Tantangan Wakaf untuk Keadilan Sosial

 

Jakarta (2/12/08) | Pentingnya mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan selaras menjadi kepedulian para pengelola lembaga wakaf di Indonesia. Mayoritas setuju dengan upaya melakukan penanganan ketidakadilan sosial melalui perubahan sistem sosial, ekonomi dan politik yang tidak adil. Berbagai persoalan bangsa seperti kemiskinan, pengangguran, kesehatan dan pendidikan yang rendah, masih menjadi persoalan yang rumit untuk diselesaikan. Dengan mengatasi berbagai persoalan sosial sampai ke akarnya, perubahan sistem dan struktur sosial yang tidak adil, menjadi harapan baru untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan yang dicita-citakan.

 

Namun, tentu saja, hal ini tidak mudah mengingat penyelesaian ketidakadilan sosial juga membutuhkan kerjasama dari berbagai elemen masyarakat, utamanya negara dan pasar agar mereka adil dalam mendistribusikan segala sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

 

Lembaga wakaf, utamanya yang berbasis organisasi dan badan hukum, bisa menjadi salah satu lembaga masyarakat sipil alternatif yang bergandengan tangan dengan organisasi masyarakat sipil lainnya dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Harapan ini amat wajar dialamatkan kepada lembaga wakaf, mengingat ia merupakan lembaga endownment masyarakat Muslim yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat dari generasi ke generasi. 

 

Menurut hasil penelitian Center for The Study of Religion and Culture (CSRC), aset nasional ekonomi wakaf sangat besar, mencapai 590 triliun jika dilihat dari angka rata-rata aset lembaga wakaf dikalikan dengan jumlah lokasi wakaf. Dengan aset sebesar ini, idealnya, wakaf bisa diberdayakan untuk membiayai pembangunan masyarakat melalui berbagai kegiatan produktif yang dikembangkannya.

 

Membiayai berbagai upaya keadilan sosial melalui wakaf amat mungkin dilakukan, baik dalam level yang paling sederhana seperti memenuhi kebutuhan dasar maupun upaya lain seperti perbaikan kehidupan masyarakat miskin, peningkatan partisipasi publik, dan pembuatan kebijakan yang memihak golongan lemah. Pada tingkat persepsi, masyarakat pengelola wakaf optimis inisiatif-inisiatif keadilan tersebut bisa dilakukan. Namun, dalam praktiknya, jangankan untuk membiayai persoalan peningkatan partisipasi publik dan pembuatan kebijakan, pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial saja masih sangat jarang dilakukan. Survey ini menemukan bahwa hasil wakaf yang disalurkan untuk orang miskin, anak yatim, dan orang-orang lemah lainnya seperti orang jompo, janda, dan lain-lain, tidak lebih dari 30 %. Begitu pula, hasil wakaf yang diberikan untuk kepentingan organisasi masyarakat kurang dari 10 %.

 

Sangat kecilnya angka peruntukan hasil wakaf bagi pencapaian kesejahteraan dan keadilan dapat dimaklumi mengingat mayoritas harta wakaf (tanah) dimanfaatkan untuk pembangungan keagamaan yaitu masjid dan pengembangan lembaga pendidikan seperti madrasah, pesantren dan sekolah. Sedangkan pemanfaatan harta wakaf untuk sarana sosial seperti rumah sakit dan panti asuhan, serta sarana umum seperti jalan, sumur, jembatan, dan lainnya sangat jarang dilakukan. 

 

Tingginya fungsi wakaf untuk tujuan keagamaan di atas memang memiliki akar sejarah yang panjang terkait penyebaran agama Islam di nusantara, dimana masjid menjadi elemen terpenting untuk pengembangan dakwah. Dari masjid, berkembang ajaran agama Islam yang saat ini dipeluk oleh mayoritas masyarakat Indonesia. 

 

Namun demikian, ketika Islam sudah menyebar dalam masyarakat, bahkan bagi sebagian orang menjadi identitas utama dibandingkan dengan identitas bangsa sekalipun, lembaga wakaf tidak beranjak dari fungsi dan orientasi keagamaannya. Kondisi inilah yang kemudian memandulkan fungsi wakaf sebagai daya dorong bagi kesejahteraan masyarakat karena kebanyakan orang cenderung berwakaf untuk masjid dan kegiatan keagamaan. Ketika wakaf produktif tidak dapat dikembangkan (hanya 23 % dari lembaga wakaf yang produktif), akibatnya sangat jelas, tidak ada sumber dana untuk membiayai pelayanan sosial-keagamaan yang diemban lembaga wakaf. Masjid maupun lembaga pendidikan berbasis wakaf saat ini mayoritas (70%) mengandalkan sumbangan masyarakat berupa zakat, infak, sedekah dan bentuk sumbangan lainnya untuk membantu biaya operasional lembaga.  

 

Meskipun demikian, masyarakat masih bisa berbangga dengan berbagai lembaga wakaf yang mengelola pendidikan. Meski menyisakan banyak persoalan, lembaga pendidikan berbasis wakaf telah eksis meningkatkan taraf pendidikan anak bangsa. Berbagai sekolah, madrasah, dan pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia hadir untuk membantu pemerintah membangun sumber daya manusia melalui jalur pendidikan. Walaupun sebagian besar lembaga pendidikan berbasis wakaf didanai oleh masyarakat, namun ada segelintir lembaga wakaf yang memanfaatkan hasil wakaf produktif untuk membiayai lembaganya. Pondok Modern Gontor, misalnya, merupakan satu dari sekian lembaga wakaf yang bisa menjadi model bagi pengembangan lembaga pendidikan berbasis wakaf.

 

Sifat lembaga wakaf yang lebih berorientasi keagamaan, di satu sisi, dan tidak produktif di sisi lain, dapat ditelusuri dari bagaimana kerangka hukum fikih yang dipahami masyarakat, bentuk pengelolaan lembaga wakaf dan peran negara dalam mendorong wakaf untuk tujuan produktif dan membangun inisiatif keadilan sosial.

 

Hasil temuan survei ini mengkonfirmasi bahwa kerangka fikih wakaf yang dianut masyarakat lebih dekat dengan bangunan fikih Mazhab Syafi’i yang lebih kaku dalam memahami berbagai persoalan wakaf. Dalam hal wakaf uang, misalnya, mazhab ini cenderung berkeberatan karena uang dianggap tidak lestari dan cepat habis. Wakaf uang sesungguhnya telah eksis sejak beberapa abad silam di beberapa negara Muslim seperti Turki. Namun di Indonesia, baru tahun 2002, wakaf uang dibolehkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). 

 

Walaupun lebih berlandaskan Mazhab Syafi’i, studi ini menemukan bahwa masyarakat terutama pengelola wakaf, pada tingkat tertentu, lebih terbuka untuk membangun perspektif fikih yang lebih adaptif dengan perubahan. Mereka umumnya memandang positif pembaruan fikih wakaf. Mereka setuju dengan pandangan fikih kontemporer yang membolehkan wakaf uang (cash waqf). Meskipun demikian, para nazhir masih ragu-ragu terkait dengan perlunya penukaran harta wakaf dengan yang lebih produktif serta perubahan peruntukan wakaf untuk tujuan kemaslahtan yang lebih besar. Selain itu, praktik penukaran wakaf dan perubahan peruntukannya masih belum populer. Kenyataan ini menunjukkan keinginan untuk mengadopsi pembaruan fikih wakaf kontemporer mulai muncul. Namun para nazhir masih kuat memegang prinsip kehati-hatian sehingga mereka cenderung menutup ruang bagi pengembangan harta wakaf secara produktif. 

 

Selain aspek fikih di atas, manajemen lembaga wakaf manjadi bagian yang paling krusial dalam memahami persoalan wakaf. Manajemen wakaf berkaitan dengan nazhir selaku pengelola wakaf, sistem pengelolaan wakaf, dan akuntabilitasnya. Hasil survei ini menunjukkan bahwa sebagian besar lembaga wakaf dikelola oleh perseorangan (66%) dan selebihnya dikelola oleh nazhir organisasi dan badan hukum. Dibandingkan nazhir wakaf perseorangan, dalam berbagai aspek, ditemukan bahwa pengelolaan wakaf berbasis organisasi dan badan hukum secara umum lebih memungkinkan untuk diupayakan ke arah pengembangan wakaf keadilan sosial. 

 

Hal ini disebabkan adanya fakta dimana mayoritas pengelola wakaf yang notabene nazhir perseorangan bekerja paruh waktu (84%) dan tidak mendapat imbalan. Di samping itu, pola penunjukan nazhir yang dominan adalah berdasarkan unsur kekerabatan. Dengan realitas lembaga wakaf seperti ini, tentu amat sulit menuntut dikembangkannya lembaga wakaf yang profesional dan akuntabel. Pengelolaan berbasis kekeluargaan seperti yang terjadi di pesantren-pesantren, menyulitkan pemisahan antara aset pimpinan pesantren dan aset publik. Melihat benang kusut ini, yang bisa dilakukan adalah seperti yang terjadi di Pondok Modern Gontor dengan menjadikan pesantren sebagai badan wakaf publik.

 

Sementara itu, berkaitan dengan akuntabilitas lembaga wakaf, hampir seluruh lembaga wakaf telah melakukan pengelolaan dan pelaporan kerja organisasi termasuk pelaporan keuangan mereka meski dalam bentuk yang paling sederhana. Pengumuman pelaporan keuangan melalui papan pengumuman masjid merupakan yang paling banyak dilakukan. Sedangkan pelaporan melalui media lain seperti media cetak dan elektronik hanya dilakukan oleh segelintir lembaga wakaf. 

 

Aspek lain yang perlu ditinjau berkaitan dengan permasalahan wakaf adalah kepastian hukum dan perundang-undangan wakaf. Saat ini telah lahir UU Wakaf No. 41 tahun 2004 dengan tujuan pokok untuk mendorong kemajuan pengelolaan wakaf di Indonesia. Terhadap kelahiran undang-undang ini, sebagian besar nazhir memandang positif bahwa UU ini dapat memberikan kepastian hukum dan memperkuat lembaga wakaf. Di samping itu, UU ini juga bisa mendorong masyarakat untuk berwakaf. Selain memiliki persepsi positif dengan hadirnya UU wakaf tersebut, dan juga mendukung keberadaan Badan Wakaf Indonesia (BWI). Badan ini diharapkan mampu menjamin terciptanya kemajuan pengelolaan wakaf untuk kegiatan produktif di satu sisi dan peningkatan fungsi pelayanan sosial keagamaan di sisi lain.  

 

Dengan realitas wakaf di Indonesia seperti digambarkan di atas, memang masih sulit mengharapkan peningkatan peran wakaf seperti di Mesir, Kuwait, dan Turki, yang memiliki tradisi wakaf yang kuat. Namun, ditilik dari potensi wakaf di tanah air, wakaf menyimpan potensi yang besar untuk dikembangkan menjadi aset produktif, yang pada akhirnya tidak saja mampu menghidupi pelayanan sosial-keagamaan, tetapi juga diarahkan untuk mendukung berbagai inisiatif dan tujuan keadilan sosial. 

 

Berdasarkan studi mengenai potensi dan permasalahan wakaf di Indonesia, beberapa hal berikut seharusnya menjadi perhatian berbagai pihak dalam pengelolaan wakaf. Pertama, perhatian yang lebih besar bagi pemberdayaan wakaf yang belum produktif, yang mayoritas berbasis masjid dan lembaga pendidikan serta memberdayakan wakaf yang masih terlantar. Kedua, peningkatan sumber daya manusia (SDM) nazhir berkaitan dengan persoalan manajemen dan profesionalisme serta keahlian mengoptimalkan potensi ekonomi wakaf perlu menjadi prioritas. Ketiga, bersama-sama dengan lembaga nasional dan internasional penting memikirkan upaya pengembangan ekonomi wakaf dengan membuka jalur investasi pada wakaf yang strategis dan potensial. Keempat, hendaknya membangun kepercayaan publik (public trust) dengan meningkatkan standar akuntabilitas dan transparansi lembaga wakaf. Kelima, pembuatan regulasi wakaf hendaknya didorong untuk mendukung pengembangan wakaf untuk tujuan keadilan sosial. [crsc]

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *