Peluang Kemitraan Investasi Wakaf Produktif

Oleh H.M. Cholil Nafis, Ph.D., Wakil Sekretaris Badan Wakaf Indonesia.

 

Investasi adalah menempatkan uang atau dana dengan harapan untuk memperoleh tambahan atau keuntungan tertentu atas uang atau dana tersebut. Di samping untuk mendapatkan keuntungan, investasi juga ditujukan untuk mengurangi tekanan inflasi sehingga kekayaan yang dimiliki tidak merosot nilainya karena digerogoti oleh inflasi. Pada dasarnya investasi erat hubungannya dengan perbankan, dan pasar modal. Umumnya investasi dikategorikan pada dua jenis yaitu real assets seperti gedung, kendaraan, dan sebagainya, maupun financial assets yakni investasi yang dilakukan pada aspek keuangan, seperti deposito, obligasi, reksadana, dan pasar modal.

Investasi harta wakaf dalam tatanan Islam merupakan sesuatu yang sangat unik yang berbeda dengan investasi di sektor pemerintah (public sector) maupun sektor swasta (private sector). Begitu uniknya, sektor wakaf ini bahkan kadang-kadang disebut sebagai ‘sektor ketiga’ (third sector) yang berbeda dengan sektor pemeritah dan sektor swasta. Keunikan itu, tampak bahwa pengembangan harta melalui wakaf tidak didasarkan pada target pencapaian keuntungan bagi pemodal saja, baik pemerintah maupun swasta, tetapi lebih didasarkan pada unsur kebaikan dan kerja sama.

Kegiatan investasi dilakukan dalam upaya mengembangkan,  mendayagunakan dan memberi nilai tambah ekonomi, serta meningkatkan nilai manfaat sosial atas harta wakaf. Kegiatan investasi ditujukan pada sektor riil yang menguntungkan sesuai target market dan risk acceptance criteria. Kegiatan ini akan dijalankan dengan menggunakan dana wakaf yang dihimpun sesuai program wakaf, serta dapat juga dilakukan penghimpunan dana dengan pola kerjasama investasi yang bersifat komersil dari para investor menggunakan pola Musyarakah, Ijaroh, dan pola investasi komersil lainnya sesuai syariah.

Dengan demikian, wakaf dalam syariah Islam sebenarnya mirip dengan sebuah economic corporation di mana terdapat modal untuk dikembangkan yang keuntungannya digunakan bagi kepentingan umat. Yang lebih menjamin keabadian wakaf itu adalah adanya ketentuan tidak boleh menjual atau mengubah aset itu menjadi barang konsumtif, tetapi tetap terus menjadikannya sebagai aset produktif. Dengan kata lain, paling tidak secara teoritis, wakaf harus selalu berkembang dan bahkan bertambah menjadi wakaf-wakaf baru.

Dari pelaksanaan kegiatan investasi ini diharapkan diperoleh keuntungan usaha. Bila kegiatan investasi menggunakan dana penghimpunan  wakaf, maka atas keuntungan bersih usaha hasil investasi ini (yaitu keuntungan usaha setelah dikurangi biaya usaha), akan dibagikan sesuai ketentuan Undang-undang Wakaf, yaitu 90% keuntungan akan diperuntukkan untuk tujuan wakaf (maukuf ‘alaih), dan 10% untuk penerimaan Pengelola/Nazhir Wakaf. Sedangkan bila kegiatan investasi menggunakan dana kerjasama Investor, maka hasil usaha akan dibagi sesuai kesepakatan bagi hasil dengan Investor. Selanjutnya untuk bagi hasil porsi Pengelola/Nazhir wakaf akan dipecah menjadi dua bagian, yaitu 90% akan disalurkan kepada maukuf ‘alaih, dan 10% untuk penerimaan Nazhir.   

Investasi Wakaf di Beberapa Negara

Hasil Konferensi Negara-negara peserta OKI pada tahun 1997 di Jakarta melalhir rekomendasi pentingnya Badan wakaf di dunia Islam. Maka pada 2001 Islamic Development Bank (IDB) membentuk Badan Wakaf Dunia. Badan ini mengembangkan perwakafa produktif disektor riil dan perdagangan saham.  Investasi dilakukan dibeberapa negara seperti  di Qatar, Kuwait, Malaysia dan beberapa negara lainnya berupa perhotelan, perkantoran dan pertanian. Demikian juga Kuwait Public Waqf Foundation (al amanah al ’aamah li al-awqaf) menempatkan perwakafan sebagai instrumen ekonomi dan jaminan sosial. Penerima wakaf dari masyarakat dilakukan dengan cara yang mudah, di antaranya melalui Mobil banking, Short massege Service (SMS) dan kios wakaf.

Pemerintah Arab Saudi, belakangan mulai menerapkan pengelolaan harta wakaf melalui sistem perusahaan atau corporation. Setelah berhasil dengan investasi harta wakaf dalam bentuk saham pada sebuah perusahaan kontraktor bangunan yang menghasilkan keuntungan, Kementerian Wakaf Arab Saudi mengembangkan pengelolaan wakaf dengan sistem perusahaan secara lebih luas.

Manajemen investasi wakaf uang dapat dilakukan dengan cara menginvestasikan dana wakaf ke berbagai sektor, seperti sektor ril, investasi langsung ke perusahaan-perusahaan ataupun unit-unit usaha produktif, maupun sektor keuangan syari’ah, seperti deposito mudhârabah dan reksadana syari’ah. Keuntungan dari investasi wakaf uang tersebut dapat didistribusikan ke pihak-pihak yang berhak menerima dalam rangka memberdayakan ekonomi mereka. Demikian juga Wakaf di Mesir, Turki, Maroko, Yordan, Kuwait dan Qatar. Wakaf di sana bukan semata-mata wakaf konsumtif (yang butuh pembiayaan semata), tetapi sudah berkembang  menjadi  wakaf  produktif  (yang  menghasilkan  keuntungan barang  dan  uang, berupa   gedung-gedung   yang  komersial,  kebun-kebun,  saham-saham   dan  lain  sebagainya).

Seperti yang dilakukan di Malaysia, untuk mengembangkan harta wakaf investasi telah dilakukan melalui instrumen sukuk, dan Pasar Modal Malaysia yang diterbitkan oleh Suruhanjaya Sekuriti pada Februari 2001. Penerbitan Saham Wakaf oleh beberapa negeri seperti Johor, Melaka, dan Selangor. Hal ini dilakukan sesuai dengan keputusan Majma’ Fiqh Islamî pada 24 November 2005. Untuk menjamin pengelolaan wakaf uang di negara ini, dibentuk Pelan Takaful Wakaf oleh Syarikat Takaful Malaysia Berhad yang berdiri sejak tahun 1997. Syarikat Takaful ini dioperasikan berdasarkan prinsip mudhârabah. Keuntungan dari investasi pada portofolio keuangan syari’ah merupakan jumlah dari empat portofolio yaitu deposito perbankan syari’ah, obligasi syari’ah dan pasar modal syari’ah. Keuntungan akan digabung dengan keuntungan portofolio lainnya kemudian didistribusikan untuk rakyat miskin.

Pengelolaan  wakaf juga terjadi di negara sekuler Singapura. Dengan penduduk muslim minoritas (lebih kurang 453.000 orang saja) berhasil membangun harta wakaf secara inovatif. Melalui WARESS Investment Pte Ltd telah berhasil mengurus dan membangun harta wakaf secara profesional. Di antaranya, membangun apartement 12 tingkat bernilai sekitar S$62.62 juta. WARESS juga berhasil membangun proyek perumahan mewah yang diberi nama The Chancery Residence.  

Optimalisasi Investasi Wakaf

Menurut data yang dihimpun Departemen Agama RI, jumlah tanah wakaf di Indonesia mencapai 2.686.536.656, 68 meter persegi (dua milyar enam ratus delapan puluh enam juta lima ratus tiga puluh enam ribu enam ratus lima puluh enam koma enam puluh delapan meter persegi) atau 268.653,67 hektar (dua ratus enam puluh delapan ribu enam ratus lima puluh tiga koma enam tujuh hektar) yang tersebar di 366.595 lokasi di seluruh Indonesia.  Dilihat dari sumber daya alam atau tanahnya (resources capital) jumlah harta wakaf di Indonesia merupakan jumlah harta wakaf terbesar di seluruh dunia. Dan ini merupakan tantangan bagi kita untuk memfungsikan harta wakaf tersebut secara maksimal sehingga tanah-tanah tersebut mampu mensejahterakan umat Islam di Indonesia sesuai dengan fungsi dan tujuhan ajaran wakaf yang sebenarnya.

Jumlah tanah wakaf di Indonesia yang begitu besar juga dilengkapi dengan sumber daya manusia (human capital) yang sangat besar pula. Hal ini karena, Indonesia merupakan Negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar yang mayoritas penduduknya adalah Muslim. Oleh karena itu, dua modal utama yang telah dimiliki bangsa Indonesia tersebut semestinya mampu memfungsikan wakaf secara maksimal, sehingga perwakafan di Indonesia menajadi wakaf produktif dan tidak lagi bersifat konsumtif.

Di Indonesi, Nazhir wakaf belum banyak dilakoni secara profesional, karena kebanyakan Nazhir wakaf hanya kerja sampingan. Hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2006, terhadap 500 responden nazhir di 11 Propinsi, menunjukkan bahwa harta wakaf lebih banyak bersifat diam (77%) daripada yang menghasilkan atau produktif (23%). Temuan umum lainnya juga menunjukkan pemanfaatan terbesar harta wakaf adalah masjid (79%) daripada peruntukkan lainnya, dan lebih banyak berada di wilayah pedesaan (59%)

daripada perkotaan (41%). Sedangkan para nazhir pun tidak terfokus dalam mengelola, mereka mayoritas bekerja sambilan dan tidak diberi upah (84%), dan yang bekerja secara penuh dan terfokus ternyata amatlah minim (16 %). Selain itu, wakaf di Indonesia lebih banyak dikelola oleh perseorangan (66%) alias tradisional, daripada organisasi professional (16%) dan berbadan hukum (18%). Ironis.

Data ini menjadi pijakan kitan untuk meningkatkan perwakafan di Indonesia. Artinya, meningkatan pengelolaan wakaf harus dimulai dari meningkatan kualitas sumber daya manusia Nazhir yang kreatif, sehingga mampu melaksanakan tugas sesuai dengan tujuan wakaf dan memenuhi peruntukan wakaf. Menurut Monzer Kahf, Konsultan Islamic Finance USA, untuk optimalisasi fungsi wakaf perlu pembiayaan proyek-proyek wakaf dalam rangka mengoptimalkan fungsinya sebagai sarana dalam meningkatkan kualitas hidup manusia, ada dua bentuk pembiayaan proyek wakaf yakni model pembiayaan harta wakaf tradisional dan model pembiayaan harta wakaf baru secara institusional. Model pembiayaan proyek wakaf tradisional dalam wacana fiqh terdiri dari 1) Pembiayaan wakaf dengan cara menciptakan wakaf baru untuk melengkapi wakaf yang sudah ada, seperti perluasan Masjid Nabawi yang dilakukan pada masa khalifah Umar, Usman, Bani Umayyah, dan Bani Abasiyah. Setiap perluasan terjadi penambahan pada harta wakaf yang lama. 2) Pinjaman untuk biaya operasional dan biaya pemeliharaan dalam mengembalikan fungsi wakaf yang mendapat izin dari pemerintah. Wakaf akan lebih produktif jika pengelolaan ditingkatkan melalui investasi ijârah (leasing), mudhârabah, Musyârakah, dan lain sebagainya

Monzer Kahf menawarkan juga model untuk membiayai proyek-proyek wakaf dalam bentuk 1) Pembiayaan hukr (sewa jangka panjang dengan pembayaran di muka). Dalam model ini penyewa dapat membangun tanah wakaf dengan dana sendiri dan sepanjang ia membayar sewa kepada nazhir secara berkala. 2) Model pembiayaan ijaratain (sewa dengan dua kali pembayaran), model ijaratain menghasilkan sewa jangka panjang yang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian pertama berupa pembayaran uang muka yang digunakan untuk merekontruksi harta wakaf yang bersangkutan, dan bagian kedua berupa sewa tahunan secara periodik selama masa sewa.

Dalam pelaksanaannya model ijârah, menurut Monzer Kahf, dilakukan dengan cara pengelola wakaf (nazhir) memberikan izin untuk beberapa tahun kepada penyedia dana untuk mendirikan gedung di atas tanah wakaf. Kemudian, nazhir menyewakan gedung tersebut untuk jangka waktu tertentu kepada penyedia dana dan menggunakan untuk tujuan wakaf seperti perkantoran, apartemen, dan lain sebagainya. Nazhir dalam model pembiayaan ini tetap memegang kendali penuh terhadap manajemen proyek. Pada akhir kontrak penyedia dana akan memperoleh kembali modalnya dan keuntungan yang dikehendaki. Setelah itu, penyedia dana tidak dapat memasuki lagi harta wakaf.

Berkaitan dengan hal ini, menarik sekali kasus investasi wakaf masjid yang dikembangkan di beberapa kota di Timur Tengah seperti Makkah, Kairo, dan Damaskus.

