Wakaf, antara Peran Sosial dan Politik

Wakaf telah memainkan peranan penting dalam kehidupan sosial politik masyarakat dan komunitas Muslim. Menurut John L Esposito, dalam Ensiklopedi  Oxford: Dunia Islam Modern, sifat permanen wakaf menyebabkan akumulasi harta wakaf di seluruh tanah yang dihuni kaum Muslim telah turut mendukung penyebaran agama dan bantuan kemanusiaan.

“Penghasilan yang diperoleh dari wakaf paling sering disalurkan untuk masjid,” ujar Direktur Prince Alwaleed Bin Talal Center di Georgetown University. Wakaf yang dikelola secara produktif dan profesional mampu menyejahterakan para imam, guru-guru agama, serta khatib.

Menurut Esposito, dengan sumber dana yang independen itu, para ulama dan pemuka agama mampu mengambil posisi sosial dan politik yang independen ketika berhadapan dengan penguasa. Karena itu, pada zaman kolonial, pengelolaan wakaf di negara-negara Muslim dilemahkan agar tokoh agama tak bisa bersikap independen.

“Ketika pasukan Prancis menduduki Aljazair pada 1813, penguasa kolonial memegang kendali harta wakaf untuk menekan para pemuka agama yang menentang mereka,” papar Esposito. Fakta ini menunjukkan betapa wakaf memiliki kekuatan untuk membangun peradaban Islam yang kuat dan tak bergantung pada kekuatan lain.

Selain membiayai operasional masjid, wakaf pun bisa digunakan untuk membiayai  pendidikan. Sejak Islam mulai berkembang-pada awal abad ke-7-pendidikan di dunia Islam dibiayai dari hasil wakaf dan sumbangan sukarela. Dinasti Ayyubiah (1171-1249) dan Kerajaan Mamluk (1250-1517) menggunakan dana wakaf untuk membangun dan membiayai operasional madrasah di Palestina dan Mesir.

“Jerusalem memiliki 64 sekolah pada awal abad ke-20, semua disokong dan didukung oleh wakaf,” ungkap Esposito. Contoh lain dari keberhasilan wakaf untuk pengelolaan pendidikan adalah Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir.

Menurut Direktur Wakaf Al-Azhar, M Anwar Sani, hingga kini, tak kurang dari 400 ribu mahasiswa Muslim dari berbagai penjuru dunia dan dari berbagai bidang telah menerima beasiswa dari salah satu perguruan tinggi Islam tertua di dunia itu.

Berbekal pengelolaan aset dan dana wakaf, kata dia, Universitas Al-Azhar telah mampu bertahan selama lebih dari 1.000 tahun. Perguruan tinggi yang didirikan Dinasti Fatimiah itu juga mampu memberikan insentif kepada 11 ribu dosen serta mengirim ribuan dai ke berbagai penjuru dunia.

Dana wakaf untuk pendidikan biasanya meliputi perpustakaan, buku, gaji para guru dan staf, serta beasiswa. Dengan kemampuan mengelola dana wakaf, Universitas Al-Azhar mampu menciptakan para sarjana, ulama, dan cendekiawan Muslim yang berasal dari kalangan tak mampu sehingga kalangan bawah pun bisa menikmati pendidikan berkualitas dunia secara gratis.

Selain itu, wakaf juga mampu memberi manfaat bagi kaum miskin serta anak-anak yatim piatu. Bahkan, pada era kejayaan Islam, dana wakaf digunakan untuk mendirikan dan membiayai opersional rumah sakit. Fasilitas kesehatan masyarakat digratiskan sehingga kaum miskin pun bisa mendapatkan layanan dan fasilitas kesehatan yang prima.

Tak hanya itu, pada masa keemasan Islam, hewan pun merasakan manfaat dari wakaf. Di Damaskus, hewan seperti kucing dan hewan-hewan pengangkut barang mendapat alokasi dana untuk perawatan dan makanan dari dana wakaf. Ada pula negara-negara yang telah mengelola dana wakaf dengan baik memberangkatkan haji penduduknya. Sayangnya, di Indonesia, potensi wakaf yang besar itu belum dimanfaatkan secara optimal. (nidia zuraya/rpblk)

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *