Opini : Pengelolaan Risiko yang Mapan, Wakaf Terjaga Sepanjang Zaman
Penulis : Rindawati Maulina, ST, MT, MSc (Analis Bank Indonesia)
Dalam mengelola wakaf, Nazir akan berhadapan dengan beragam risiko. Kepedulian dan kapabilitas Nazir mengatasi risiko mencerminkan level profesionalitasnya. Sayangnya, masih banyak yang belum sadar dan paham sepenuhnya risiko dan bagaimana mengelolanya. Kecerobohan Nazir dalam mengelola dan memitigasi risiko bahkan dapat berdampak fatal bukan hanya pada keberlangsungan harta wakaf namun juga risiko reputasi berantai, yang dapat menggerus keyakinan dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga wakaf umat. Seberapapun gencarnya upaya sosialisasi dan edukasi wakaf, masyarakat tidak akan mudah tergerak jika keyakinan dan kepercayaan mereka belum terbangun lagi. Dukungan masyarakat dapat dikatakan penentu “hidup dan mati” nya sebuah lembaga sosial seperti lembaga wakaf.
Menimbang signifikansi dari dampak tersebut maka pengelolaan risiko wakaf di Indonesia menjadi salah satu area inti di dalam Waqf Core Principles (WCP), selain empat area inti lainnya seperti legal foundation, waqf supervision, good governance, dan sharia governance. Pemerintah mengamanatkan Badan Wakaf Indonesia (BWI) untuk memastikan konsep WCP terimplementasikan oleh seluruh Nazir dalam pengelolaan wakafnya. Topik manajemen risiko juga sudah masuk ke dalam agenda berbagai pelatihan untuk meningkatkan kompetensi Nazir.
Pelatihan yang telah diikuti oleh Nazir tentu harus diikuti dengan upaya nyata, salah satunya bertransformasi. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan transformasi sebagai perubahan rupa baik bentuk, sifat, fungsi dan sebagainya. Berangkat dari arti kata transformasi inilah, maka Nazir dan lembaga wakaf perlu memastikan bahwa implementasi pengelolaan risiko yang menyeluruh akan berbuah pada peningkatan efektifitas dan efisiensi. Transformasi harus diyakini bermanfaat untuk menuju pengelolaan wakaf yang lebih baik sehingga pada gilirannya akan memberikan dampak positif bagi kredibilitas dan reputasi Nazir serta Lembaga wakaf di mata publik.
Nazir harus memahami risiko yang dihadapinya dengan benar sehingga mampu mengidentifikasi berbagai tipe risiko secara tepat, terintegrasi dan memiliki kemampuan prediksi ke depan yang tinggi (forward looking). Alokasikan sumber daya yang lebih banyak pada pengelolaan risiko strategis dari program wakaf, yaitu risiko yang akan dihadapi pada level Lembaga, bukan lagi risiko individu Nazir. Komitmen yang tinggi dari seluruh jajaran pengelola wakaf akan menentukan keberhasilan pengelolaan risiko. Risiko strategis tentu akan terkait dengan perencanaan strategis, penganggaran strategis, dan audit internal strategis yang dimiliki oleh sebuah Lembaga wakaf. Inilah kenapa semua lini manajemen wakaf harus terintegrasi. Kemampuan prediksi ke depan (forward looking) adalah bagaimana Nazir dapat mendeteksi potensi ancaman dan peluang sehingga dapat membantu Lembaga dalam menetapkan strategi ke depan dengan lebih cepat dan tepat agar lebih relevan dengan situasi yang terus dinamis dan berkembang.
Dalam pengelolaan risiko, penetapan indikator risiko utama atau yang juga dikenal sebaga Key Risk Indicator (KRI) juga suatu proses yang penting. Apabila KRI ini dapat disusun ke dalam sebuah Dashboard KRI yang informatif dan mudah untuk segera diakses oleh para Nazir serta seluruh jajaran pengelola yang bertanggung jawab maka dapat dijadikan dasar bagi pengambilan keputusan yang prinsipil dan strategis. Dalam bahasa yang sederhana, KRI dapat dianalogikan seperti alarm yang siap berbunyi sebagai pengingat kemungkinan dan dampak dari risiko yang akan melebihi level yang dapat diterima oleh Lembaga wakaf (toleransi) sehingga dapat segera dilakukan tindakan mitigasi sebelum risiko betul-betul dapat terjadi. Dengan waspada terhadap sinyal yang disampaikan oleh indikator ini maka kemungkinan terjadinya risiko dapat diminimalisir dan tidak mengganggu pencapaian targettarget dari lembaga wakaf.
KRI memiliki sebuah ukuran yang berfungsi sebagai sistem peringatan dini (early warning system) jikaakan terjadinya peningkatan tekanan risiko (risk exposure) dalam area yang strategis di Lembaga wakaf. KRI ini tentu harus terukur, spesifik dan prediktif terhadap kemunculan risiko-risiko yang telah teridentifikasi. Selain itu harus dipastikan bahwa data KRI mudah diperoleh dan available setiap waktu. Hal ini menjadi tantangan di tengah data terkait wakaf yang masih membutuhkan penyempurnaan.
Bagaimana supaya Nazir dapat menentukan KRI yang tepat? Tentunya harus dapat mengidentifikasi terlebih dahulu sumber dari risiko itu sendiri. Sebagai contoh sederhana, Nazir dapat menghadapi risiko turunnya reputasi lembaga. KRI merupakan sinyal dari kemungkinan terjadinya risiko penurunan reputasi lembaga. Sumber dari risiko penurunan reputasi salah satunya yaitu dari penerima manfaat wakaf (mauquf’alaih). Sebelum reputasi lembaga benar-benar turun maka kita harus dapat menentukan KRI yang tepat berdasarkan sumber penerima manfaat wakaf tadi, yaitu contohnya jumlah laporan ketidakpuasan atas distribusi manfaat kepada mauquf’alaih. Setelah itu tetapkan batasan toleransi jumlah laporan yang tidak akan menyebabkan risiko reputasi menjadi kenyataan.
Nazir diharapkan semakin jeli dalam membaca kondisi sehingga dapat menetapkan langkah-langkah mitigasi yang dapat menyelamatkan lembaga dari berbagai ancaman risiko. Mengasah kapasitas dan kapabilitas pengelolaan risiko akan mendukung berbagai pencapaian tujuan dari wakaf, yaitu memberi manfaat yang seluas-luasnya untuk umat. Nazir adalah salah satu aktor sentral dalam pengelolaan wakaf yang harus siap menjadi pengawal risiko wakaf umat karena kelestarian harta wakaf haruslah lekang sepanjang zaman.