Oleh Helza Nova Lita,SH., MH., Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran.
Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 antara lain adalah memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai kesejahteraan umum perlu adanya kerja sama dan sinergi seluruh komponen bangsa dengan memanfaatkan segenap potensi yang ada. Termasuk potensi penggembangan lembaga-lembaga ekonomi yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat.
Wakaf sebagai salah satu lembaga yang berasal dari hukum Islam telah lama dikenal dan hidup dalam masyarakat Indonesia. Namun praktik dan pengembangan wakaf yang selama ini berjalan di masyarakat masih bersifat sangat konvensional yang pada umumnya hanya ditujukan untuk mendukung sarana dan prasarana ibadah ritual semata, seperti pembangunan tempat ibadah dan pengelolaan pesantren.
Pemerintah RI telah memberikan dukungan yang luas bagi penggembangan wakaf di tanah air. Hal ini diantaranya dengan lahirnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf (selanjutnya disebut Undang-Undang Wakaf) dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
Sebagaimana sudah kita ketahui bersama bahwa lembaga wakaf sebagai salah satu pilar ekonomi Islam sangat erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi masyarakat. Cukup banyak negara yang wakafnya sudah berkembang menyelesaikan masalah sosial ekonomi mereka dengan wakaf. Hanya pemahaman umat Islam di Indonesia tehadap wakaf selama berabad-abad sangat terbatas pada wakaf benda tidak bergerak khususnya wakaf berupa tanah. Bahkan sebelum keluarnya Undang-Undang Wakaf, benda wakaf yang diatur dalam peraturan-perundang-undangan hanyalah tanah milik, yakni diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Wakaf benda bergerak baru dibicarakan oleh umat Islam di Indonesia sekitar akhir tahun 2001[1].
Dalam ketentuan Pasal 16 ayat Undang-Undang Wakaf dijelaskan bahwa Harta Benda Wakaf itu dapat terdiri terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda tidak bergerak yang dimaksud meliputi hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar, bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah, dan tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah, hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan yang dimaksud dengan benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, yang meliputi uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas kekayaan intelektual, hak sewa, benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Obyek wakaf adalah harta benda. Secara yuridis, benda itu ada yang termasuk dalam katagori benda berwujud dan ada pula benda tidak berwujud. Di antara benda berwujud itu ada yang termasuk dalam kelompok benda bergerak dan ada pula benda tidak bergerak, sedangkan benda tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban. Dalam katagori hak inilah HKI termasuk dalam ruang lingkup benda, sehingga dengan eksistensinya itu dapat menjadi obyek wakaf. Oleh karena itu, adanya upaya perluasan yurisdiksi obyek wakaf sehingga menjangkau pula pada HKI seperti yang tertuang dalam Pasal 16 Undang-Undang Wakaf dan Pasal 21 PP No. 42/2006.
Hak Cipta dapat dikatakan sebagai hak kebendaan. Hal ini disimpulkan dari rumusan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, bahwa hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menunjukan bahwa hak cipta itu hanya dapat dimiliki oleh si pencipta atau si penerima hak. Hanya namanya yang disebut sebagai si pencipta atau si penerima hak. Hanya namanya yang disebut sebagai pemegang hak khususlah yang boleh menggunakan hak cipta dan ia dilindungi dalam penggunaan haknya terhadap subjek lain yang menganggu atau yang menggunakannya tidak dengan cara yang diperkenankan oleh aturan hukum[2].
Adanya perluasan obyek Wakaf, yang tidak hanya meliputi benda tetap, namun juga benda bergerak, berarti obyek wakaf menjadi semakin luas, dan dengan begitu pula harapan terwujudnya kesejahteraan umat melalui pranata wakaf ini menjadi semakin terbuka luas. Pengelolaan wakaf secara produktif untuk kesejahteraan masyarakat menjadi tuntutan yang tidak bisa dihindari lagi. Apalagi di saat negeri ini sedang mengalami krisis ekonomi yang memerlukan partisipasi banyak pihak. Hadirnya regulasi perundangan wakaf merupakan penyempurnaan dari peraturan wakaf yang sudah ada dengan menambah hal-hal baru sebagai upaya pemberdayaan wakaf secara produktif dan profesional[3].
Praktik pengelolaan wakaf kedepan diharapkan sepenuhnya dapat berjalan tertib dan efisien sehingga juga menghasilkan nilai yang produktif dan terpelihara sebagaimana mestinya. Disamping itu pula perlu meningkatkan kemampuan Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, serta peran serta aktif masyarakat dan pengawasan pemerintah dalam melindungi harta benda wakaf demi untuk kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.
I. Pengertian dan Dasar Hukum Pelaksanaan Wakaf di Indonesia
Ketentuan Perwakafan di Indonesia saat ini diatur Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf . Sebelum lahirnya undang-undang tersebut, perwakafan di Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah milik dan diatur beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria.
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Wakaf, pengertian wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya dan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Wakaf, wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur-unsur wakaf sebagai berikut :
1) Wakif;
2) Nazhir;
3) Harta Benda Wakaf;
4) Ikrar wakaf;
5) Peruntukan Harta Benda Wakaf;
6) Jangka Waktu Wakaf.
a.d. 1) Wakif
Wakif dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Wakaf adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya. Selanjutnya dalam pasal 7 Undang-Undang Wakaf, wakif meliputi : perseorangan, organisasi, dan badan hukum.
a.d. 2) Nazhir
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Wakaf adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya. Dalam ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Wakaf, Nazhir meliputi : perseorangan, organisasi, dan badan hukum. Selanjutnya dalam pasal 11 Undang-Undang Wakaf, Nazhir mempunyai tugas untuk melakukan pengadministrasian harta benda wakaf, mengelola dan menggembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi,dan peruntukannya, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf, dan melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.
a.d. 3) Harta Benda Wakaf
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Wakaf, harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif. Menurut ketentuan Pasal 15 Undang-Undang Wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai oleh Wakif
a.d. 4) Ikrar Wakaf
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Wakaf, pengertian ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan dengan lisan dan/atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya. Dalam ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Wakaf , ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada Nadzir dihadapan PPAIW dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi. Ikrar yang dimaksud dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW. Selanjutnya dalam Pasal 18 Undang-Undang Wakaf menyebutkan dalam hal wakif tidak dapat menyatakan ikrar wakaf secara lisan atau tidak dapat hadir dalam pelaksanaan ikrar wakaf karena alasan yang dibenarkan oleh hukum, wakif dapat menunjuk kuasanya dengan surat kuasa yang diperkuat oleh 2 (dua) orang saksi.
II. Ruang Lingkup Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI)
Hak atas kekayaan intelektual (HKI) atau IntelectualProperty
Rights adalah hak hukum yang bersifat eksklusif (khusus) yang dimiliki oleh para pencipta/penemu sebagai hasil aktivitas intelektual dan kreativitas yang bersifat khas dan baru. Karya-karya intelektual tersebut dapat berupa hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, serta hasil penemuan (invensi) dibidang teknologi. Karya-karya dibidang HKI dihasilkan berkat kemampuan intelektual manusia melalui pengorbanan tenaga, waktu, pikiran, perasaan, dan hasil intuisi/ilham/hati nurani[4].
HKI secara umum dapat digolongkan ke dalam dua kategori utama, yaitu hak cipta dan hak kekayaan industri. Ruang lingkup hak cipta adalah karya cipta dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, sedangkan ruang lingkup hak kekayaan industri adalah dalam bidang teknologi. Dalam terminologi HKI dikenal istilah “pencipta” dan/atau “penemu”. Istilah pencipta digunakan dalam bidang hak cipta sedangkan istilah “penemu” lebih diarahkan dalam bidang hak kekayaan industri.
Obyek wakaf adalah harta benda dalam Undang-Undang Wakaf disebut Harta Benda Wakaf didefinisikan sebagai harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau menfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif (Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Wakaf). Dalam ketentuan ini secara tegas dinyatakan bahwa obyek wakaf adalah “harta benda”, sehingga kedua kata itu memerlukan pemaknaan guna memperoleh pengertian yang tepat.
Istilah benda dalam arti hukum (zaak) dalam KUHPerdata digunakan dalam berbagai arti, namun demikian secara umum dapat dikatakan sebagai “segala sesuatu yang dapat menjadi objek hukum, dalam arti dipakai sebagai lawan dari orang sebagai subjek hukum[5]. Soetan Malikul Adil mengartikan bahwa tidak semua benda merupakan zaak, tetapi hanya benda-benda yang terkait dengan kepentingan manusia. Benda yang tidak berkaitan dengan kepentingan manusia dinamakan res nullius (benda tidak berpunya)[6].Selanjutnya Sri Soedewi Masjchoen Sofwan berpendapat bahwa “yang merupakan benda itu pertama-tama adalah barang yang berwujud yang dapat ditangkap dengan panca indera, tapi barang yang tidak berwujud juga termasuk benda juga. Sejalan dengan pendapat Sri Soedewi mengenai jenis benda ini Subekti sebagaimana dikutip oleh Djuhaendah Hasan menyebutkan bahwa :
” Burgelijk Wetboek mengenal pula satu golongan barang yang dinamakan barang tidak berwujud. Yang dimaksud dengan ini ternyata tidak lain daripada hak-hak perorangan (piutang) yang dapat dialihkan[7].
Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Wakaf dinyatakan bahwa ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung terbatas pada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, menurut Undang-undang ini Wakif dapat pula mewakafkan sebagian kekayaannya berupa harta bedna wakaf bergerak, bak yang berwujud atau tidak berwujud yaitu uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan intelektual, hak sewa, benda bergerak lainnya.
Dalam Undang-Undang Wakaf, ada beberapa hal yang baru dibandingkan dengan wakaf yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik. Dalam Undang-undang ini yang diatur tidak hanya mengenai perwakafan tanah milik, tetapi perwakafan semua benda baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Hal ini tertuang dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Wakaf disebutkan bahwa harta benda wakaf terdiri: a) benda tidak bergerak; dan b) benda bergerak.
Pada ayat (2) disebutkan bahwa benda tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum terdaftar;
b. bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
d. hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada ayat (3) Pasal yang sama disebutkan bahwa benda bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:
a. uang;
b. logam mulia;
c. surat berharga;
d. kendaraan;
e. hak atas kekayaan intelektual;
f. hak sewa; dan
g. benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari’ah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
III. Hak atas Kekayaan Intelektual sebagai Obyek Wakaf
Wakaf yang terambil dari kata kerja bahasa Arab ‘waqafa’ itu menurut bahasa berarti menahan atau berhenti. Dalam hukum Islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf), baik berupa perorangan maupun badan pengelola, dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan ajaran syari’at Islam. Harta yang telahdiwakafkan keluar dari hak milik yang mewakafkan, dan bukan pula menjadi hak milik nadzir,tetapi menjadi hak milik Allah dalam pengertian hak masyarakat umum[8].
Hak Kekayaan Intelektual merupakan bagian dari benda, yaitu benda tidak Berwujud (benda immateril). Pengertian benda secara yuridis ialah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak. Sedangkan yang dapat menjadi objek hak itu tidak hanya benda berwujud tetapi juga benda tidak berwujud[9].
Secara umum HKI dapat terbagi dalam dua kategori, yaitu pertama Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri. Ketentuan mengenai HKI termasuk Paten, Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang dan Varietas Tanaman, telah diatur dalam satu paket Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.
Perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual pada awalnya merupakan perlindungan yang diberikan negara atas ide atau hasil karya warga negaranya[10]. Perlindungan HKI selain untuk melindungi kepentingan dari pihak pemilik yang mempunyai hak eksklusif terhadap hak ciptanya, juga untuk menghindarkan dari penggunaan pihak-pihak yang tidak berwenang.
1.Hak Cipta
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi (Pasal 1 angka 2). Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra (Pasal 1 angka 3). Pemegang Hak Cipta adalah pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.
Dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) UU No. 19 tahun 2002, bahwa hak cipta dianggap sebagai benda yang bergerak. Hak Cipta berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) dapat beralih atau dialihkan baik secara keseluruhan maupun sebagian. Demikian pula dari ketentuan tersebut, bahwa Hak Cipta pun dapat diwakafkan, yang mana tujuan dan prosedur wakaf Hak Cipta itu sendiri, diatur lebih lanjut dalam ketentuan UU No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
Untuk lebih lanjut dibawah ini ketentuan mengenai Pasal 3 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002 berbunyi sebagai berikut : “Hak Cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian karena :
a. Pewarisan:
b. Hibah;
c. Wasiat;
d. Perjanjian tertulis;
e. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) huruf e UU No. 19 Tahun 2002 diatas, Hak cipta dapat diwakafkan berdasarkan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, dalam hal ini mengacu pada ketentuan pasal 16 ayat (3) huruf e Undang-Undang Wakaf bahwa Hak atas kekayaan intelektual merupakan benda yang dapat diwakafkan dalam kategori barang bergerak yang merupakan harta benda yang tidak habis karena dikonsumsi.
2.Perlindungan Varietas Tanaman
Ketentuan Mengenai Perlindungan Varietas Tanaman diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Hak Perlindungan Varietas Tanaman adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemulia dan/atau pemegang hak Perlindungan Varietas Tanaman untuk menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau memberi persetujuan kepada orang atau badan hukum lain untuk menggunakannya selama waktu tertentu (Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman).
Varietas tanaman yang selanjutnya disebut varietas, adalah sekelompok tanaman dari suatu jenis atau spesies yang ditandai oleh bentuk tanaman, pertumbuhan tanaman, daun, bunga, buah, biji, dan ekspresi karakteristik genotipe atau kombinasi genotipe yang dapat membedakan dari jenis atau spesies yang sama oleh sekurang-kurangnya satu sifat yang menentukan dan apabila diperbanyak tidak mengalami perubahan (Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000).
Pemegang hak PVT adalah pemulia atau orang atau badan hukum, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak PVT dari pemegang hak PVT sebelumnya (Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000).Pemulia, dalam proses kegiatan pemuliaan tanaman, dapat bekerja sendiri, atau bersama-sama dengan orang lain, atau bekerja dalam rangka pesanan atau perjanjian kerja dengan perorangan atau badan hukum. Sebagai pembuat/perakit varietas, maka pemulia mempunyai hak yang melekat terhadap hak PVT dari varietas yang bersangkutan, yang meliputi hak pencantuman nama dan hak memperoleh imbalan. Pengertian penerima lebih lanjut hak PVT dari pemegang hak PVT sebelumnya, adalah perorangan atau badan hukum yang menerima pengalihan dari pemegang hak PVT terdahulu. Pemegang hak PVT tidak memiliki hak yang melekat pada pemulia, yaitu pencantuman nama dan hak memperoleh imbalan.
Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) UU Nomor 29 Tahun 2000, Perlindungan Varietas Tanaman Hak PVT dapat beralih atau dialihkan karena pewarisan; hibah; wasiat; perjanjian dalam bentuk akta notaris; atau sebab lain yang dibenarkan oleh Undang-undang. Hak PVT pada dasarnya dapat beralih dari, atau dialihkan oleh pemegang hak PVT kepada perorangan atau badan hukum lain. Yang dimaksud pada hukum lain yang dibenarkan oleh Undang-undang misalnya pengalihan hak PVT melalui putusan pengadilan. Setiap pengalihan hak PVT wajib dicatatkan pada Kantor PVT dan dicatat dalam Daftar Umum PVT dengan membayar biaya yang besarnya ditetapkan oleh Menteri. Selanjutnya Pengalihan Perlindungan Varietas Tanaman telah diatur secara dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2004 tentang Syarat dan Tata Cara Pengalihan Perlindungan Varietas Tanaman dan Penggunaan Varietas yang Dilindungi oleh Pemerintah.
3. Rahasia Dagang
Ketentuan Rahasia Dagang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000. Dalam Pasal 1 angka 1 disebutkan Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang (Pasal 1 angka 1).
Hak Rahasia Dagang adalah hak atas rahasia dagang yang timbul berdasarkan Undang-undang ini. Lingkup perlindungan Rahasia Dagang meliputi metode produksi, metode pengolahan, metode penjualan, atau informasi lain di bidang teknologi dan/atau bisnis yang memiliki nilai ekonomi dan tidak diketahui oleh masyarakat umum (Pasal 2). Pemilik Rahasia dagang memiliki hak untuk :
1. Menggunakan sendiri Rahasia Dagang yang dimilikinya;
2. Memberikan lisensi kepada atau melarang pihak lain untuk menggunakan Rahasia Dagang itu kepada pihak ketiga untuk kepentingan yang bersifat komersial.
Dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang bahwa Hak Rahasia Dagang dapat beralih atau dialihkan dengan :
1.pewarisan;
2.hibah;
3.wasiat;
4.perjanjian tertulis; atau
5.sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Pengalihan Hak Rahasia Dagang disertai dokumen tentang Pengalihan hak. Segala bentuk pengalihan Hak Rahasia Dagang wajib dicatatkan pada Direktorat Jenderal dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Pengalihan Hak Rahasia Dagang yang tidak dicatatkan pada Direktorat Jenderal tidak berakibat hukum pada pihak ketiga. Pengalihan Hak Rahasia Dagang diumumkan dalam Berita Resmi Rahasia Dagang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 30 tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Hak Rahasia Dagang dapat diwakafkan berdasarkan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
4.Desain Industri
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000, desain industri adalah suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi garis atau warna, atau garis dan warna, atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang, komoditas industri, atau kerajinan tangan.
Hak desain industri adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara Republik Indonesia kepada pendesain atas hasil kreasinya untuk selama waktu tertentu melaksanakannya sendiri, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakan hak tersebut.
Dalam ketentuan Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 2000 disebutkan bahwa Pemegang Hak Desain Industri memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Hak Desain Industri yang dimilikinya dan untuk melarang orang lain yang tanpa persetujuannya membuat, memakai, menjual, mengimpor, mengekspor, dan/atau mengedarkan barang yang diberi Hak Desaian Industri.
Hak Desain Industri sebagai bagian dari HKI, dapat diwakafkan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004. Peralihan Hak Desain Industri ini didasarkan pada ketentuan Pasal 31 ayata (1) huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 bahwa Hak Desain Industri dapat beralih atau dialihkan dengan sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
5.Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
Dalam ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, bahwa Sirkuit Terpadu adalah suatu produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang di dalamnya terdapat berbagai elemen dan sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu di dalam sebuah bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik (Pasal 1 angka 1).
Desain Tata Letak adalah kreasi berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai elemen, sekurang-kurangnya satu dari elemen tersebut adalah elemen aktif, serta sebagian atau semua interkoneksi dalam suatu Sirkuit Terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan Sirkuit Terpadu (Pasal 1 angka 2).
Pendesain adalah seorang atau beberapa orang yang menghasilkan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Pasal 1 angka 3). Yang berhak memperoleh Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu adalah Pendesain atau yang menerima hak tersebut dari Pendesain (Pasal 5 ayat 1). Dalam hal Pendesain terdiri atas beberapa orang secara bersama, Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu diberikan kepada mereka secara bersama, kecuali jika diperjanjikan lain (Pasal 5 ayat 2). Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dapat beralih atau dialihkan berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dapat beralih atau dialihkan dengan :
a. Pewarisan;
b. Hibah;
c. Wasiat;
d. Perjanjian tertulis
e. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan
(2) Pengalihan Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disertai dokumen tentang pengalihan hak.
(3) Segala bentuk pengalihan Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dicatat dalam Daftar Umum Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu pada Direktorat Jenderal dengan membayar biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
(4) Pengalihan Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu yang tidak dicatatkan dalam Daftar Umum Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu tidak berakibat hukum pada pihak ketiga.
(5) Pengalihan Hak Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diumumkan dalam Berita Resmi Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 32 tahun 2000 tentang Tata Letak Sirkuit Terpadu, Sirkuit Terpadu dapat diwakafkan karna sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
6. Paten
Berdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses (Pasal 1 angka 2).
Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi (Pasal 1 angka 3). Yang berhak memperoleh Paten adalah Inventor atau yang menerima lebih lanjut hak Inventor yang bersangkutan (Pasal 10 ayat1).
7. Merek
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, menyebutkan bahwa Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 juga disebutkan tentang Merek Dagang, Merek Jasa, dan Merek Kolektif. Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya (Pasal 1 angka 2). Merek Jasa adalah Merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya (Pasal 1 angka 3). Merek Kolektif adalah Merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya (Pasal 1 angka 4).
Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.
Merek terdaftar berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak Tanggal penerimaan dan jangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang. Selanjutnya Hak Merek dapat dialihkan berdasarkan ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang berbunyi sebagai berikut :
(1) Hak atas merek terdaftar dapat beralih atau dialihkan karena :
a. Pewarisan;
b. Wasiat;
c. Hibah;
d. Perjanjian; atau
e. Sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Pengalihan hak atas merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dimohonkan pencatatannya kepada Direktorat Jenderal untuk dicatat dalam Daftar Umum Merek.
(3) Permohonan pengalihan hak atas merek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan dokumen yang mendukungnya.
(4) Pengalihan hak atas merek yang telah dicatat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan dalam Berita Resmi Merek.
(5) Pengalihan hak atas merek terdaftar yang tidak dicatatkan dalam Daftar Umum Merek tidak berakibat hukum pada pihak ketiga.
(6) Pencatatan pengalihan hak atas Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai biaya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
Selanjutnya pengalihan hak merek dalam Pasal 41 UU No. 15 Tahun 2001 menyebutkan :
(1) pengalihan hak atas merek terdaftar dapat disertai dengan pengalihan nama baik, reputasi, atau lain-lainnya yang terkait dengan merek tersebut.
(2) Hak atas merek jasa terdaftar yang tidak dapat dipisahkan dari kemampuan, kualitas, atau keterampilan pribadi pemberi jasa yang bersangkutan dapat dialihkan dengan ketentuan harus ada jaminan terhadap kuallitas pemberian jasa.
Pasal 42 UU No. 15 Tahun 2001 :
Pengalihan hak atas merek terdaftar hanya dicatat oleh Direktorat Jenderal apabila disertai pernyataan tertulis dari penerima pengalihan bahwa merek tersebut akan digunakan bagi perdagangan barang dan/atau jasa.
Dari berbagai ketentuan diatas, bahwa ketentuan peralihan HKI untuk diwakafkan memiliki dasar hukum yang dibenarkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kepemilikan HKI dari pemilik yang sah sesuai dengan undang-undang yang berlaku setelah diwakafkan menjadi milik peruntukan sesuai dengan akad wakaf yang disetujui dari pemilik HKI sebagai wakif. HKI yang diwakafkan adalah sebelumnya sudah didaftarkan ke Dirjen HKI dan ketika terjadi proses peralihan untuk diwakafkan, maka harus tercantum jelas jenis HKI yang wakafkan, tujuan peruntukaannya sesuai dengan ketentuan undang-undang wakaf, serta didaftarkan ke Dirjen HKI. Selama ini dalam praktek belum ditemukan adanya pendaftaran HKI yang diwakafkan ke Dirjen HKI. Belum ada aturan khusus mengenai hal tersebut. Sehingga dengan demikian diharapkan ke depan pemerintah mengantipasi hal tersebut untuk diatur lebih lanjut dalam aturan operasionalnya.
C. KESIMPULAN DAN SARAN
Ketentuan peralihan HKI untuk diwakafkan memiliki dasar hukum yang dapat dibenarkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. HKI yang diwakafkan adalah sebelumnya sudah didaftarkan ke Dirjen HKI dan ketika terjadi proses peralihan untuk diwakafkan, maka harus tercantum jelas jenis HKI yang wakafkan, tujuan peruntukaannya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang wakaf.Kepemilikan HKI dari pemilik yang sah sesuai dengan undang-undang yang berlaku setelah diwakafkan menjadi milik peruntukan sesuai dengan akad wakaf yang disetujui dari pemilik HKI sebagai wakif.
Upaya perluasan yurisdiksi obyek wakaf sehingga menjangkau pula pada HKI seperti yang tertuang dalam Pasal 16 Undang-Undang Wakaf dan Pasal 21 PP No. 42/2006 perlu disambut positif. Karena dengan adanya perluasan itu, pada satu sisi, berarti obyek wakaf menjadi semakin luas, dan dengan begitu pula harapan terwujudnya kesejahteraan umat melalui pranata wakaf ini menjadi semakin terbuka luas. Sehingga dengan demikian diharapkan ke depan pemerintah mengantipasi hal tersebut untuk diatur lebih lanjut dalam aturan operasionalnya mengenai mekanisme peralihan HKI untuk tujuan wakaf.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Literatur
Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyar, Menuju Era Wakaf Produktif, Mumtaz
Publishing, Cetakan kelima, Januari 2008.
Gunawan Widjaja, Lisensi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001
Jafril Khalil, Standarisasi Nazhir Wakaf Uang Profesional, Modul Pelatihan
Wakaf, Badan Wakaf Indonesia, Jakarta , 2008.
Lastuti Abubakar , Transaksi Derivatif Efek di Indonesia, Tinjauan Hukum
tentang Perdagangan Derivatif di Bursa Efek, Penerbit Books Terrace &
Library, Bandung, cetakan pertama ,2009
Soetan Malikul Adil, Hak-Hak Kebendaan, PT. Pembangunan, Jakarta, 1962.
OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta,2006.
Uswatun Hasanah, Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia, Modul Pelatihan Wakaf, Badan Wakaf Indonesia, Jakarta, 2008.
B. Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
Undang-Undang 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri
Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf
[1] Uswatun Hasanah, “Wakaf dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia”, Modul Pelatihan Wakaf, Badan Wakaf Indonesia, Jakarta, 2008.
[2] OK. Saidin, “Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual”, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 50.
[3] Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyar, ”Menuju Era Wakaf Produktif”, Mumtaz Publishing, Cetakan kelima, Januari 2008, Depok, hlm. 90
[4] Iswi Hariyani, “Prosedur Mengurus HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) yang Benar”, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010, hlm. 16.
[5] HFA Vollmar dalam Lastuti Abubakar , “Transaksi Derivatif Efek di Indonesia”, Tinjauan Hukum tentang Perdagangan Derivatif di Bursa Efek, Penerbit Books Terrace & Library, Bandung cetakan pertama 2009, hlm. 139.
[6] Soetan Malikul Adil,”Hak-Hak Kebendaan”, PT. Pembangunan, Jakarta, 1962, hlm. 17.
[7] Lastuti Abubakar, Op.Cit, hlm. 140.
[8] Jafril Khalil, “Standarisasi Nazhir Wakaf Uang Profesional”, Modul Pelatihan Wakaf, Badan Wakaf Indonesia, Jakarta , 2008.
[10]Gunawan Widjaja, “Lisensi”, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm 11.