Rahasia Dibalik Rasullah Banyak Bersedekah Saat Ramadan

Suatu hari Aisyah ra menghidangkan makanan paha domba kesukaan Rasulullah. Lalu Rasulullah bertanya, ”Ya Aisyah, apakah sudah kamu beri Abu Hurairah tetangga kita?”

”Sudah, ya Rasulullah,” jawab Aisyah.

”Bagaimana dengan Ummu Ayman?” tanya Rasulullah lagi.

“Sudah, ya Rasulullah,” jawab Aisyah.

Kemudian Rasulullah bertanya lagi tentang tetangga-tetangganya yang lain, apakah sudah diberi masakan tersebut. Sampai Aisyah merasa penat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
“Sudah habis kubagikan, ya Rasulullah, yang tinggal apa yang ada di depan kita ini,” ujar Aisyah.

Rasulullah tersenyum. Lalu dengan lembut menjawab, ”Kamu salah Aisyah, yang habis adalah apa yang kita makan ini dan yang kekal adalah apa yang kita sedekahkan.”

Dikisahkan oleh Umar bin Khattab. Suatu hari seorang laki-laki datang menemui Rasulullah SAW untuk meminta-minta, lalu Rasulullah SAW memberinya.

Keesokan harinya, laki-laki itu datang kembali meminta-minta, lalu Rasulullah SAW memberinya. Keesokan harinya, ia datang kembali dan meminta, Rasulullah kembali memberinya. Keesokan harinya, ia datang dan kembali meminta-minta.

Rasulullah SAW lalu bersabda,”Saya tidak mempunyai apa-apa saat ini. Akan tetapi, ambillah apa yang engkau mau, dan jadikanlah itu utang bagiku. Jika suatu saat saya mempunyai sesuatu, saya akan membayarnya.”

Umar lalu berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, janganlah engkau memberikan sesuatu yang berada di luar batas kemampuanmu.”

Rasulullah SAW tersenyum, lalu beliau bersabda kepada Umar, “Karena itulah saya diperintahkan oleh Allah.”

Sayyidah Ummu Salamah, istri Rasulullah SAW bercerita: “Suatu hari Rasulullah SAW masuk ke dalam rumahku dalam keadaan muka pucat. Saya khawatir jangan-jangan beliau lagi sakit. Saya lalu bertanya: ya Rasulullah, mengapa wajahmu pucat begitu? Apakah Anda sakit?”

Rasulullah SAW menjawab,“Saya pucat begini bukan karena sakit, tetapi karena saya ingat uang tujuh dinar yang kita dapatkan kemarin. Sore ini uang itu masih ada di bawah kasur dan kita belum menginfakkannya.”

Subhanallah, demikianlah bagaimana luar biasanya Rasulullah SAW. Beliau pucat pasi bukan karena sakit, bukan karena kurangnya uang dan kekayaan, namun karena ada uang yang masih tersimpan yang belum diinfakkan.

Sejatinya harta bukanlah tujuan. Kekayaan bukan akhir pencarian, akan tetapi sarana untuk lebih mengabdi kepada-Nya. Karena itu, Jabir menuturkan,“Rasulullah SAW tidak pernah mengatakan ‘tidak’ manakala beliau diminta.” (HR Bukhari)

Lalu, mengapa Rasulullah lebih giat lagi dalam bersedekah di bulan Ramadan? Pertama, pahala sedekah di bulan Ramadhan dilipatgandakan. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Turmudzi, ketika Rasulullah SAW ditanya,“Sedekah yang bagaimana yang paling utama?” Rasulullah SAW menjawab,“Sedekah yang dilakukan pada bulan Ramadan.”

Kedua, membantu orang-orang yang berpuasa untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Rasulullah SAW bersabda,“Barang siapa yang memberikan berbuka kepada orang yang sedang berpuasa, maka pahalanya sama dengan orang yang berpuasa itu, tanpa berkurang sedikit pun”.

Ketiga, puasa dan sedekah merupakan dua hal sangat penting untuk menjauhkan diri dari api neraka. Dalam banyak hadis disebutkan,salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Rasulullah SAW bersabda,“Puasa adalah perisai.” Maksudnya, puasa merupakan perisai dari api neraka, demikian juga sedekah merupakan penolak dari panasnya api neraka kelak.
Itulah beberapa rahasia mengapa Rasulullah SAW lebih dermawan lagi manakala bulan Ramadhan tiba. Semua karena banyak rahasia dan keistimewaan yang hanya didapatkan pada bulan Ramadan dan tidak terdapat pada bulan-bulan lainnya.

Rasulullah SAW bersabda,“Orang yang dermawan itu dekat dengan Allah, dekat dengan surga, dekat dengan sesama manusia serta jauh dari api neraka. Sedangkan orang yang pelit dan kikir, ia jauh dari Allah, jauh dari surga, jauh dari manusia dan dekat dengan api neraka. Orang yang bodoh, tetapi dermawan, lebih dicintai oleh Allah, daripada orang yang rajin ibadah, tetapi pelit dan kikir.” (HR Baihaqi).

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *