Oleh Prof Dr KH Thalhah Hasan,

Ketua Badan Pelaksana Badan Wakaf Indonesia (BWI).

Di samping zakat, infak, dan sedekah (ZIS), dalam Islam juga dikenal wakaf sebagai bagian dari pranata Islam yang berdimensi kesejahteraan sosial. Eksistensi wakaf dalam instrumen ekonomi Islam bisa dibilang khas dan strategis. Kekhasan itu tampak jika dibanding zakat. Ciri utama pembedanya adalah tugas pengelola.Amil zakat berkewajiban mendistribusikan seluruh harta zakat kepada delapan golongan. Pengelola wakaf (nazhir) harus menjaga harta wakaf agar tetap utuh. Yang dapat didistribusikan adalah manfaat atau hasil pengelolaan harta yang diwakafkan (mauquf).

 

Nilai strategis wakaf bisa dilihat dari sisi pengelolaan. Jika zakat ditujukan untuk menjamin keberlangsungan pemenuhan kebutuhan pokok kepada delapan golongan, wakaf lebih dari itu. Hasil pengelolaan wakaf bisa dimanfaatkan bagi berbagai lapisan masyarakat, tanpa batasan golongan untuk kesejahteraan sosial dan membangun peradaban umat. Keutamaan wakaf terletak pada hartanya yang utuh dan manfaatnya yang terus berlipat dan mengalir abadi, atau biasa disebut shadaqah jariyah.

Dibanding ZIS, pengelolaan wakaf di Indonesia terbilang ketinggalan. Badan yang membidani secara khusus baru berdiri satu tahun, yaitu Badan Wakaf Indonesia (BWI). Tugasnya mengelola dan memajukan perwakafan di Indonesia, sebagaimana diamanatkan pasal 47, UU No 41 tahun 2004.

Gerakan wakaf uang

BWI melakukan gerakan wakaf uang. Meski MUI enam tahun silam menerbitkan fatwa ihwal bolehnya (jawaz) wakaf jenis ini, BWI belum bisa memulainya. Pasalnya, harus menunggu keputusan Menteri Agama mengenai nama-nama Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sebagai penerima wakaf uang.

Saat yang ditunggu pun tiba. Pada 9 September, Menag Maftuh Basyuni memutuskan lima nama LKS Penerima Wakaf Uang (PWU), yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, Bank DKI Syariah, dan Bank Mega Syariah. Ini momentum pengembangan wakaf produktif melalui instrumen wakaf uang.Potensi wakaf uang terbilang besar. Andai ada sejuta Muslim mewakafkan Rp 100 ribu, akan diperoleh Rp 100 miliar setiap bulan dan Rp 1,2 triliun per tahun. Jika diinvestasikan dengan tingkat return 10 persen per tahun, akan diperoleh penambahan Rp 10 miliar setiap bulan (Rp 120 miliar per tahun).

Untuk mengoptimalkan potensi besar itu, LKS berperan sebagai mitra kerja BWI dan para nazhir. Dalam menggalang wakaf uang, LKS dipilih sebagai mitra karena punya beberapa kelebihan.Pertama, jaringan kantor yang membantu nazhir menghimpun wakaf uang. Luas jaringan ini mampu menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia. Tingkat pertumbuhan jumlah kantor LKS 2,1 persen per bulan. Ini faktor penting dalam memaksimalkan sosialisasi dan penggalangan wakaf uang.

Kedua, jaringan delivery channel. Jaringan ini meliputi ATM, EDC, phone banking, mobile banking, dan internet banking. Efektivitas dan efisiensi jaringan ini patut dibanggakan. Banyak orang berbondong-bondong mengunduh manfaat dan kemudahan dari kemajuan teknologi. Ini pun ceruk strategis yang mesti dimanfaatkan untuk menjaring wakaf uang.

Ketiga, jaringan mitra atau aliansi. LKS telah berjejaring dengan berbagai mitra terkait. Melalui jaringan itu, LKS bisa memasuki kawasan Nusantara. Pengalaman LKS dalam bermitra menjadi faktor yang akan selalu dipertimbangkan dalam mengoptimalkan penghimpunan wakaf uang. Faktor itu juga memungkinkan membentuk database informasi mengenai sektor usaha ataupun debitur yang akan dikembangkan.

Menjalin mitra

Selain menjaring wakaf uang, LKS juga dapat berperan sebagai mitra dalam pengembangan aset wakaf ke arah yang lebih produktif. Ada beberapa alternatif model kerja sama. Pertama, hukr atau sewa berjangka panjang. Model ini memosisikan LKS sebagai pengendali atau manajer yang menyewa tanah wakaf untuk periode jangka panjang. LKS mengambil tanggung jawab konstruksi dan manajemen serta membayar ongkos sewa secara periodik kepada nazhir.

Kedua, murabahah. Nazhir memosisikan dirinya sebagai pengusaha pengendali proses investasi yang membeli berbagai keperluan proyek wakaf, seperti material dan peralatan kepada LKS. Pembayarannya dibayar kemudian, diambilkan dari pendapatan hasil pengembangan wakaf. 

Ketiga, mudharabah. Model ini dapat digunakan nazhir sebagai mudharib dan menerima dana likuid dari LKS untuk mendirikan bangunan di atas tanah wakaf. Manajemen akan tetap berada di tangan nazhir dan tingkat bagi hasil diterapkan untuk menutup biaya usaha dalam manajemen sebagaimana juga penggunaan tanahnya.

Tiga model di atas sebatas contoh yang dapat dikembangkan lebih jauh. Pada intinya, nazhir mempunyai kapabilitas dan jaringan yang luas untuk mengembangkan aset wakaf. Pengembangan aset atau investasi ini untuk mengoptimalkan fungsi harta wakaf sebagai prasarana menciptakan kesejahteraan sosial dan membangun peradaban umat, seperti memajukan pendidikan, pengembangan rumah sakit, pemberdayaan ekonomi masyarakat, dan penciptaan lapangan pekerjaan.

Fungsi ini diakui kurang maksimal sebab pemanfaatan aset wakaf kebanyakan masih dikelola secara tidak profesional atau konsumtif. Dengan terbitnya Keputusan Menteri Agama tentang nama-nama LKS PWU, akan menggairahkan semangat  nazhirmengembangkan harta wakaf ke arah yang lebih produktif melalui wakaf uang yang bekerja sama dengan LKS.

Sudah saatnya nazhir mengubah paradigma dalam pengelolaan aset wakaf dari menunggu bola menjadi menjemput bola, dari meminta-minta menjadi menjalin mitra. Itulah yang disebut sebagai  financial engineering dalam makna pengembangan aset wakaf. Dengan begitu, diharapkan tak ada lagi aset wakaf yang tidak produktif, apalagi telantar dan tak jelas statusnya.

Mari bersama-sama mengoptimalkan pengelolaan wakaf untuk kesejahteraan sosial. Harus dipahami, problem kemiskinan dan keterpurukan yang mendera bangsa ini tak mungkin diselesaikan dengan satu cara.  Dalam hal ini, wakaf punya potensi besar turut andil dalam menyelesaikan masalah ini. Kuncinya pada kemauan dan kemampuan para nazhir (termasuk BWI) untuk memproduktifkan aset, dan tentu saja dukungan umat Islam serta bangsa Indonesia pada umumnya.

 

Sumber: Republika, 31 Oktober 2008.

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *