Menjadikan Nazhir Sebagai Profesi Utama

Oleh HM. Cholil Nafis, MA, Wakil Sekretaris Badan Wakaf Indonesia | Di Indonesia, nazhir wakaf (pengelola aset) belum banyak dilakoni secara profesional, karena kebanyakan Nazhir wakaf hanya kerja sampingan. Hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2006, terhadap 500 responden nazhir di 11 Propinsi, menunjukkan bahwa harta wakaf lebih banyak bersifat diam (77 persen) daripada yang menghasilkan atau produktif (23 persen). Ini sejalan dengan kondisi para nazhir. Mereka ternyata tidak terfokus dalam mengelola, mayoritas bekerja sambilan dan tidak diberi upah (84 persen), dan yang bekerja secara penuh dan terfokus amatlah minim (16 persen).

 

Temuan umum lainnya juga menunjukkan pemanfaatan terbesar harta wakaf adalah masjid (79 persen) daripada peruntukkan lainnya, dan lebih banyak berada di wilayah pedesaan (59 persen) daripada di perkotaan (41 persen). Selain itu, wakaf di Indonesia lebih banyak dikelola oleh perseorangan (66 persen) alias tradisional, dibandingpada organisasi profesional (16 persen) dan berbadan hukum (18 persen). Ironis.

Data ini menjadi pijakan untuk meningkatkan perwakafan di Indonesia. Artinya, meningkatan pengelolaan wakaf harus dimulai dari meningkatan kualitas sumber daya manusia Nazhir, sehingga mampu melaksanakan tugas sesuai dengan tujuan wakaf dan memenuhi peruntukan wakaf.

Nazhir profesional disyaratkan untuk memiliki pola pengelolaan yang amanah, bisa mempertanggungjawabkan secara administrative kepada public dan dikelola oleh pemimpin yang mempunyai kemampuan human skill, human tehnical dan human relation.

Human skill berkenaan dengan keahlian Nazhir dalam bidang tertentu yang berkenaan dengan amanah untu mengembangkan harta wakaf. Secara personal Nazhir haruslah orang-orang yang mempunyai reputasi dan kredibilitas moral yang baik, yaitu bersifat Jujur, adil dan amanah.

Pada tataran kompetensi keilmuan, seorang nazhir harus menguasai ilmu-ilmu syari?ah, juga mesti menguasai materi-materi fikih muamalah, khususnya yang berhubungan dengan wakaf. Selanjutnya, pemahaman terhadap ilmu ekonomi, seperti keuangan, manajeman, akutansi, dan ilmu ekonomi islam adalah suatu keharusan yang tidak bisa tidak harus dimiliki oleh Nazhir. Karena dengan pemahaman yang baik terhadap ilmu-ilmu tersebut seorang Nazhir mampu merealisasikan maksud dan tujuan dari wakaf produktif.

Kecerdasan Nazhir dapat diberi standar, seperti standar pendidikan yang tinggi (terdidik) sehingga seluruh proses yang dilakukan dapat menghasilkan produk yang baik dan tidak merugikan orang lain. Nazhir juga harus memiliki ketrampilan lebih, sehingga dapat memberikan produk yang berkualitas dan memiliki kelebihan dibandingkan orang lain

Dia juga harus memiliki kemampuan “human technical” berkenaan dengan kemampuan mengelola harta wakaf, yaitu pengelolaan dengan prinsip keterbukaan (transparansi). Nazhir harus membeberkan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat, dan dapat dibandingkan.

Nazhir juga harus memegang prinsip akuntabilitas, yaitu menetapkan tanggung jawab yang jelas dari setiap komponen organisasi selaras dengan visi, misi, sasaran usaha, dan strategi lembaga. Pada prinsip tanggung jawab (responsibility), seorang Nazhir harus memegang prinsip manajerial yang transaparan dan responsif.

Prinsip tersebut harus dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar tetap terjaga kelangsungan usahanya. Pada prinsip independensi, seorang Nazhir harus mampu menghindari terjadinya dominasi yang tidak wajar oleh “stakeholders”. Nazhir tidak boleh terpengaruh oleh kepentingan sepihak. Ia harus bisa menghindari segala bentuk benturan kepentingan (conflict of interest).

Misalnya, dalam mengelola wakaf secara produktif, maka harta benda wakaf khususnya benda bergerak pasti mengandung risiko kerugian, bahkan kegagalan. Investasi dana wakaf di instrumen-instrumen investasi Islami seperti obligasi syariah ataupun pada saham-saham perusahaan Islami yang tergabung dalam Jakarta Islamic Index, mengandung market risk, yakni turunnya market value dari investasi tersebut.

Penanaman modal langsung di sektor produksi, seperti agribisnis, real estate, perindustrian, perdagangan dan pertambangan, masing-masing memiliki karakteristik risiko yang berbeda, baik dari segi risiko usahanya maupun risiko yang terkait dengan proses bisnis dan produksinya.

Namun risiko bukan harus dihindari, justru harus dikelola agar potensi pengembangan dapat direalisasikan dengan memeperhitungkan dan mengendalikan risiko-risiko yang mungkin terjadi.

Dengan kata lain, nazhir berkewajiban menjalankan pengelolaan risiko (manajemen risiko) terhadap harta benda wakaf yang dipercayakan wakif kepadanya. Manajemen risiko merupakan pilar penting dalam tata kelola organisasi yang baik atau “Good Corporate Governance”, yang mutlak harus diterapkan dalam pelaksanaan pengembangan wakaf benda bergerak

Seorang nazhir juga harus memiliki “human relation” yang baik dalam membangun jaringan untuk kepentingan pengelolaan dan pengembangan wakaf. Pengembangan jaringan menjadi sesuatu yang asasi dalam mencapai tujuan produktif wakaf. Sebab, tanpa jejaring maka prinsip permintaan dan penyaluran (suply and demand) tidak dapat berjalan dengan stabil.

Jaringan dapat dibangun melalui kerja sama dengan pihak ketiga. Kerja sama dapat juga diberbentuk kemitraan yang dibangun atas dasar saling menguntungkan, seperti investasi, membuka badan usaha, menggalang swadaya umat dan cara lainnya yang dapat membangun jaringan pengembangan wakaf.

Khatimah

Perwakafan yang telah menjadi tradisi Islam sebagai instrumen keuangan yang bersifat “tabarru” (kedemawanan) untuk tujuan ibadah dan kepentingan kesejahteraan telah terbukti dalam sepanjang sejarah. Hanya saja perwakafan di Indonesia masih belum maksimal dalam mencapai spirit disyariatkannya wakaf.

Banyak faktor yang menyebabkan makna wakaf terdistorsi. Di antaranya adalah kurang pemahaman wakif dalam mewakafkan hartanya dan menunjuk Nazhir. Nazhir dipahami sebagai pemelihara harta warta dan dipahami sebagai pengelola pengembang. Ternyata mayoritas Nazhir bekerja untuk wakaf hanya sekedar kerja paru waktu atau sampingan saja dan memelihara kelestariannya.

Perubahan makna paradigma kearah untuk meningkat nilai ekonomi wakaf perlu dimulai dengan mengubah pemahaman Nazhir dan melatih kemampuannya, sehingga harta wakaf yang di jaga dapat dikelola dan dikembangkan untuk tujuan ibadah, ekonomi dan kesejahteraan. (*)

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *