Oleh Sulaiman M Thalib, alumnus Program Pascasarjanan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

 

 

 

Harta wakaf adalah aset umat yang harus diselamatkan, dikelola dengan baik, serta dikembangkan untuk kepentingan yang bermanfaat. Negara dalam hal ini pemerintah bertanggungjawab terhadap harta wakaf. Dalam sejarah awal wakaf, Umar bin Khattab menyerahkan kebun-kebun terbaiknya kepada Rasulullah saw selaku penenggungjawab urusan agama, politik, dan kemasyarakatan. Pada saat itulah Rasulullah menetapkan sebuah kebijakan bahwa kebun terebut ditetapkan sebagai aset umat dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umat di jalan Allah, seperti memberi makan fakir dan miskin, ibnu sabil, dan lainnya. Dalam kasus tersebut Rasulullah menunjuk nazir/pengurus yang dapat dipercaya untuk mengelola harta wakaf.

Seiring dengan perjalanan waktu, harta wakaf pun terus bertambah. Apalagi Rasulullah menjanjikan pahala yang terus mengalir bagi orang yang mewakafkan hartanya di jalan Allah walaupun ia telah meninggal dunia. Sehingga negara-negara Islam terutama di Timur Tengah membentuk kementerian kusus untuk mengelola harta wakaf. Di Indonesia terdapat sebuat direktorat di jajaran Kementerian Agama yang bertanggungjawab terhadap harta wakaf yang diberi nama Direktorat Wakaf di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji.

Demikian juga di Kementerian Agama Provinsi dan Kabupaten/Kota terdapat struktur yang jelas yang bertanggungjawab terhadap harta wakaf. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan diangkat sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW). Khusus untuk Aceh, tidak cukup di Kementerian Agama, Pemerintah Aceh membentuk salah satu Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA) yang diberi nama Badan Baitul Mal yang di antara tugasnya adalah mengurus zakat dan harta wakaf. Badan ini sudah mulai melaksanakan tugasnya dari provinsi hingga kabupaten/kota.

Harta Wakaf di Aceh

Publik Aceh sudah sepatutnya bertanya, bagaimana sistem pengelolaan harta wakaf di Aceh saat ini, sejauh mana peranan lembaga yang dibentuk pemerintah untuk mengelola harta wakaf, baik yang dibentuk Pemerintah Pusat maupun pemerintah Aceh. Berapa banyak aset wakaf yang ada di Aceh dan siapa saja yang menikmati hasilnya selama ini. Pendeknya bagaimana manajemen wakaf pemerintah Aceh selama ini. Kita semua tahu bahwa akhir-akhir ini Pemerintah Aceh telah menaruh perhatian sangat serius terhadap harta wakaf Aceh yang ada di Makkah, yakni “Bait al-Asyi”. Lalu bagaimana perhatian Pemerintah Aceh terhadap aset wakaf yang ada di negerinya sendiri?

Memang tidak salah memberikan perhatian yang serius terhadap harta wakaf yang ada di Arab Saudi tersebut, karena hal itu juga bagian daripada tanggungjawab pemerintah. Namun mengabaikan aset wakaf di negeri sendiri adalah sebuah kelalain yang sangat merugikan. Berdasarkan data yang ada, aset wakaf di Aceh kebanyakan berupa tanah, seperti tanah sawah, kebun, pekarangan, pertapakan toko, tambak dan sebagainya, sebagian dari tanah tersebut juga di manfaatkan untuk mendirikan masjid, meunasah, rumah sekolah, rumah sakit, balai pengajian, dayah, dan pemakaman umum. Bila dipersentasekan hanya 25% dari keseluruhan tanah wakaf yang di atasnya telah didirikan bangunan seperti yang tersebut di atas, atau tidak dapat dimanfaatkan karena berbagai faktor, sedangkan selebihnya (75%) merupakan tanah wakaf produktif yang dapat menghasilkan.

Sesuai dengan data di Kementerian Agama, tanah wakaf di 23 kabupaten/kota di Aceh berjumlah 21.862 lokasi dengan luas 183,14 juta meter persegi. Dari jumlah tersebut yang sudah memiliki sertifikat 12.649 lokasi. Status tanah wakaf tersebut terdaftar di Badan Pertanahan Nasional sebanyak 4.996 persil dan 1.463 persil telah memiliki akta ikrar wakaf/akta pengganti akta ikrar wakaf (AIW/AP AIW). Di samping itu masih banyak tanah wakaf yang belum terdata atau diwakafkan dengan lisan saja.

Dari 183,14 juta meter persegi tanah wakaf seluruh Aceh katakanlah yang produktif hanya 135 juta meter persegi. Jika setiap bulan rata-rata tanah wakaf menghasilkan Rp. 1000,- permetemya maka tanah wakaf Aceh dapat menghasilkan Rp. 135 milyar sebulan. Selanjutnya dalam setahun tanah wakaf Aceh dapat menghasilkan Rp 1,6 triliun lebih. Sungguh suatu angka yang fantastis dan mengejutkan. Angka ini belum termasuk hasil tanah wakaf yang tidak terdata, belum lagi tanah wakaf yang dapat menghasilkan lebih dari Rp. 1000,- permeter perbulan.

Mungkin banyak orang akan mengatakan angka ini jauh panggang dari pada api, tidak rasional, cet langet, dan sebagainya. Padahal justru ketika kita mau berfikir secara rasional angka ini sangat mudah kita dapatkan, bahkan bisa bertambah 5 kali lipat dari angka ini. Coba bayangkan saja bila di atas tanah wakaf yang luasnya hanya 80 meter persegi dibagun sebuah toko, lalu disewakan untuk kantor atau usaha dagang. Harga sewa toko sekarang rata-rata berkisar antara Rp 6 hingga 12 juta/tahun. Dengan demikian tanah wakaf dapat menghasilkan rata-rata Rp 500 ribu hingga 1 juta perbulan. Demikian juga sewa lahan pertanian atau tambak tidak kurang dari Rp 12.000,/tahun permeternya.

Problem mendasar perwakafan kita sekarang ini terletak pada manajemen pengelolaannya yang telah bergeser dari jalan yang benar. Sejak masa Rasulullah bahkan sampai sekarang di negara-negara Islam harta wakaf berada di bawah tanggungjawab pemerintah sebagai nazir ‘am (pengelola umum). Kemudian nazir ‘am dapat mengangkat nazir khas (pengelola khusus), baik individu maupun kelompok yang mencukupi syarat untuk mengelola harta wakaf di bawah pengawasan nazir ‘am/pemerintah. Nazir ‘am menyalurkan hasil wakaf kepada mustahik atau maukuf ‘alaih sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh si wakif (orang yang mewakaf), seperti untuk kepentingan masjid, dayah, majelis taklim, fakir miskin, anak yatim, dan sebagainya. Nazir juga memiliki wewenang untuk menambah aset wakaf guna untuk meningkatkan penghasilan harta wakaf.

Apabila nazir khas melakukan pelanggaran terhadap harta wakaf, maka nazir ‘am berkewajiban mengambil tindakan tegas dan menggantinya dengan nazir khas yang lain. Apabila mustahik tidak ada lagi, maka hasil harta wakaf diserahkan kepada kebijakan nazir ‘am untuk dimanfaatkan pada kemaslahatan umat. Sebagai contoh harta wakaf yang ditujukan kepada sebuah dayah. Ternyata dayah tersebut telah bubar, maukuf ‘alaih tersebut dikatakan sebagai mungqathi’ akhir (telah putus), maka hasil wakaf dikembalikan kepada kebijakan nazir ‘am.

Untuk kasus perwakafan di Aceh dewasa ini sangat banyak tanah wakaf yang maukuf ‘alaihnya telah mungqathi’ akhir sehingga nazir ‘am perlu segera mengambil kebijakan. Kasus yang sangat banyak didapatkan adalah pada wakaf untuk imam meunasah dan imam masjid, di mana tanah wakaf untuk mereka pada dasarnya karena pada masa itu imam meunasah dan imam masjid belum mendapatkan gaji/honor dari pemerintah.

Oleh karena itu ketika mereka mendapatkan gaji dari pemerintah maka status mauquf ‘alaih-nya otomatis menjadi mungqathi’ akhir. Aset wakaf tersebut perlu segera ditarik oleh nazir ‘am, bahkan sangat tepat jika gaji untuk mereka diambil dari penghasilan wakaf tersebut. Dengan kembali kepada manajemen wakaf yang benar mudah-mudahan harta wakaf tidak sia-sia begitu saja, harta wakaf pun semakin hari semakin berkembang, dan orang-orang pun terus mewakafkan hartanya. [serambi]

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *