Mewujudkan Wakaf Produktif di Indonesia

Jakarta – Gerakan zakat, infak, dan sedekah (ZIS), sudah lama bergema. Bahkan, dana yang bisa dihimpun melalui lembaga amil zakat jumlahnya sangat besar. Itu semua ditujukan untuk kepentingan dan kemaslahatan umat Islam. Namun demikian, potensi ekonomi umat ini tak hanya sampai di situ. Masih ada lagi potensi yang jumlahnya juga besar, yakni wakaf. Angkanya bahkan bisa melebihi jumlah zakat, infak, dan sedekah.

 

 

Ketua Pelaksana Badan Wakaf Indonesia (BWI). Prof Dr KH Tholhah Hasan menjelaskan, sejak zaman dahulu di masa Rasulullah SAW, wakaf menjadi gerakan dalam pemberdayaan ekonomi umat. Begitu juga di zaman sahabat yang kemudian dilanjutkan dengan masa kekhalifahan Islamiyah seperti Dinasti Abbasiyah, Umayyah, Ayyubiyah, Fathimiyyah, dan Utsmaniyah. Wakaf menjadi gerakan untuk perjuangan dan penyebaran Islam. “Hampir tak ada peradaban Islam tanpa melibatkan wakaf di dalamnya,” kata Kiai Tholhah.
 
Dalam perkembangannya saat ini, ternyata banyak masyarakat yang masih memahami istilah wakaf hanya sebatas pada bangunan dan tanah. Padahal, potensi wakaf dalam bentuk lainnya sangat besar, termasuk wakaf uang. Berikut petikan wawancara kiai yang juga mantan menteri agama (Menag) di era pemerintahan (Alm) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini.
 
Sejak kapan sistem wakaf pertama kali diterapkan dalam Islam?
 
Wakaf itu sudah ada dan diberlakukan sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Dan sejak saat itu, wakaf sudah mengarah pada hal-hal yang produktif. Dan beberapa orang yang pertama kali melaksanakan wakaf di antaranya adalah Umar bin Khathab, Abu Tholhah, dan Usman bin Affan. Dan semua barang yang diwakafkan itu pokok modalnya dipertahankan. Kemudian, hasil dari barang yang diwakafkan itu selalu ditujukan untuk membantu kesejahteraan orang lain. Itu namanya produktif, dan pokok modalnya tetap dipertahankan.
 
Bagaimana sejarahnya perwakafan di Indonesia?
 
Indonesia sebenarnya sudah lama mengenal wakaf ini. Bahkan, bisa dikatakan ia sudah ada sejak masuknya Islam ke bumi pertiwi ini. Hanya saja, wakaf lebih banyak digunakan untuk kepentingan-kepentingan yang sifatnya konsumtif, dalam arti manfaatnya sangat terbatas dan tidak mempunyai nilai produktif.
 
Misalnya, wakaf tanah digunakan untuk membangun masjid, kuburan, lembaga pendidikan, dan panti asuhan. Padahal, jika wakaf dikelola dengan baik, maka hasilnya sangat luar biasa. Misalnya dibangun rumah sakit, rumah makan, dan klinik. Nah, karena wakafnya bersifat konsumtif, maka ia selalu membutuhkan biaya untuk pemeliharaan. Akibatnya, wakaf malah memberatkan.
 
Sejak kapan muncul pemikiran di Indonesia untuk memproduktifkan harta wakaf?
 
Sebenarnya, sejak zaman Belanda sudah ada. Tapi, belum tertata dengan bagus. Bahkan, sejak zaman dulu hingga saat ini, banyak sekali lembaga-lembaga keislaman yang punya harta wakaf dan cukup produktif. Kebanyakan, pengelolaan wakaf itu masih dilakukan sebatas orang per orang dan belum merupakan gerakan yang memasyarakat.
 
Jumlah tanah wakaf di Indonesia sangat besar. Bagaimana cara mengelolanya agar memiliki manfaat bagi umat?
 
Ya, harta wakaf memang sudah banyak, namun yang terbilang produktif masih sedikit. Bagaimana mengembangkannya? Di samping kita memelihara dengan baik wakaf yang konsumtif itu, kita juga harus mengembangkan dan mengelola wakaf yang ada agar menjadi lebih produktif, sehingga bisa membiayai wakaf yang tidak produktif itu. Ini sebetulnya menjadi peran atau tanggung jawab nazir (pengelola wakaf).
 
Untuk menunjang itu, BWI telah melakukan kerjasama dengan berbagai pihak dan juga investor yang siap bekerjasama dengan nazhir dalam pengelolaan tanah wakaf secara produktif. Di antaranya untuk perkebunan, peternakan, properti, pendirian rumah sakit, dan juga pertambangan. Di samping itu, BWI juga sedang menggalakkan Gerakan Nasional Wakaf Uang. Wakaf uang ini nantinya juga akan bersinergi dengan wakaf tanah dalam hal pengelolaan dan pengembangan wakaf secara produktif.

Apa landasan Gerakan Nasional Wakaf Uang?
 
Kebolehan wakaf uang ini jelas termaktub dalam Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Sebelum itu, dasar hukum wakaf uang adalah berdasarkan ijtihad dari para ulama. Ijtihadnya bukan ijtihad fardi (sendiri) tetapi jamai (banyak orang), seperti melalui sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI), Muktamar Menteri-menteri Agama dan Wakaf, Rabithah Alam Islami, dan lain sebagainya dari berbagai mazhab yang membolehkan wakaf uang.

Seberapa besar potensi wakaf uang dibanding wakaf tanah?

Berbeda dengan wakaf tanah, seseorang tidak perlu kaya jika ingin berwakaf uang. Dengan uang sekecil apa pun bisa diwakafkan untuk kepentingan umat yang lebih besar. Si miskin bisa berwakaf Rp 10 ribu, Rp 20 ribu. Dan yang kaya, bisa berwakaf lebih banyak lagi. Sehingga, menjadi lebih praktis dibandingkan dengan tanah. Kalau tanah, orang yang berwakaf hanya orang-orang yang mampu dan kaya, sementara orang kecil tidak bisa menambah amal ibadahnya. Karenanya, jalan terbaik, uang diperbolehkan diwakafkan, karena bisa siapa saja yang melakukannya. Karena itu, potensi wakaf uang ini sangat besar. Bisa dikatakan, nilainya sama besar dengan jumlah uang yang beredar di masyarakat.
 
Apa saja yang perlu dikembangkan untuk menopang gerakan wakaf uang ini?

Ada empat hal yang harus dikembangkan, yaitu aset intelektual (pemikir), aset sosial (didukung oleh masyarakat), aset finansial (dukungan keuangan), dan jaringan (pengembangan ke depan), baik jaringan dalam negeri maupun luar negeri, seperti perbankan, instansi pemerintah, badan usaha milik Negara (BUMN) dan BUMD.

Bagaimana mekanisme wakaf uang?
 
Penyerahan wakaf itu tidak kepada BWI tapi kepada bank syariah. Bisa datang langsung atau setor melalui ATM. Bank syariah yang mempunyai wewenang untuk menerima wakaf uang itu sementara ini baru delapan yaitu Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, Bank Muamalat, Mega Syariah, Bukopin Syariah, BTN Syariah Bank DKI Syariah, dan BPD Yogyakarta Syariah.

Delapan bank ini yang sekarang mempunyai satu tugas untuk menerima wakaf uang. Mereka ini mendapatkan Surat Keputusa dari Menang setelah ada rekomendasi dari Bank Indonesia melalui BWI. Jadi, orang yang ingin wakaf berapa saja bisa menyampaikan melalui delapan bank itu.

Dalam wakaf uang, apakah wakif  juga mendapat sertifikat?

Ya, tapi mereka baru mendapatkan sertifikat wakaf apabila jumlahnya sudah mencapai minimal Rp 1 juta. Jadi, boleh saja mewakafkan uang  Rp 100 ribu dan itu tercatat terus dalam bentuk satu catatan-catatan setoran dari wakif kepada bank. Setelah mencapai Rp 1 juta bank nantinya mengeluarkan Sertifikat Wakaf Uang (SWU).
 
Apa garis besar program yang akan dilakukan BWI di tahun 2011 ini?

BWI tahun ini tidak lagi membicarakan pertanyaan “apa”, tapi sudah beranjak pada pemecahan pertanyaan “bagaimana”. Pertanyaan ini harus mampu dirumuskan dan dijawab dengan berorientasi pada proses aplikasi dan implementasi. Jadi, bukan sekedar wacana. Di antara hal penting yang menjadi prioritas adalah bagaimana meningkatkan profesionalitas nazhir, memproduktifkan aset wakaf yang nganggur, menarik investor, dan juga sinergi antar lembaga atau institusi yang terkait dengan perwakafan. Selain itu, ada dua proyek yang akan terwujud pada tahun ini: peresmian Rumah Sakit Ibu dan Anak di Serang Banten, dan memulai proses pembangunan pilot project Tanah wakaf di Tanah Abang. []

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *