Tak sekadar sebagai tempat sujud, sebagaimana makna harfiyahnya, masjid di Indonesia merupakan pusat kegiatan sosial-keagamaan. Bahkan, Rasulullah Muhammad, 14 abad silam, menjadikan masjid sebagai pusat pemerintahan, markas militer, sentra pendidikan, dan juga ruang tawanan perang. Demikian diungkap Ismail Raji Al-Faruqi, pakar kebudayaan Islam asal Palestina. Karena itulah, masjid bak jangkar utama umat Islam. Jika jangkar itu diotak-atik, umat pun bertindak. Fenomena inilah yang belakangan menyita perhatian publik, soal kontroversi penggusuran rumah Ibadah.
Belakangan, kasus semacam ini terjadi di Medan, Sumatera Barat. Setidaknya ada dua masjid yang dirobohkan hampir berbarengan April lalu: Mesjid Raudhatul Islam di Medan Barat Kota Medan dan Masjid Al-Ikhlas di Jalan Timor Medan, Sumatra Utara. Pro kontra pun menggema. Untung saja, tak sampai menjurus pada tindakan anarkis. Peristiwa perobohan rumah ibadah di Indonesia, hemat saya, kebanyakan ditengarai oleh dua motif.
Pertama, dugaan adanya penyebaran aliran sesat, sebagaimana menimpa masjid-masjid milik Ahmadiah. Kedua, adanya alasan alih fungsi lahan, seperti yang dialami masjid Raudhatul Islam dan al-Ikhlas di Medan. Kedua motif tersebut, bagaimanapun tidak boleh dilakukan dengan semena-mena, tapi ada prosedur hukum yang telah ditetapkan dan harus dipatuhi. Atas dalih apapun, aksi kekerasan jelas tak dapat dibenarkan, baik dari sisi agama ataupun negara.
Memahami Motif Aksi
Soal motif pertama, kalau memang ada kelompok tertentu yang dicurigai bersalah karena menodai agama, satu misal, silahkan diajukan ke meja hijau. Begitu telah terbukti bersalah, pelakunya harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Jadi tidak perlu main hakim sendiri dengan “menghukum” (merusak dan merobohkan) tempat ibadahnya. Seandainya bertaubat, mereka bersama-sama dengan masyarakat setempat dapat memanfaatkan kembali tempat ibadah tersebut.
Dalam surat an-Nahl ayat 30 dan 125 Allah mengajarkan kepada umat manusia agar tidak berbuat kemungkaran (al-munkar) dan permusuhan (al-baghyu), tapi mengajak manusia ke jalan yang benar dengan cara yang santun dan penuh hikmah. Rasulullah juga menegaskan dalam riwayat imam al-Baihaqi, “Barang siapa yang memerintahkan sesuatu yang ma’ruf (kebaikan), maka hendaklah perintahnya dengan cara yang ma’ruf (baik) pula.”
Motif kedua, kisruh akibat alih fungsi lahan. Hal yang harus diperhatikan adalah status tanah. Masjid itu dibangun di atas tanah milik atau tanah wakaf? Ini harus dijernihkan terlebih dahulu. Jika masjid di bangun di atas tanah milik, wewenang penuh berada di tangan pemilik. Secara hukum, masjid tersebut mau diapakan ya terserah si pemilik, tidak ada sangkut pautnya dengan jamaah. Ketentuan ini mengacu pada pasal 20, UU No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Berarti, jamaah tidak punya suara dalam pengelolaan masjid di atas tanah milik pribadi.
Dengan begitu, bisa saja terjadi, misalnya masjid tersebut dijual oleh pemilik ke pihak lain, lalu dimanfaatkan untuk kepentingan bisnis yang tidak mengikat. Atau, bisa juga sertifikat tanah masjid tersebut dijadikan jaminan utang oleh pemilik. Bila ada masalah, masjid tersebut dapat disita. Inilah yang menjadi dilema, “Masak masjid sebagai tempat ibadah kok disita, dijual.”
Masjid Sebaiknya Wakaf
Karena itu, sebaiknya pemerintah membuat aturan tambahan ihwal syarat pendirian masjid, yaitu harus dibangun di atas tanah wakaf (Syairozy, al-Muhadzdzab). Ini untuk menghindari adanya bangunan tempat ibadah yang sudah lama dimanfaatkan oleh masyarakat, lalu berubah fungsi akibat ulah ahli waris yang ahistoris. Mengapa harus wakaf? Jelas, tanah wakaf itu bersifat abadi: tidak dapat dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, atau ditukar.
Bagaimana dengan kasus masjid Raudhatul Islam di Medan, bukankah berdiri di atas lahan wakaf, mengapa dapat ditukar? Aset wakaf sejatinya tidak dapat ditukar, kecuali jika dalam kondisi “terpaksa” atau dharurat (Nawawi, Mughni al-Muhtaj). Alasan terpaksa ini kemudian dijelaskan dalam UU No. 41/2004 dan PP. No.42/2006 menjadi empat poin utama. Pertama, jika tanah tersebut digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Kedua, tanah wakaf sudah tidak dapat lagi dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf.
Ketiga, pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak. Keempat, dari sisi tanah penukar. Nilai dan manfaat tanah penukar sekurang-kurangnya sama dengan tanah wakaf semula. Nilai tanah penukar ini diukur berdasarkan taksiran Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Selain itu, tanah penukar harus berada di wilayah yang strategis dan mudah untuk dikembangkan.
Untuk menjaga kehati-hatian, berdasarkan UU No. 41/2004, izin penukaran tanah wakaf dikeluarkan oleh Menteri Agama berdasarkan persetujuan dan rekomendasi dari Badan Wakaf Indonesia (BWI). Sebelum memberikan rekomendasi, BWI akan melakukan survei ke lokasi dan mendapat masukan dari tim penilai yang anggotanya terdiri dari unsur: pemerintah daerah kabupaten/kota, kantor pertanahan kabupaten/kota, Majelis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten/kota, kantor Departemen Agama kabupaten/kota, dan Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan. (Pasal 49 ayat 3, PP. 42/2006)
Urus Status Masjid
Jadi, bisa dibayangkan, betapa hati-hatinya alih fungsi masjid wakaf, yang sangat berbeda sekali dengan masjid di atas lahan milik pribadi yang dengan mudah berubah fungsi. Lalu, bagaimana kita menyikapi kasus masjid Raudhatul Islam? Status tanahnya sudah jelas wakaf, karena adanya Akta Ikrar Wakaf dan Sertifikat Wakaf. Karena itu, alih fungsinya pun tergantung keputusan Menteri Agama, memberikan izin atau tidak. Menag dengan tegas menyatakan telah memberikan izin. Begitu juga dengan BWI, juga telah memberikan rekomendasi.
Untuk masjid al-Ikhlas, hingga kini ada dua versi keterangan. Versi pertama mengatakan bahwa masjid tersebut milik Detasemen Hubungan Kodam (Denhubdam), dengan bukti sertifikat tanah. Versi yang lain mengatakan itu adalah tanah wakaf dengan bukti keterangan beberapa saksi. Secara hukum, masjid tersebut milik Denhubdam. Bukan masjid wakaf karena tidak adanya akta ikrar wakaf atau sertifikat wakaf.
Tapi, tidak menutup kemungkinan itu adalah masjid wakaf berdasarkan keterangan beberapa saksi. Hanya saja kelemahannya terletak pada ikar wakaf yang kemungkinan hanya dilakukan secara lisan, tidak dicatatkan pada Pejabat Pembuat Akta ikrar Wakaf, dalam hal ini adalah Kepala Kantor Urusan Agama. Maka, meskipun secara agama itu wakaf, tapi tidak diakui secara hukum.
Kejadian ini menjadi pelajaran kita bersama, masjid tempat kita ibadah sebaiknya berdiri di atas tanah wakaf, agar tidak ada masalah di kemudian hari. Kalau pun sekarang masih berstatus hak milik, ya sebaiknya pemilik melakukan ikrar wakaf di KUA terdekat dan mengganti sertifikat tanah dari hak milik menjadi sertifikat wakaf. Dengan begitu, ”rumah Allah” akan terlindungi dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.
Penulis : Abdullah Ubaid