki visi dan misi, pengetahuan, skill dan kemauan yang kuat untuk mengembangkan harta wakaf yang lebih berdayaguna dan berhasil guna. "Hal ini terjadi karena tidak memahami filosofi wakaf. Akibatnya tidak sedikit pengelola zakat (nazhir) sengaja melepas tanah-tanah wakaf untuk di ruislag," tandasnya. Bahkan, tanah wakaf yang berada di tempat-tempat strategis bernilai ekonomi tinggi ditukar dengan tanah pertanian di pedesaan, yang pengembangannya sulit dilakukan. Kecuali ditanami untuk kebutuhan sehari-hari, hasilnya sama sekali tidak dapat memperbaiki ekonomi.
Penyebab lain, kata Sumuran, sebagian besar masyarakat muslim lebih mementingkan aspek keabadian benda wakaf dari pada aspek kemanfaatan, dan di samping itu tidak maksimalnya pengelolaan wakaf di Indonesia ini karena adanya pemahaman fiqih fanatik dalam mazhab tertentu yang melarang adanya perubahan peruntukan terhadap benda-benda wakaf. Naibnya lagi tidak sedikit di antara nazhir yang justru mengambil keuntungan dengan menyalahgunakan peruntukan wakaf dengan menyewakan wakaf untuk bisnis demi kepentinga pribadi. (kr)