Gaya Hidup Wakaf Perkuat Wasathiyah dan Literasi Islam

Wakaf harus menjadi gaya hidup masyarakat. Ibadah sosial ini membiasakan orang untuk berempati dan membangun gerakan besar, seperti literasi Islam.

“Kita harus ingat sejarah baitul hikmah pada masa Abbasiyah, sentra keilmuan seperti di Rayy, Jilan, Samarkand, Kairo, Maroko, Andalusia, dan banyak lagi,” kata Anggota Dewan Pertimbangan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Wilayah Jakarta Lukman Hakim Arifin, dalam acara pemberian wakaf di Rumah Literasi Jakarta, pada Kamis (13/012022).

Poros keilmuan itu adalah tempat riset, penerjemahan buku, kawasan ulama berdakwah, dan lokus perguruan tinggi Islam yang berusia ratusan tahun.

Di kawasan tersebut, wakaf berkembang pesat. Para dermawan menyisihkan sebagian sumber dayanya untuk menggerakkan literasi Islam. Tak hanya uang, mereka mendedikasikan lahan, tenaga, pikiran, profesi, dan sumber daya lainnya, untuk menggerakkan keilmuan.

Dengan begitu, masyarakat termotivasi untuk membaca, meneliti, dan menghasilkan kerja keilmuan yang menguatkan sendi peradaban.

Masyarakat menjadikan ilmu sebagai pegangan hidup, menghasilkan teknologi yang memudahkan kehidupan, membangun norma dan etika yang mengarah kepada kebahagiaan. Juga sadar hukum sehingga mereka menaati aturan dan kebijakan pemerintah.

Karya ilmiah para ulama kala itu tak hanya dibaca masyarakat Muslim, mereka yang non-Muslim juga ikut menikmati buku-buku ulama. Seperti syair-syair Ibnu Arabi dan Imam Ghazali ternyata banyak menginspirasi puisi Dante Alighieri. Teori kausalitas Al-Ghazali yang tertuang dalam berbagai kitab, ikut meramaikan perbincangan falsafah ilmu Immanuel Kant, dan banyak sarjana Barat.

“Ini menunjukkan kerja peradaban yang didasarkan wakaf itu menerobos ruang dan waktu. Kerja keilmuan semacam itu akan tetap ada di tengah jatuh bangun kekuasaan, pertumbuhan-defisit ekonomi, dan perkembangan teknologi, yang tak terelakkan,” ujar Lukman.

Pada masa sekarang, kerja keilmuan seperti masa lalu tetap ada. Lukman yang mengelola penerbit Rene Turos Indonesia (RTI) menceritakan bagaimana pihaknya menerjemahkan karya ulama masa lalu. Usia karya tersebut sudah ratusan, bahkan seribu tahun.

Tapi tetap dibaca masyarakat sekarang. “Di sini saya merasakan ‘setruman’ ulama masa lalu yang begitu hebat. Mereka bersungguh-sungguh melakukan kerja literasi Islam sehingga terasa hadir di kehidupan masa kini, meski jasadnya telah tiada,,” katanya.

Pihaknya mengajak masyarakat luas untuk menggiatkan literasi Islam melalui wakaf, seperti yang dilakukan para pendahulu. Wakaf literasi dimaksudkan untuk menghidupkan dan menggerakkan ekosistem perbukuan: pembaca, penulis, agen naskah, proof reader, penyunting, penerbit, percetakan, dan penjual (reseller, agen buku, dropshipper).
Sebagai komitmen menggiatkan wakaf literasi, pihaknya mendonasikan Rp 36 juta untuk pembangunan Pesantren Wakaf Literasi Islam (Wali) di Salatiga Jawa Tengah.

“Personel kami berjumlah 36 orang, kami maksudkan setiap orang mewakafkan Rp 1 juta untuk wakaf yang sangat bermanfaat ini,” kata Lukman Hakim Arifin dalam keterangannya di Jakarta pada Selasa 11 Januari 2022.

Kegiatan filantropi ini juga menjadi starting point memasuki tahun 2022 yang penuh tantangan. Dengan wakaf yang disertai keikhlasan, pihaknya optimistis tahun ini akan lebih banyak menginspirasi ekosistem perbukuan.

Sementara itu Pengasuh Pesantren Wali Salatiga, KH Anis Maftuhin menjelaskan, wakaf merupakan gaya hidup yang harus dilestarikan. Generasi tua mengarahkan pemuda untuk membiasakan dirinya berwakaf, khususnya untuk pengembangan ilmu. Tradisi semacam ini akan menjadi amal jariyah yang pahalanya terus mengalir sampai kiamat.

Kiai Anis menceritakan pengalamannya mengasuh santri dan membangun Pesantren Wakaf Literasi Islam (Wali). Pesantren itu dibangun dari jerih payah wakaf banyak orang. Pada 2016 pesantren itu didirikan, kini terus berkembang dengan jumlah santri mencapai ratusan anak.

Ratusan santri Wali dididik berakhlak mulia dan mendalami ilmu pengetahuan. Sejak awal mereka dibiasakan beribadah, menghormati guru dan orang tua, bertutur kata santun, dan rendah diri. Kemudian mengaji kitab dan ilmu-ilmu Islam dengan metode modern, sehingga cepat menguasai Ilmu Nahwu, Sharaf, pandai membaca dan memahami kitab kuning yang merupakan sumber keilmuan Islam.

Mereka juga dilatih berpidato menjadi pemimpin shalat dan organisasi, sehingga mempunyai kemampuan komunikasi dan kepemimpinan yang baik.

Berbekal kemampuan tersebut, para santri nantinya akan cakap meneruskan dakwah Rasulullah SAW, menyebarluaskan literasi Islam, menguatkan wasathiyah dan persatuan.

“Ayo kita biasakan dan semarakkan wakaf untuk mengembangkan literasi Islam,” kata Kiai Anis.

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *