Jakarta – Nazhir sebagai sumber daya manusia yang menangani wakaf nyatanya masih perlu diperbaiki. Tingkat kreativitas untuk mengembangkan usaha masih perlu digenjot. Pengelolaan wakaf produktif merupakan salah satu arus utama yang kini tengah digalakkan oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama RI bersama Badan Wakaf Indonesia (BWI).
“Kemenag terus membantu para nazhir di seluruh pelosok mengembangkan aset wakafnya secara produktif. Sayangnya, banyak yang masih belum berpikir tentang enterpreneurship,“ papar Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Prof Abdul Djamil.
Djamil menyadari jika latar belakang nazhir yang sebagian besar pemuka agama sedikit menghambat pertumbuhan wakaf produktif. Seharusnya, aset wakaf tidak hanya bermanfaat untuk kepentingan ibadah yang bersifat vertikal saja, tapi juga punya efek sosial-ekonomi.
“Saatnya kini mengubah paradigma lama wakaf di Indonesia menjadi paradigma baru, yaitu produktif bagi umat,“ ajak Djamil, seperti dimuat laman Kemenag, (23/11).
Selain mengembangkan unit-unit usaha pusat perekonomian, dia yakin, kelak aset wakaf bisa dimanfaatkan lebih variatif. Keinginannya, Direktorat Pemberdayaan Wakaf bisa membina hotel wakaf. Namun, Djamil menyadari kemampuan sumber daya manusia belum bisa karena kurangnya kemampuan berwirausaha.
“Hasilnya nanti diperuntukkan bagi kemaslahatan umat. Nazhir hanya dibagi 10 persennya,” paparnya.
Ketua Badan Wakaf Indonesia KH Tolhah Hasan menjelaskan, peran dan fungsi wakaf sebagai instrumen pengembangan ekonomi umat sangat besar manfaatnya. Tapi pengembangan wakaf produktif di Indonesia kurang dimaksimalkan dengan benar.
Akibatnya pengembangan dana wakaf masih kalah dibadningkan dengan negara negara lain di kawasan Asia Tenggara. Menurut dia titik lemah pengelolaan wakaf selama ini pada kualitas sumber daya manusia (SDM).
“Para nadzir atau pengelola wakaf yang profesional hanya berjumlah 30 persen, sementara 70 persen sisanya kurang profesional. Berdasarkan data ini wajar dalam pendayagunaan wakaf di Indonesia kurang produktif,” katanya.
Dibandingkan dengan Singapura yang penduduk muslimnya sangat kecil, pengelolaan wakafnya masih lebih besar dibandingkan Indonesia. “Masih tertinggal jauh,“ ungkapnya.
Kerja sama tiga lembaga dalam penyaluran dana wakaf dalam konteks mengembangkan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) dan Baitul Maal Wattamwil (BMT) sangat didukung mantan Menteri Agama tersebut. Sebab, langkah tersebut menciptakan produktivitas mendayagunakan wakaf sebagai instrumen kesejahteraan umat. Melalui kerja sama itu akan ada model sinergi antara ketakwaan dan kewirausahaan. [hidayatullah/insan]