Jakarta (26/10/08) | Profesi sebagai pengelola wakaf atau nazhir terbilang tak banyak dilirik orang. Namun, belakangan ini seiring dengan perubahan era dalam pengelolaan dan pengembangan harta wakaf, dari paradigma konsumtif menuju produktif, lamat-lamat posisi ini mulai diminati. Setidaknya tercermin dari beberapa kasus wakaf yang mengemuka. Seperti sengketa dalam pengelolaan aset wakaf yang berasal dari Yayasan Dakwah Islam di Utan Kayu Matraman Jakarta Timur.

 

Sengketa ini santer di permukaan sejak tahun 2005, ketika terbit surat pengesahan lima orang sebagai nazhir baru Masjid Dakwah Islam, yang bernomor W.5/187/KP/E. Pemicunya yaitu salah seorang anggota Nazhir lama, H. Idris Sutan Sampono, tidak setuju dengan nama-nama nazhir baru tersebut, sebab ia merasa tidak dilibatkan dalam proses pengangkatan.

Meski surat pengesahan itu ditentang Idris yang juga merupakan salah seorang pembina Yayasan Dakwah Islam, H. Yusuf Soekisno selaku ketua Nazhir baru tak menggubrisnya. Dengan bekal surat pengesahan Nazhir yang baru itu, Yusuf mengklaim sebagai pihak yang paling berhak mengelola dan mengembangkan seluruh aset wakaf dari Yayasan Dakwah Islam. Sementara itu, Yayasan Dakwah Islam dianggap tidak lagi mempunyai hak dan kewenangan dalam mengurus serta mengelola asset Yayasan Dakwah Islam karena sudah diwakafkan kepada Nazhir Mesjid Dakwah Islam.

Proses wakaf ini terjadi tahun 1986. Yayasan Dakwah Islam mewakafkan seluruh asetnya kepada Nazhir Masjid Dakwah Islam. Penandatanganan Akta Ikrar Wakaf dilakukan oleh KH. Amiruddin Jamil selaku Ketua Yayasan Dakwah Islam dengan AIW No. W.2/006/E/I/Tahun 1986 dan surat pengesahan Nazhir No. W.5/006/BH/E/Tahun 1986 di depan PPAIW Kec. Matraman. Adapun nama-nama Nazhirnya adalah H. Endang Kusnadi (Ketua), M. Yususf Soekisno (Sekretaris), Hj. Eti Rochaeti K (Bendahara), Idris Sutan Sampono (Anggota), dan H. Karsan Wangsaatmadja (Anggota).

Dalam perjalanannya, pihak Yayasan Dakwah Islam bersama tiga orang nazhir, yaitu Karsan, Eti Rochaeti, dan Idris, sepakat untuk membubarkan nazhir masjid Dakwah Islam. Usulan pembubaran ini dikarenakan adanya tumpang tindih tugas pengelolaan antara pihak yayasan dengan para nazhir. Sebab, di lapangan, pengelolaan aset wakaf tersebut juga masih sering ditangani oleh Yayasan. Tapi, usulan itu dimentahkan KUA Matraman, dengan dalih bahwa “nazhir tidak bisa dibubarkan”.

Selang beberapa tahun, tiga dari lima orang Nazhir telah wafat, yaitu Endang, Karsan, dan Eti Rochaeti. Berarti tinggal dua, Yusuf dan Idris. Lalu, tahun 2005 terbit surat pengesahan Nazhir Masjid Dakwah Islam No. W. 5/187/KP/E Tahun 2005 di depan PPAIW kec. Matraman. Tiga nama baru sebagai pengganti nazhir yang telah meninggal itu adalah H. M. Sany (Wakil Ketua), Sudarsono (Bendahara), H. M. Syarifuddin (Sekretaris). Sementara nazhir lama: Yusuf berperan sebagai Ketua Nazhir, dan M. Idris seabgai anggota.

Komposisi inilah yang tidak disetujui oleh Idris. Sampai kini, Idris tetap tidak setuju karena merasa tidak dilibatkan dalam pengangkatan. Langkah Idris ini didukung oleh pihak Yayasan Dakwah Islam. Karena itu, ia menuntut untuk membubarkan nazhir baru itu, lalu dibentuk musyawarah bersama yang melibatkan semua pihak untuk menunjuk nazhir baru lagi. [aum]  

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *