Angka di atas, yaitu sebanyak 294,020 (atau 41%) masjid/mushalla di Indonesia berdiri di atas tanah non wakaf cukup fantastis. Angka ini setidaknya mendekati dan bahkan lebih besar dari perkiraan Dewan masjid Indonesia (DMI) yang menyatakan “sekitar 30% dari 700 ribu masjid di tanah air tidak memiliki status hukum yang jelas.”[1]
Masih merujuk pada table 3 di atas, dapat dikalkulasi bahwa di DKI Jakarta terdapat 2.831 masjid yang berdiri bukan di atas tanah wakaf, atau sebesar 33%. Lagi-lagi ini angka yang cukup besar. Namun tentu lebih baik dibandingkan dengan persentase nasional. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa di DKI Jakarta jumlah masjid/mushalla yang berstatus bukan wakaf lebih sedikit dibandingkan dengan daerah lain dilihat dari angka nasional.
Jangankan masjid/mushalla kecil di pedesaan atau di daerah ramai penduduk, masjid-masjid besar yang merupakan representasi wilayah propinsi dan kabupaten juga masih ada yang berstatus bukan wakaf. Misalnya, Masjid Al-Akbar Surabaya, salah satu masjid yang cukup spektakuler besarnya dan indah dari sisi arsitekur, ternyata tanahnya masih merupakan aset pemerintah daerah. Begitu juga Masjid Agung Palembang, status tanahnya masih merupakan tanah pemda, belum wakaf.
Demikian halnya yang terjadi di DKI Jakarta.Hasil penelusuran singkat status tanah masjid-masjid yang besar memperlihatkan bahwa masjid-masjid besar yang dianggap cukup representatif yang terdapat di dalam kota maupun sedikit ke luar kota, ternyata banyak yang belum bertatus wakaf. Lihat tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4.Masjid di Jakarta yang Berdiri bukan di atas Tanah Wakaf
NO |
NAMA MASJID |
ALAMAT |
STATUS TANAH MILIK |
1 |
Masjid Istiqlal |
Jakarta Pusat |
Aset Pemda DKI |
2 |
Masjid Kubah Emas Dian Al-Mahri |
Jl. Meruyung Raya, Limo, Depok |
Yayasan Keluarga Dian al-Mahri |
3 |
Masjid Pondok Indah |
Jl. Sultan Iskandar Muda Pd Indah |
PT Metropolitan Jakarta |
4 |
Masjid Agung Sunda Kelapa |
Jl. Taman Sundakelapa 16 Menteng |
Pengelolaan dalam aset Pemda DKI |
5 |
Masjid At-Tin |
Taman Mini Indonesia Indah Jaktim |
Yayasan kel. Alm. Ibu Tien Soeharto |
6 |
Masjid Agung Al-Azhar |
Kebayoran Baru Jakarta Selatan |
Yayasan pend Islam Al-Azhar Jaksel |
7 |
Masjid At-Taqwa Ps Minggu |
Jl.Poltangan II 45 Ps Minggu |
Aset pemda dki jakarta selatan |
8 |
Masjid Jakarta Islamic Center |
Jl. Koeja, JIC Jakarta Pusat |
Aset Pemda DKI |
9 |
Mesjid Jami’Bintaro |
Sector 1. Bintaro jaya, Jaksel |
Pengembang Bintaro jaya |
10 |
Masjid Al-Bina Senayan |
Komp Gelora Bung Karno Senayan |
Pemda DKI |
11 |
Masjid Al-I’Tisham |
Dukuh Atas, Jakarta Pusat |
Bank Negara Indonesia (BNI) |
12 |
Masjid Baitul Ihsan BI |
Jl. Merdeka Raya Komplek BI |
Bank Indonesia (BI) |
13 |
Masjid Akbar Kemayoran |
Jl. Benyamin Sueb Blok Boing Jak-pus |
Pemda DKI |
14 |
Masjid al-Musyawarah |
Kota Satelit Kelapa Gading |
PT Sumericon Agung |
15 |
Masjid Ni’matul Ittihad |
Pondok Pinang |
Pemda DKI |
16 |
Masjid Cut Mutia |
Jln. Cut Mutia, kp.Melayu Jaktim |
Gedung dan tanah pemda |
17 |
Masjid Darul Adzkar |
Karang Tengah Lebak Bulus Jak-Sel |
Yayasan Darul Adzkar |
18 |
Masjid Bani Umar |
Bintaro, Jaksel |
Yayasan Kel. Umar Wirahadi Kusuma |
19 |
Masjid At-Tawab Ciledug |
Larangan Indah Ciledug |
Pengembang Larangan Indah |
20 |
Masjid Al-Falah Bona Indah |
Cilandak, Lebak Bulus |
Pengembang Bona Indah |
21 |
Masjid Al-Hikmah (Sarinah) |
Sarinah, Thamrin, Jak-pus |
Pengembang PT Sarinah |
Sumber: Informasi di dapat dari sumber-sumber yang berbeda, sebagian dari profil online, sebagian wawancara konfirmasi via telpon, dan sebagian merupakan observasi dan wawancara dengan pengurus secara langsung. Terima kasih kepada Nany Al-Muin, MA dan Nurul Roaz Al-Rashid yang telah membantu sebagian verifikasi data ini. (Penulis berterima kasih jika diberi tahu seandainya ada data di atas yang kurang tepat).
Pemilihan masjid di atas tidak diambil secara acak (random), namun berdasarkan pengamatan masjid yang cukup besar. Karenanya data ini bersifat purposive sampling.
Yang paling menyolok adalah Masjid Istiqlal yang menjadi kebanggaan nasional, yang ternyata berdiri di atas tanah pemerintah daerah. Melihat proses pendirian beberapa masjid di atas, termasuk Istiqlal, bisa dipahami mengapa status tanah masjid itu merupakan tanah aset pemerintah, bukan tanah wakaf. Dan pada masa pendirian Istiqlal kondisi sosial dan politik mendorong untuk penyegeraan pendirian sebuah masjid nasional bahkan terbesar di Asia Tenggara ketika itu. Artinya, status yang demikian tidak terlalu salah pada saat itu. Namun sejalan dengan waktu, perlu dipertimbangkan pengalihan status tanah masjid-masjid di atas menjadi tanah wakaf, dengan tetap mempertimbangkan pengelolanya.
Dari data di atas, setidaknya terdapat tiga kategori status tanah masjid yang belum wakaf di atas.
1. Tanah milik pemerintah, baik itu pemerintah pusat, daerah, maupun suatu departemen;
2. Tanah milik yayasan, baik itu yayasan keluarga atau lainnya, maupun milik pribadi;
3. Tanah milik pengembang perumahan atau perkantoran.
Persentasenya adalah sebagai berikut:
Tabel 5. Persentase Kategori Status Tanah Masjid/Mushalla (Non Wakaf)
Kategori Status Tanah Masjid/mushalla (non Wakaf) |
Persentase |
Tanah milik pemerintah |
48% |
Tanah milik yayasan |
24% |
Tanah milik pengembang |
29% |
Sumber: Hasil kalkulasi penulis.
Persentase ini menunjukkan bahwa seperti yang terjadi pada kasus-kasus kontroversi di bagian pertama, masjid yang didirikan atas jasa dan menggunakan fasilitas tanah pengembang cukup besar yaitu 29%. Sejalan dengan berkembang pesatnya perumahan-perumahan baru, masjid-masjid yang didirikan menggunakan aset tanah pengembang ini sepertinya akanbertambah. Berbeda dengan masjid yang berdiri di atas aset tanah pemerintah atau Negara (yang saat ini berjumlah 48%). Sepertinya ke depan persentasenya akan menurun dibandingkan dengan masjid yang berdiri di tanah milik yayasan dan pengembang. Hal ini mengingat bahwa banyak masjid-masjid yang berdiri di atas tanah pemerintah itu adalah masjid yang menjadi representasi wilayah dan kemungkinan kecil akan dibangun masjid sejenis, kecuali ada pengembangan wilayah-wilayah baru yang cukup signifikan.
Studi kasus masjid non wakaf di DKI Jakarta ini sangat mungkin tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di wilayah-wilayah lain di Indonesia. Artinya, bahwa problem kontroversi dan konflik yang terkait tanah masjid yang bukan wakaf, bisa saja akan terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia, seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan problem sosial.
Penutup
Temuan dan data-data yang dipaparkan pada tulisan ini memperlihatkan bahwa jumlah masjid/mushalla yang berdiri di atas tanah non wakaf itu cukup besar yaitu 294,020 atau sekitar 41%, dan ini bisa menjadi potensi terjadinya konflik dan kontroversi menyangkut status masjid. Karenanya ada beberapa catatan akhir yang perlu diperhatikan untuk pengadministrasian masjid dan wakaf ke depan.
1. Pembangunan masjid yang baru diharapkan mempertimbangkan status legalitas tanah. Sebaiknya masjid dibangun di atas tanah wakaf. Hal ini merupakan antisipasi awal yang lebih baik atas terjadinya persoalan hukum di kemudian hari, dan memagari masjid dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
2. Masjid yang sudah dibangun di atas tanah non wakaf agar didorong untuk diubah status hukumnya menjadi tanah wakaf. Terutama masjid-masjid yang berstatus masjid nasional, masjid propinsi, kabupaten, dan masjid desa. Hal ini untuk lebih melindungi status masjid terkait perubahan sosial dan politik baik di tingkat lokal maupun nasional. Perubahan status ini bukan berarti mengubah pengelolaan atas masjid tersebut. Pengelola masjid bisa dikonversi menjadi juga bertindak sebagai nazir wakaf dalam bentuk organisasi, bukan perorangan. Dalam hal ini, maka masjid yang dikelola oleh yayasan dan tanahnya belum berstatus wakaf, ketika diubah maka yayasan tersebutlah yang nantinya menjadi nazir wakaf tanah tersebut.
3. Pengadministrasian masjid dan wakaf masih jauh dari ideal. Padahal ini merupakan aset yang sangat potensial bagi pembangunan umat. Karena itu perlu ada proyek serius untuk melalukan pendataan ulang wakaf dan masjid.
Sepertinya, jauh kemungkinannya jika masjid-masjid besar berskala propinsi dan nasional akan ditukargulingkan atau dipindahkan seperti kasus-kasus yang disampaikan pada bagian pertama dalam tulisan ini. Hal ini karena stakeholder (pemangku kepentingan) masjid dimaksud adalah masjid besar, banyak jamaahnya dan juga stakeholdernya. Social and religious spheres yang terbentuk pada masjid-masjid yang ‘makmur’ dan aktif ini akan menjadi penghalang terjadinya perubahan status yang merugikan jamaah dan umat. Namun hendaknya jangan terlena, karena pada faktanya mayoritas masjid itu sepi dari kegiatan keagamaan. Hasil penelitian Kementrian Agama menunjukkan bahwa 89,9% atau bisa dibilang 90% dari total jumlah masjid di Indonesia ini sepi dari kegiatan keagamaan.[2] Karena itu penting ditambahkan upaya memakmurkan masjid melalui kenaziran wakaf yang pofesional, yang dapat pemproduktifkan aset wakaf untuk pengembangan sosial dan ekonomi masyarakat.
Karena itu tidak ada salahnya jika status hukum masjid ini diperkuat lagi dengan status hukum wakaf, karena akan memberikan double protection dari sisi hukum positif. Pengelolaan masjid pun diharapkan bisa lebih berkembangan dengan dikelola oleh sistem kenaziran wakaf yang independen dan professional.
[1]Pernyataan dari M. Suaib Didu yang dikutip oleh Republika, di “Alih Lahan Masjid Tak Bermasalah”, Republika 10 Mei 2011.
[2] Statemen bapak Dr. Rohadi Abdul Fatah, Direktur Pemberdayaan Zakat Kementrian Agama, dimuat di berita denga judul “89 persen Masjid Kini Sepi dari Kegiatan Keagamaan”, Antara, 19 November 2011.