Oleh Dr. Amelia Fauzia, Anggota Divisi Penelitian dan Pengembangan, Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam beberapa tahun belakangan, beberapa kontroversi terkait penggusuran masjid mengemuka. Kontroversi yang cukup menyita perhatian adalah kasus masjid Al-Ikhlas di Medan yang tanahnya di-ruislag dan bangunan masjidnya dirubuhkan pada bulan Mei 2011. Kasus-kasus serupa terkait penggusuran, tukar guling (ruislag), pengambil-alihan lahan, perebutan dan konflik kepengurusan masjid dan wakaf kerap terjadi. Ke depan, kasus-kasus seperti ini akan semakin sering terjadi karena dua potensi. Potensi pertama adalah seiring dengan pertumbuhan penduduk, semakin tinggi tingkat kebutuhan tanah khususnya di daerah urban dan semakin tingginya aset ekonomi wakaf dan masjid. Sedangkan potensi yang ke dua adalahlemahnya database dan administrasi terkait lembaga masjid dan perwakafan, di mana banyak aset wakaf yang tidak teregistrasi dengan baik dan hilang, serta banyaknya masjid yang ternyata berdiri di atas tanah non wakaf.
Fenomena masjid yang berdiri di atas tanah non wakaf selama ini tidak dianggap masalah besar karena sifat komunalisme masyarakat yang tinggi dan budaya pedesaan yang kuat. Artinya, dengan kesepakatan sosial seluruh masyarakat, keberlangsungan masjid akan tetap terjaga, walaupun status tanah masjid bukan wakaf.Atau jika sudah berstatus wakaf, status wakaf ini tidak dikuatkan dengan pencatatan yang rapih yang diakui dan dilindungi oleh hukum positif. Namun seiring dengan urbanisasi dan kompleksnya persoalan sosial kemasyarakatan, pertumbuhan ekonomi, persoalan yang menyangkut status hukum tanah masjid muncul, misalnya, adanya pengambilalihan aset tanah oleh pemiliknya, apakah itu individu, yayasan keluarga, pemerintah, bahkan perusahaan pengembang perumahan. Hal ini akan berdampak pada masjid yang berdiri diatasnya, yang sudah menjadi bagian penting dari masyarakat. Dan karenanya tidak jarang menimbulkan kontroversi dan konflik sosial.
Karena itu, fenomena masjid yang berdiri di atas tanah non wakaf tidak bisa dipandang sebelah mata. Dibutuhkan upaya serius, khususnya dalam hal kebijakan administrasi, untuk menjaga aset sosial keagamaan penting ini.Hal ini bukan hanya sekedar untuk tujuan menghindari konflik sosial (tujuan jangka pendek), namun juga untuk tujuan jangka panjang yaitu mendorong kemajuan kedermawanan masyarakat, dan menguatkan masyarakat madani (civil society) melalui aspek spiritual keagamaan.
Tulisan ini akanmelihat fenomena masjid yang didirikan di atas tanah non wakafsebagai sebuah kajian sejarah sosial kontemporer, dan akan mengambil kasus masjid di wilayah Jakarta. Walaupun fenomena yang diangkat adalah insitusi kelembagaan agama Islam, yaitu masjid dan wakaf, tulisan ini tidak akan melihat dari sisi fikih atau pun hukum Islam, namun pada persoalan sosial kemasyarakatan yang empiris. Karena itu keberadaan data menjadi krusial.Tulisan ini menggunakan data yang dikumpulkan khususnya dari media online (dalam satu bulan terakhir), serta wawancara dan observasi yang dilakukan dalam tiga bulan terakhir. Karena keterbatasan waktu, data dari dokumen terkait tidak banyak digunakan.
Tulisan ini dibagi menjadi tiga sub bagian utama. Sub bagian pertama akan melihat kontroversi dan konflik sosial terkait masjid yang terjadi belakangan ini. Bagian kedua memaparkan fenomena pertumbuhan masjid dan wakaf di Indonesia. Bagian ketiga adalah bagian inti yang memaparkan data dan ulasan masjid yang berdiri di atas tanah non wakaf, dengan mengambil kasus di wilayah Jakarta. Dan terakhir adalah penutup.
Kontroversi dan Konflik Sosial Terkait Status Masjid
Kasus-kasus terkait status tanah masjid sering kali meresahkan masyarakat. Dan tak jarang membuat kontroversi bahkan menjadi konflik sosial antar kelompok masyarakat. Kasus-kasus yang ramai diperbincangkan media dan menyedot emosi bernuansa sara dalam beberapa tahun terakhir adalah penggusuran yang terjadi di kota Medan. Hasil pencarian kasus yang mencuat menimbulkan kontroversi dan dimuat media online adalah sebagai berikut.
1. Ruislag lahan dan penggusuran Masjid Al-Ikhlas, di Jalan Timor Medan, Mei 2011. Masjid dengan luas bangunan 11m X 11m ini awalnya mushalla yang berdiri di atas tanah milik Negara. Kodam I Bukit Barisan yang menguasai tanah tersebut me-ruislag-kannya tahun 2007 ke pihak ketiga yaitu sebuah pengembang. Proses ruislag sudah dimusyawarahkan lama dan uang ganti rugi sebesar 700 juta sudah diberikan pada 2009. Tidak ada bukti arsip akta ikrar wakaf dan sertifikat wakaf atas lahan masjid ini yang resmi tercatat di kantor terkait.Kasus mencuat lagi ketika dan setelah proses eksekusi pembongkaran masjid. Disinyalir ada intimidasi oleh kelompok tidak dikenal yang memicu emosi masyarakat.
2. Penggusuran Masjid Nurul Jannah di Perumahan Jatinegara Indah, Cakung, Jakarta Timur, Agustus 2009.Masjid ini belum sepenuhnya berdiri, masih dalam proses pendirian sekitar 85%. Berdasarkan musyawarah, pihak pengembang PT Cakra Sarana Larasati berjanji akan memberikan tanah fasilitas sosial di lokasi perumahan. Pihak warga memulai pembangunan lebih dahulu dan sudah memakan dana 70 juta, namun tanah yang digunakan ternyata peruntukkannya adalah untuk ruang terbuka hijau (RTH).Pembangunan ini dianggap menyalahi aturan dan dibongkar oleh pihak walikota Jakarta timur.
3. Alih lahan (ruislag) Masjid Raudhatul Islam, di kelurahan Silalas, Medan, April 2011. Status tanah masjid ini adalah wakaf yang sudah diruislag kepada pengembang PT. Jatimasindo, berdasarkan prosedur, dan sudah mendapat rekomendasi Badan Wakaf Indonesia dan izin Menteri Agama tahun 2010 dengan pertimbangan tidak banyak lagi penduduk Muslim di lingkungan tersebut. Tanah masjid seluas 242m juga sudah diganti dengan tanah dan bangunan masjid yang lebih representatif oleh pengembang.
4. Pemindahan masjid Landmark, the Landmark Center, Sudirman, Jakarta, Oktober 2011. Masjid ini terletak di basement tunnel Gedung the Landmark Center. Masjid ini dipindahkan oleh pengembang/pemilik landmark center ke lokasi lain masih di basement gedung yang sama. Masjid ini adalah fasilitas sarana ibadah di gedung Landmark center yang diberikan oleh pemilik/pengembang, dan biasanya ramai digunakan untuk shalat zuhur dan ashar oleh karyawan dan masuk kategori masjid perkantoran.
5. Isu pembongkaran Masjid Al-Awwabin di Mangga Besar, Jakarta Barat, Juni 2012. Isu pembongkaran mencuat beberapa kali dan meresahkan warga. Isu yang beredar adalah tanah akan dialihkan kepada sebuah pengembang, dan disinyalir tanah masjid seluas 400 meter ini milik zubaidah yang memiliki sertifikat hak milik atas tanah tersebut. Masjid tersebut sudah diverifikasi oleh pemprov DKI Jakarta tidak masuk kategori benda cagar budaya.
6. Penggusuran beberapa masjid di kota Medan.Disebut ada tiga masjid yaitu di komplek PJKA gg Buntu, Komplek Kavaleri Padang Bulan, dan Komplek Kodam Polonia yang pernah digusur. Namun tidak ada berita detail yang diungkap media tentang kasus ini dan penulis belum memverifikasi keabsahan berita ini.
Lepas dari kontroversi dan konflik pihak-pihak yang berseteru, setidaknya ada empat hal yang bisa diangkat dari data di atas. Pertama, penggusuran rawan terjadi pada masjid yang dibangun di atas tanah yang bukan wakaf. Dari sekian banyak kasus, hanya satu yang merupakan tanah wakaf (kasus no 3) yang dilakukan secara prosedural, selain itu adalah tanah hak milik pengembang atau pribadi. Bahkan pada kasus no 6, semua tanah masjid terletak di komplek perumahan yang kemungkinan besar milik pengembang. Artinya, selama ini banyak upaya pendirian masjid yang masih memandang status tanah sebagai bukan persoalan serius. Memang, pendirian masjid di atas tanah fasilitas sosial/umum dan pribadi tidak lah masalah secara sosial dan termasuk bisa dibolehkan dari sisi fikih. Justru ada indikasi bagus bahwa pengembang dan masyarakat secara swadaya berupaya membangun masjid. Namun dari sisi lain, keberadaan masjid ini menjadi riskan dengan tidak menutup kemungkinan ada oknum yang memiliki intrest pribadi. Lain halnya jika status tanah sudah diubah menjadi wakaf, apalagi dengan adanya bukti sertifikat tanah wakaf. Setidaknya persoalan yang menyangkut penggusuran tidak akan banyak muncul.
Kedua, kasus-kasus penggusuran dan pemindahan di atas adalah fenomena masyarakat perkotaan (urban). Ini biasanya terjadi pada masjid yang relatif kecil, dengan luas tanah kurang dari 400m, dan masjid yang relatif jamaah penggunanya sedikit dan tidak aktif. Di wilayah perkotaan, tanah lebih memiliki tingkat ekonomi tinggi, dan penduduk asli cenderung berpindah ke wilayah pinggiran kota. Karena itu, daerah perkantoran di mana rumah penduduk yang memakmurkan masjid mulai berkurang –seperti kegiatan jamaah shalat lima waktu–, perubahan fungsi masjid tidak terelakkan, dan masjid akan berpotensi besar untuk mengalami kasus-kasus seperti di atas. Yang menjamur di daerah perkantoran saat ini adalah fenomena masjid kantor (seperti kasus no 4) dan masjid di mall, yang maksimal penggunaannya pada waktu siang hari dan sore ketika kantor/mall buka.
Ketiga, alih fungsi tanah masjid merupakan suatu hal yang sensitif dan menyulut emosi masyarakat. Tentu saja karena masjid memiliki tempat istimewa bagi Muslim, bernuansa sakral, spiritual keagamaan, serta ada kultur sosial yang sudah terjalin yang mengukuhkan kedekatan emosional warga. Dalam bahasa lain, masjid memiliki ruang-ruang sosial dan spiritual (social and religious spheres), bukan hanya sekedar bangunan fisik. Wajar saja, jika tidak berhati-hati, kontroversi dan konflik bisa muncul, terlepas proses administirasi prosedural sudah dilakukan. Contohnya terlihat dalam kasus ruislag tanah masjid Raudhatul Islam, kasus no 3 di atas. Ini harus menjadi pelajaran berharga, bahwa proses administrasi harus dibarengi dengan proses musyawarah dan edukasi yang cukup. Harus dipahami bahwa emosi akan mengemuka ketika penggusuran atau ruislag melibatkan pihak lain yang diaggap tidak mewakili kepentingan umum, alias untuk kepentingan komersial. Terlebih lagi jika ada intimidasi dari pihak-pihak yang dianggap memiliki
kuasa seperti tentara maupun pengusaha.
Keempat, terdapat pemahaman yang kurang tepat dalam masyarakat bahwa wakaf tidak boleh di-ruislag. Justru dalam gerakan wakaf produktif, ruislag wakaf membuka potensi semakin banyak wakaf yang bisa diproduktifkan, tidak menjadi lahan kosong yang dapat diambil alih oleh oknum tidak bertanggung jawab. Saat ini banyak wakaf yang hilang karena terkait sulitnya pemanfaatan aset wakaf, dan dalam realita sosial terjadi perubahan demografi tempat tinggal penduduk semakin kearah pinggiran kota. Perlu dipikirkan upaya mengaktifkan masjid secara lebih produktif, misalnya untuk pemberdayaan ekonomi, untuk kemakmuran masyarakat sekitar.
Dari kasus-kasus di atas, pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana sebenarnya kondisi masjid dan perwakafan di Indonesia. Sub bagian di bawah ini akan mendiskusikan hal tersebut.
Bersambung…