Jakarta – Peraturan perwakafan di Indonesia sesungguhnya mengalami lompatan teknis dan paradigma yang cukup jauh. Perbedaan itu terlihat jelas jika dibandingkan antara Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004. Peraturan perwakafan sebagaimana tertera dalam UU Nomor 41 Tahun 2004 sejatinya merespon perkembangan wakaf di berbagai negara. Jika dibandingkan dengan negara lain, perwakafan di Indonesia tidak ada apa-apanya. Demikian diungkapkan Prof. Dr. Uswatun Hasanah di kantor BWI, Jakarta, tadi siang.
Satu misal saja, kata Uswatun, dalam PP No. 28 Tahun 1977, benda yang dapat diwakafkan hanya satu jenis, yaitu tanah. Bagaimana perwakafan di Indonesia akan berkembang bila terus dibiarkan seperti ini. Maka, terbitlah UU No. 41 tahun 2004 yang merespon perkembangan zaman, dan model-model pengembangan wakaf.
Saat ini, wakaf tak sebatas tanah, harta yang tergolong bergerak seperti uang dan saham pun dapat diwakafkan. Atas perkembangan wakaf inilah, banyak aparat pembina nazhir wakaf di beberapa daerah mengalami kebingungan. Sebab, mereka belum menguasai betul perubahan aturan perwakafan sebagaimana tertera dalam UU No. 41 tahun 2004.
Karena itu, mereka berkunjung ke Badan Wakaf Indonesia untuk mempelajari perkembangan aturan perwakafan dan teknis operasionalisasi wakaf di lapangan. Kunjungan ini difasilitasi oleh Balai Diklat Keagamaan Jakarta, di bawah lingkungan Kementerian Agama RI.
Aparat Pembina Nazhir yang berasal dari propinsi DKI Jakarta, Banten, dan Kalimantan Barat, ini diterima oleh Wakil Ketua BWI KH. Hafidz Utsman, Wakil Sekretaris Dr. Cholil Nafis, dan Prof. Dr. Uswatun Hasanah. []