Wakaf Uang

M.A. Mannan menggagas adanya Wakaf Uang dengan melalui pembentukan Social Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh yang dikemas dalam mekanisme instrumen Cash Waqf Certificate. Model ini di anggap sangat tepat untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan membantu merangsang pertumbuhan ekonomi ditingkatan masyarakat bawah.  Wakaf Uang sangat relevan memberikan model mutual fund melalui mobilisasi dana abadi yang digarap melalui tangan professional yang amanah dalam fund management-nya ditengah keraguan terhadap pengelolaan dana wakaf serta kecemasan krisis investasi domestik, dan sindrom capital flight. Ia sangat tepat merangsang kembalinya iklim investasi kondusif yang dilatari motivasi emosional teologis berupa niat amal jariyah, di samping pertimbangan hikmah rasional ekonomis kesejahteraan sosial. Ia sangat potensial untuk memberdayakan sektor riil dan memperkuat fundamental perekonomian.

Konsep wakaf dalam dunia Islam menurut Ahmad Muhammad Abdul Azhim al-Jamal, Daur Nizhâm al-Waqf al-Islâmî fi al-Tanmiyah al-Iqtishâdiyah al-Mu’âshirah, mengandung pengertian sebagai upaya mengembangkan aset yang melibatkan proses akumulasi modal dan harta kekayaan yang produktif melalui investasi di masa sekarang yang digunakan untuk kepentingan generasi mendatang. Pada masa sekarang pada umumnya manajer wakaf (nazhir) menanamkan wakaf uang dalam bentuk investasi langsung (direct investment) seperti real eastate, agriculture (perkebunan). Seperti rumah sakit, lembaga pendidikan dan perkebunan. Sektor ini mengalokasikan dana wakaf uang ke peusahaan-perusahaan yang mempunyai prospek bagus, baik dari kinerja maupun misinya serta sesuai dengan syari’ah.

Penyertaan dana ke dalam perusahaan ini bersifat jangka panjang dengan pendapatan berupa deviden, capital gain dari peningkatan harga saham. Selain itu, dana wakaf uang juga diinvestasikan untuk memproduktifkan aset wakaf yang sudah ada seperti tanah dan bangunan wakaf. Dimungkinkan juga berinvestasi dengan membeli aset wakaf baru seperti tanah dan bangunan yang produktif yang nantinya dapat dijadikan proyek wakaf komersil maupun sosial. Alokasi dana wakaf uang yang diinvestasikan secara langsung (direct investment) ini juga sangat tergantung pada return investasi dan risiko perusahaan. Bila perusahaan memburuk kinerjanya sehingga return-nya lebih rendah di bawah return minimum yang dapat ditolerir nazhir maka uang pokok yang ditanamkan ke perusahaan ditarik secara bertahap dan tidak diinvestasikan lagi ke perusahaan tersebut kemudian diinvestasikan ke sektor lain.

Selain menanamkan modal ke perusahaan yang telah ada sebelumnya, manajemen investasi wakaf uang juga dapat mengalokasikan untuk mendirikan suatu usaha baru yang memberikan kemudahan bagi masyarakat kecil. Seperti mendirikan cafetaria, mini market, toko, dan sebagainya. Jenis usaha tersebut selain berorientasi profit juga memberikan banyak kemudahan bagi rakyat kecil untuk mendapat kesempatan mengecap pendidikan dengan mendirikan perguruan tinggi Islam maupun pendidikan dasar dan menengah.

Menurut Muhammad al-Taijâni Ahmad al-Ja’ali dalam al-Ittijâhât al-Mu’âshirah fi Tathwîr al-Iststimâr al-Waqf, harta wakaf dapat diinvestasikan melalui penanaman pada sektor perbankan dan sektor keuangan dalam bentuk saham dan sukuk mudhrabah atau muqaradhah. Berapa besar dana yang disalurkan ke deposito syari’ah, obligasi syari’ah, pasar modal syari’ah dan reksadana syari’ah sangat tergantung kepada tingkat penghasilan (return) periode sebelumnya serta tingkat risiko dari investasi tersebut. Keuntungan dari investasi tersebut digunakan untuk mendanai kebutuhan masyarakat miskin dan kurang mampu. Sektor finansial ini mengelola dana wakaf dengan cara menginvestasikan pada portofolio keuangan syari’ah. Secara umum portofolio keuangan syari’ah yang dapat dijadikan sebagai wahana investasi wakaf uang terdiri dari deposito di perbankan syari’ah, obligasi syari’ah, dan pasar modal syari’ah.

Prasyarat Investasi Wakaf

Untuk mengelola wakaf dengan investasi yang melimpah minimalnya membutuhkan 5 (lima) modal yaitu; Modal intelektual  (orang  memikir dan  menggagas), modal finansial (biaya), modal sosial (dukungan dari masyarakat), modal jaringan (kerjasama dengan berbagai macam lembaga baik nasional maupun internasional).
1.    Modal Legal-Institusional. Mengenai wakaf, Indonesia sudah cukup modal ini yaitu, Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, PP Nomor  42 tahun 2006 tentang Pelaksanaanya, Kepres No. 75/M Th. 2007, KMA Nomor 4 Tahun 2009 tentang Administrasi Wakaf Uang dan beberapa Peraturan BWI.
2.    Modal intelktual, yaitu orang memikir dan menggagas agar syariat Islam ini dapat membumi Islam dalam kehidupan nyata yang dinamik dan kreatif. Modal ini juga sudah cukup. karena para penggiat wakaf sudah melakukan inovasi-inovasi mengenai wakaf, seperti wakaf uang, wakaf benda bergerak selain uang, model-model wakaf produktif, model-model investasi harta wakaf dan lain-lain.
3.    Modal financial, karena yang menjadi garapan Nazhir itu selalu berkait dengan biaya. Modal inilah yang menjadi kendala utama dalam mengembanghkan harta wakaf. Untuk menghimpun modal finasial ini diperlukan modal yang kelima, yaitu modal jaringan.
4.    Modal sosial (dukungan masyarakat), karena Nazhir kalau tidak dipercaya masyarakat tidak akan bisa berjalan. Apalagi masyarakat-masyarakat yang punya kaitan fungisonal dengan Nazhir. Dalam hal ini, trust adalah modal yang harus dimiliki Nazhir. Untuk memperoleh kepercayaan dari masyarakat nazhir perlu beberapa modal, seperti; Jujur, Profsional, Cerdas, dan dapat menjadi percontohan (qudwah hasanah).
5.    Modal jaringan (networking) atau sinergi antara lembaga-lembaga lain. Ini perlu dilakukan sebab Nazhir tidak bisa berjalan kalau tidak ada jaringan-jaringan kerjasama yang mendukung

Lima modal pengembangan investasi wakaf ini akan terpenuhi tiga pokok prinsip pengelolaan wakaf yaitu  Human skill berkenaan dengan keahlian Nazhir dalam bidanga tertentu yang berkenaan dengan amanah untu mengembangkan harta wakaf. Secara personal Nazhir haruslaha orang-orang yang mempeunyai reputasi dan kredibilitas moral yang baik, yaitu bersifat Jujur, adil dan  amanah. Pada tataran kompetensi keilmuan, seorang nazhir harus menguasai ilmu-ilmu syari’ah, juga mesti menguasai materi-materi fikih muamalah, khusunya yang behubungan dengan wakaf, Selanjutnya, pemahaman terhadap ilmu ekonomi, seperti keuangan, manajeman, akutansi, dan ilmu ekonomi islam adalah suatu keharusan yang tidak bisa tidak harus dimiliki oleh Nazhir. Karena dengan pemahaman  yang baik terhadap ilmu-ilmu tersebut seorang Nazhir mampu merealisasikan maksud dan tujuan dari wakaf produktif.

Human tecnical berkenaan dengan kemampuan untuk mengelola harta wakaf. Yaitu pengelolaan dengan Prinsip Keterbukaan (Transparansi). ialah Nazhir mesti membeberkan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat, dan dapat dibandingkan. Prinsip Akuntabilitas. ialah harus menetapkan tanggung jawab yang jelas dari setiap komponen organisasi selaras dengan visi, misi, sasaran usaha, dan strategi lembaga. Prinsip tanggung jawab (Responsibility). Ialah Nazhir harus memegang prinsip manajerial yang transaparan dan responsif. Prinsip tersebut harus dijalankan sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar tetap terjaga kelangsungan usahanya. Prinsip independensi. Ialah Nazhir harus mampu menghindari terjadinya dominasi yang tidak wajar oleh stakeholders. Nazhir tidak boleh terpengaruh oleh kepentingan sepihak. Ia harus bisa menghindari segala bentuk benturan kepentingan (conflict of interest).

Human Relation adalah kemampuan Nazhir dalam membangun jaringan untuk kepentingan pengelolaan dan pengembangan wakaf. Pengembangan jaringan menjadi sesuatu yang asasi dalam mencapai tujuan produktif wakaf. Sebab tanpa jaring prinsip permintaan dan penyaluran (suplay and demand) tidak dapat berjalan dengan stabil.

Jaringan dapat dibangun melalui kerja sama dengan pihak ketiga. Keraja sama dapat juga diberbentuk kemitraan yang dibangun atas dasar saling menguntungkan, seperti  investasi, membuka badan usaha, menggalang swadaya umat dan cara lainnya yang dapat membangun jaringan pengembangan wakaf.

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *