Jakarta – Ternyata, banyak masyarakat yang belum memahami dengan benar, apa itu wakaf dan bagaimana cara berwakaf. Hal ini berdasarkan pengamatan Dirjen Bimas Islam Depag RI Nasaruddin Umar berdasarkan laporan Kantor Urusan Agama di beberapa daerah. “Tak sedikit dari mereka yang menyamakan antara wakaf dengan zakat, infak, shadaqah,” ujarnya di Jakarta. Pemahaman ini perlu diluruskan. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memanfaatkan puluhan ribu tenaga penyuluh Departemen Agama yang tersebar di seluruh penjuru tanah air.
Untuk itu, penyuluh juga harus dibekali pemahaman yang komprehensif ihwal perwakafan di Indonesia. Ini mengingat perkembangan perwakafan di Indonesia yang cukup progresif, terutama 5 tahun terakhir.
Setidaknya, pasca diterbitkannya UU no. 41 tahun 2004 tentang wakaf dan PP. No. 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan undang-undang wakaf. Di antara perkembangan itu adalah definisi nazhir. Dulu nazhir adalah perseorangan, kini sudah mengalami perluasan makna, nazhir itu bisa perseorangan, yayasan, organisasi berbadan hukum, dan organisasi kemasyarakatan.
Selain itu, undang-undang ini juga mengatur harta benda wakaf. Kalau dulu hanya berupa harta tak bergerak, kini harta bergerak pun boleh diwakafkan, seperti uang, saham, surat berharga dan sebagainya.
Dan yang tak kalah pentingnya adalah adanya paradigma baru dalam mengelola aset wakaf. Dari cara pandang konsumtif ke paradigma produktif. Jadi, sedapat mungkin, harta yang diwakafkan itu harus dikelola agar dapat menghasilkan “surplus” atau nilai ekonomi. Hasil inilah yang akan menimbulkan multiplayer efek untuk kesejahteraan masyarakat.
Dalam rangka memberikan pemahaman komprehensif kepada masyarakat, materi pelatihan untuk penyuluh ini diklasifikasikan menjadi tiga tingkat. Pertama, tingkat dasar. Materi level ini menitikberatkan pada kebijakan perwakafan di Indonesia, meliputi UU No. 41/2004, PP No. 42/2006, Peraturan Menteri Agama, SK Dirjen Bimas Islam, dan beberapa Peraturan Badan Wakaf Indofnesia.
Kedua, tingkat inti. Tahapan ini sudah masuk pada ranah praktis, tak lagi bersifat pemahaman atau teoritis. Antara lain: tata cara berwakaf, baik benda bergerak ataupun tak bergerak; pengelolaan aset secara produktif; membangun jaringan dan kemitraan, dan sukses story tentang wakaf produktif.
Ketiga, tingkat lanjutan. Pada jenjang pendidikan terakhir, penyuluh dibekali ilmu tentang teknik fundraising wakaf uang, menangani konflik perwakafan, penukaran tanah wakaf, perubahan peruntukan, dan penyaluran hasil wakaf kepada mauquf alaih.
Perumusan kurikulum ini dilakukan oleh Direktorat Wakaf Departemen Agama RI pada acara Workshop Penyempurnaan Kurikulum untuk Penyuluh, yang dilaksanakan pada 9 sampai 10 Desember 2009 di Jakarta. Kegiatan ini dihadiri oleh beberapa unsur, di antaranya adalah Departemen Agama, Badan Wakaf Indonesia, dan perwakilan nazhir-nazhir di Indonesia. [aum]