Peran Perempuan dan Perluasan Budaya Wakaf

 

“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh mengerjakan yang baik dan mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS al-Taubah: 71).

 

 

Terdapat sebuah asumsi umum bahwa perempuan di dunia Islam adalah dalam keadaan pasif dan bergantung pada kaum laki-laki. Sejarah Islam punya andil di dalam memupuk serangkaian pencitraan, seperti pada kisah Seribu Satu Malam dan karya-karya awal para orientalis. Hal ini menyebabkan status perempuan pada posisi negatif dan rentan di hadapan realitas kontemporer. Sesuai dengan laporan yang disampaikan kepada PBB, perempuan muslimah menderita marjinalisasi historis yang berakar pada struktur budaya Islam. Marginalisasi ini dinyatakan di bidang pembangunan dan dikecilkan partisipasinya dalam sumber daya ekonomi. Kemajuan perempuan harus diintegrasikan ke dalam proses pembangunan ekonomi karena merupakan satu-satunya cara untuk memperbaiki situasi yang ada.

 

Dalam rangka menggambarkan peran perempuan dalam berbagai bidang, sepanjang sejarah Islam perempuan memiliki kontribusi besar di bidang perwakafan. Pengembangan wakaf di Indonesia diarahkan untuk menunjang perekonomian umat. Hal ini terbukti dari semakin pesatnya gerakan wakaf dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Undang-undang ini antara lain mengatur tentang wakaf tunai, yaitu benda wakaf berupa aset produktif berupa uang, surat berharga, deposito, hak cipta intelektual, dan lain-lain yang bernilai. Dengan demikian, potensi wakaf dan zakat sebagai sumber pemasukan bagi program-program ekonomi berdasarkan syariah pada masa yang akan datang diharapkan meningkat dan dapat diandalkan untuk menyejahterakan rakyat.

 

Menelusuri sejarah pelaksanaan wakaf oleh umat Islam, khususnya bagi kaum perempuan, perlu diungkap landasan hukum Islam tentang perwakafan. Dalam sejarah Islam, wakaf dikenal sejak masa Rasulullah saw karena wakaf disyariatkan setelah Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah pada tahun kedua Hijriah. Ada dua pendapat yang berkembang di kalangan fukaha tentang siapa yang pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Menurut pendapat sebagian ulama bahwa yang pertama kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah saw, ketika ia mewakafkan tanahnya untuk dibangun masjid.

 

Wakaf adalah tindakan menahan harta yang dapat dimanfaatkan dan harta tersebut  tidak berkurang dengan mengkhususkan keuntungannya dalam bentuk transaksi yang dibolehkan atau bentuk kebajikan dan bakti sosial demi mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Dengan transaksi ini harta tersebut tidak dalam kepemilikan harta pewakif dan menjadi benda wakaf yang dijadikan milik Allah Swt. Pewakif dilarang mentransaksikan benda yang diwakafkan dan harus mendermakannya. Argumentasi hukum dari proses wakaf dapat dilihat dari dalil berikut.

 

Hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar bin al-Khattab menggambarkan bahwa Umar mendapat bagian tanah di Khaibar, lalu ia bertanya, “Ya Rasulullah, saya mendapat tanah di Khaibar, dan saya sama sekali belum pernah memiliki harta sebaik itu. Maka apa yang engkau perintahkan untukku?” Rasulullah saw menjawab, “Jika engkau mau, engkau tahan pokoknya dan sedekahkan manfaat darinya.” Maksud dari hadis tersebut adalah bahwa Umar kemudian menyedekahkan keuntungan dari tanah tersebut dan tidak menjual, menghibahkan, maupun mewariskannya kepada keluarganya. Hasil dari pengolahan tanah diberikan kepada fukara, kerabat, budak, tamu, dan ibnussabil/pengembara. Pengelola wakaf diperbolehkan memakan bagian darinya dengan cara yang legitimate atau makan dengan tanpa bermaksud memperkaya diri.[1]

 

Hadis ini menunjukkan larangan bertransaksi dengan benda yang diwakafkan. Makna tersebut diperoleh dari kata al-habs, yang artinya melarang dan menahan, yakni melarang sebuah benda menjadi hak milik seseorang dan menjadi obyek transaksi kepemilikan[2]. Akan tetapi, dapat diperhatikan di sini bahwa hadis ini tidak menunjukkan keluarnya harta yang diwakafkan dari kepemilikan pewakif. Para nabi dan umat selanjutnya, baik perempuan maupun laki-laki, sampai sekarang melakukan wakaf dengan tujuan kebaikan dan melarang pewakif dan lainnya untuk menjualnya.

 

Perkembangan Wakaf dari Sejarah Islam

Wakaf yang dilakukan oleh kaum perempuan pada awal Islam bersifat terbatas, yakni hanya penyediaan perumahan bagi yang membutuhkan atau perhiasan untuk pembiayaan sosial. Tetapi, pengembangan wakaf kemudian telah menunjukkan indikasi kemajuan sejalan dengan bertambahnya peran perempuan di dalam masyarakat Islam.

 

Pada masa Dinasti Abbasiyah, gerakan wakaf perempuan lebih maju dari sebelumnya. Dinasti ini didirikan pada tahun 132 H/749 M, sebuah negara yang terus memimpin dunia Islam dalam kurun waktu lima abad dan menguasai berbagai belahan dunia. Masa ini memberikan banyak informasi dan data pewakif perempuan, baik dari kalangan keluarga khalifah maupun istri dan ibu mereka, atau kaum budak dan anggota masyarakat lainnya.

 

Sejarah mencatat bahwa Helena budak Khalifah Abbasiyah al-Mansur (136-185 H/753-801 M) telah membangun kolam di sisi timur Baghdad dan mewakafkannya. Ibunda Khalifah al-Amin (193-198 H/809-813 M), bernama Zubaidah (w. 216/831 M), digambarkan sebagai seorang filantrofis yang terkenal banyak melakukan bakti sosial, seperti membangun kolam, sumur, waduk di Mekkah, dan menggali mata air al-Masyasy di utara al-Hijaz. Zubaidah menyediakan saluran air bersih untuk minum para jemaah haji yang dibangun dengan panjang dua belas mil ke Mekah dan Arafat. Ketika sudah dekati waktu haji, saluran tersebut diisi dari mata air dari Mekkah dan mengalir ke Arafat. Terdapat beberapa kolam yang dibangun oleh Zubaidah yang menampung air untuk kemudian dialirkan dari sekeliling Jabal Rahmah, sehingga saluran mengelilingi pegunungan sampai Muzdalifah, dan kemudian memutar kembali ke Mekkah. Air di kolam-kolam juga diperuntukkan untuk minum hewan. Biaya proyek besar ini dahulu adalah senilai 1.700.000 keping emas. Para jemaah umrah dan haji hingga kini dapat melihat peninggalan saluaran air yang dibangun Sayyidah Zubaidah yang menandakan kejayaan peradaban Islam

 

Zubaidah telah membeli kebun-kebun di sekitar Hunain dan mewakafkannya. Ia mengkhususkan hasil pendapatannya untuk menyediakan air minum bagi para peziarah dan jemaah haji. Ia mewakafkan banyak bangunan dan kebun, sehingga penghasilannya di masa kini bisa mencapai  1.621.320 riyal per tahunnya. Dari dana inilah disiapkan biaya operasional dan pemeliharaan sarana mata air Zubaidah beserta fasilitas lainnya.

 

Ibunda Khalifah al-Muqtadir (w. 321/942 M) telah mewakafkan rumah sakit pada tahun 306/918 M yang terletak di kawasan pasar Yahya di tepi Sungai Tigris di Baghdad. Pengeluaran untuk rumah sakit ini per bulannya adalah 600 dinar. Inilah sebabnya mengapa Khalifah al-Muqtadir kemudian membangun rumah sakit dengan menggunakan namanya di Bab al-Syam.
Tradisi intelektual Islam berlanjut terus pada era kekuasaan Dinasti Fathimiyah. Seiring penaklukan Mesir oleh panglima perang Fathimiyah bernama Jawhar al-Shiqilli di masa pemerintahan al-Mu’izz li Dinillah, Dinasti Fathimiyah membangun ibu kota baru bernama Kairo. Di sana Jawhar membangun istana, kompleks pemerintahan, dan yang terpenting adalah Masjid Al-Azhar. Masjid Al-Azhar kemudian berkembang menjadi universitas dan pusat penelitian ilmu pengetahuan yang bertaraf global. Al-Azhar juga terus berkembang menjadi lembaga wakaf yang besar untuk mendukung proses pendidikan para siswa dan mahasiswa Muslim dari seluruh kawasan dunia di masa kini.

 

Di era Dinasti Fatimiyah, para perempuan telah menikmati kesadaran dan pemahaman untuk meningkatkan gerakan berwakaf. Kaum perempuan di zaman ini berkontribusi bersama dengan kaum pria dalam mendirikan perpustakaan, pusat kajian ilmiah. Secara khusus di zaman ini banyak dari kaum perempuan yang mewakafkan masjid yang memiliki peran utama penguatan bidang pendidikan dan kajian ilmiah. Sebuah masjid dan fasilitas yang luas dibangun oleh Taghreed istri Khalifah dan ibu Khalifah al-Aziz Billah. Masjid al-Qarafah ini merupakan masjid kedua didirikan oleh Dinasti Fatimiyah di Mesir setelah masjid Al-Azhar. Istri Khalifah al-Amir bi Ahkamillah pada tahun 527/1132 mmembangun masjid yang disebut pada prasastinya “Ini adalah makam Sayidah Ruqayyah putri Khalifah Ali ibn Abi Thalib”.

 

Selain itu perempuan muslimah dari kawasan al-Maghrib telah memberikan kontribusi di dalam membangun peradaban besar Islam di Afrika Utara, yakni pendirian pusat penghafalan Al-Quran dan pengembangan ilmu pengetahuan dari harta warisan Fatimah al-Fahriyyah. Ialah peletak dasar bagi Universitas al-Qarawiyyin di kota Fez. Keikhlasannya di dalam pengelolaan lembaga pendidikan dengan cara berwakaf menjadikan lembaga besar di kemudian hari.

 

Perkembangan pesat gerakan wakaf berada di zaman Dinasti Mamluk (1258-1517 M) di mana kaum perempuan dari golongan Mamluk memiliki harta berlimpah dan mereka gemar berinfak fi sabilillah. Bahkan mereka mengelola kekayaan mereka sendiri. Di antara penyebab kemajuan di zaman ini adalah bahwa Dinasti Mamluk telah melanjutkan kemajuan ilmu pengetahuan pada era-era sebelumnya, terutama karena beberapa faktor sebagai berikut: a) cendekiawan dan ulama sangat dihormati baik oleh masyarakat maupun penguasa; b) para penguasa mengembangkan ilmu dan gemar menuntut ilmu apa pun; c) perjalanan dan petualangan ilmu dilakukan demi memperkaya khazanah intelektual umat Islam; d) perpindahan para cendekiawan Muslim dari berbagai kawasan dunia Islam ke Mesir karena dianggap lebih kondusif untuk perkembangannya ilmu pengetahuan; e) adanya gerakan wakaf produktif yang gencar. Di masa ini berkembang berbagai pusat dan lembaga ilmu seperti maktab/kuttab, madrasah, masjid, rumah sakit, pertemuan ilmiah di rumah para elit Mamluk, serta merebaknya penerbitan buku dan toko kertas (hawanit al-warraqin).

 

Di zaman Mamluk inilah tercatat 30 persen dari para administrator wakaf atau nazir adalah perempuan. Mereka telah dipercaya oleh para penguasa Mamluk dan kadi untuk mengelola harta wakaf.[3] Para kadi dari mazhab Syafii diserahkan oleh penguasa Mamluk wewenang untuk mengawasi pelaksanaan wakaf, santunan bagi para yatim piatu, dan kasus-kasus sosial yang muncul dari kepengurusan baitul mal.

 

Pengelolaan Wakaf pada Masa Dinasti Mamluk

Pada abad pertengahan pengelolaan wakaf di masa Dinasti Mamluk sudah mengalami kemajuan. Lembaga administratif yang mengelola wakaf disebut Diwan al-Ahbas dan  menangani masalah perwakafan di kedua wilayah, Mesir dan Syam, yang sepadan dengan kementerian perwakafan di dunia Islam masa kini. Tugasnya adalah mengawasi dan membina masjid, musala, riba’, zawiyah, madrasah, tanah, dan bangunan yang diwakafkan, menyalurkan sedekah kepada fakir, miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Orang yang tanggung jawab atas penanganan harta wakaf adalah para kadi.[4]

 

Pada masa Dinasti Ayyubiah, selain yang diwakafkan itu berupa lahan-lahan pertanian, Sultan Salahuddin al-Ayyubi juga mewakafkan tanah-tanah milik baitul mal yang hasilnya diperuntukkan kepada lembaga-lembaga sosial dan keagamaan. Tindak mewakafkan tanah baitul mal ini bukan dinyatakan sebagai wakaf yang sebenarnya karena pemberian harta wakaf harus berasal dari pemiliknya. Akan tetapi, hal ini dilakukan demi menjamin alokasi dana khusus bagi lembaga-lembaga sosial dan keagamaan.[5]

 

Pada masa Dinasti Mamluk urusan-urusan kantor perwakafan menjadi kompleks, sehingga harus dibagi menjadi tiga kategori, yakni urusan penggajian atau ar-rizq, wakaf sosial atau al-auqaf al-hakimah, dan wakaf pribadi atau al-auqaf al-ahliyyah.

1.   Al-Ahbas yang menangani masalah al-rizq atau penggajian yang diurus oleh ad-dawadar, nazhir al-khass dan para pegawainya. Mereka bertugas menyalurkan sumbangan dana yang diperoleh dari tanah perkebunan yang diwakafkan untuk bermacam-macam kepentingan, misalnya pengelolaan masjid-masjid, gereja, dan sinagog;[6] santunan keluarga para alim ulama yang dapat diwariskan dari orang tua ke anak-anak;[7] serta gaji para prajurit dan dana pensiun atau ar-rizq al-jaisyiyyah. Al-Qalqasyandi menyebutkan bahwa sering kali sultan Mamluk sendiri mengawasi beroperasinya Diwan al-Ahbas karena kelancarannya sangat diharapkan oleh banyak kalangan, termasuk untuk pembayaran gaji bagi para pelayan dan santunan bagi orang jompo dan hamba sahaya.[8]

2.   Al-Auqaf al-hakimah atau al-khairiyyah maksudnya adalah harta yang diwakafkan untuk penyediaan dana bagi kedua masjid suci di Mekkah dan Madinah, dan digunakan pula untuk penebusan para tawanan perang. Yang berhak juga menerima dana yang diperoleh dari wakaf sosial ini adalah kaum al-asyraf (keturunan Nabi Muhammad saw), fukaha dari keempat mazhab, para sufi, fakir miskin, orang sakit, orang gila, penguburan jenazah, dan pembangunan pelabuhan dan jembatan serta membangun masjid dan sekolah. Tugas ini dilakukan di bawah pengawasan hakim agung dari mazhab Syafii. Ia dibantu oleh dua orang dengan nama jabatan nazir al-auqaf; seorang bertugas menangani perwakafan di wilayah Kairo dan seorang lagi menangani urusan di wilayah Mesir lainnya. Mereka memperkerjakan banyak petugas dan pegawai pengumpul hasil dari harta wakaf. Mereka juga memperoleh honorarium atas jasa pengawasan mereka terhadap harta wakaf.[9]

3.   Al-Auqaf al-ahliyyah adalah gabungan antara al-waqf al-ahli dan al-waqf al-hakimah. Pejabat yang dapat dipilih untuk menanganinya adalah dari para pewakif harta (pemberi wakaf) dari kalangan petinggi Mamluk atau petugas lain yang ditunjuk oleh sultan. Tugasnya adalah mengawasi pelaksanaan perwakafan pribadi yang berbentuk toko-toko, sekolah, masjid, dan tempat-tempat pemakaman. Harta yang diperoleh dari wakaf ini sangat banyak mengingat para sultan Mamluk gemar mewakafkan hartanya yang berupa tanah-tanah perkebunan guna membiayai pembangunan sekolah-sekolah dan khanqah,[10] serta pusat-pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan fasilitas umum lainnya.[11]

 

Perlu diketengahkan pula bahwa banyak dari tanah-tanah wakaf yang tidak langsung diwakafkan oleh pemiliknya, namun dikeluarkan perintah wakafnya oleh sultan melalui para kadi. Tanah-tanah ini berasal dari tanah feodal yang dibagi-bagikan kepada para amir Mamluk untuk dikelola. Hal ini tidak sesuai dengan syarat-syarat perwakafan mengenai para pewakif sendirilah yang dengan ikhlas mewakafkan hartanya. Namun para ulama membolehkannya demi maslahat umum yang ada di dalamnya, baik untuk membayar gaji para pegawai maupun untuk membiayai peperangan yang banyak. Dengan demikian, banyak tanah yang berubah status dari pemilik pribadi menjadi tanah yang hasilnya diwakafkan dan dipergunakan untuk membiayai fasilitas-fasilitas sosial.[12]

 

Perwakafan di Mesir dan Syam sangat penting artinya bagi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di masa Dinasti Mamluk. Pada saat ekonomi dan kekuasaan politik para sultan Mamluk maju karena menerapkan sistem feodal, ketika itu pula keinginan untuk beramal jariah tumbuh pesat. Akhirnya banyak dari lahan-lahan pertanian yang tidak lagi dimanfaatkan oleh pemiliknya, namun diberikan kepada yang memerlukan. Pemindahan status tanah dari feodal ke sistem wakaf telah berdampak pada berkurangnya pemasukan negara dari jalur pajak tanah dan pertanian (al-kharaj). Memang ada kesan bahwa para sultan di akhir masa pemerintahan Dinasti Mamluk, pada masa Sultan Qayitbai misalnya di masa krisis ekonomi dan politik berusaha memiliki harta negara menjadi milik pribadi, dengan berupaya membeli tanah baitulmal misalnya atau dengan cara yang lain.[13] Akan tetapi, hal ini tidak dapat menghilangkan kenyataan tingginya keinginan berwakaf pada kalangan Mamluk hingga tercatat pada awal masa penguasaan Turki Usmani sebesar 40% dari wilayah Mesir merupakan tanah wakaf.[14]

 

Melihat luasnya tanah yang diwakafkan, dari segi pengadministrasiannya juga sudah dapat dibayangkan betapa rumit urusannya dan melibatkan banyak personil. Seperti telah disebut terdahulu bahwa nazhir al-auqaf berada pada puncak struktur organisasi Diwan al-Ahbas. Ia bertugas mengawasi proses perwakafan secara menyeluruh dan melakukan investasi terhadap harta yang diperoleh. Di samping itu, ia harus dapat mengelola harta wakaf seperti apa yang diharapkan oleh para pewakif. Menurut kebiasaan di masa Dinasti Mamluk, pewakif sendirilah yang menjadi nazir wakafnya selama hayatnya sebagaimana mazhab Syafii dan Hanafi. Apabila ia meninggal, maka keturunan atau sanak familinya dan hamba sahaya yang sudah dimerdekakan yang menggantikan. Di kala lain, nazhir bisa ditunjuk dari kalangan para amir yang menggantikan pewakif pertama di jabatan strukturalnya. Terkadang pula nazhir merupakan gabungan antara salah satu amir dengan anak-anak sang pewakif atau hamba merdeka.[15]

 

Adapun pegawai perwakafan lain disyaratkan menguasai seni tulis-menulis, ilmu hitung, pembukuan hasil pemasukan dan pengeluaran dari lahan wakaf, mempunyai harga diri yang tinggi, keterampilan tertentu, dan jujur. Pegawai-pegawai perwakafan di masa Mamluk adalah al-mubasyir (pengawas), al-katib (al-‘amil), asy-syadd (penilik), al-musyarif, al-jabi (pengumpul), kasir, asy-syahid (saksi), al-barddar (pegawai pos), al-muhandis (tehnisi), syahid al-‘imarah (ahli bangunan), dan al-murakhkham (tukang pasang ubin dan marmar).[16] Terlihat bahwa orang-orang yang berurusan dengan wakaf termasuk para teknisi dan yang mempunyai keterampilan khusus. Pada waktu-waktu normal mereka semua mendapatkan upah dari hasil wakafnya, baik berupa uang maupun. Bahkan terdapat hadiah insentif atau bonus bagi mereka yang berhasil mendatangkan keuntungan yang besar bagi wakaf yang dikelolanya. Namun, pada saat-saat tertentu ada yang tidak mendapatkan upah. Sering terjadi pula ada yang mendapatkan upah ganda karena memegang dua atau tiga jabatan sekaligus. Misal dari hal yang disebut terakhir ini adalah ketika seseorang dawadar kabir menjadi nazir al-auqaf dan lain sebagainya. Di sisi lain, orang-orang yang diberi wakaf banyak pula yang merangkap profesi, seperti seorang menjadi imam masjid, muazin, guru, dan pengelola surau; akibatnya ada pihak-pihak memperoleh banyak penghasilan.

 

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem perwakafan yang demikian maju dan teratur di zaman Dinasti Mamluk memiliki kelemahan-kelemahan yang akhirnya dapat merusak sistem administrasi perwakafan itu sendiri. Kelemahan pertama adalah kemungkinan diwariskannya jabatan di dalam administrasi perwakafan, sehingga terkesan bahwa wakaf adalah bisnis keluarga karena dianjurkan waktu itu agar pewakif menjadi nazir. Di samping itu, kecenderungan menunjuk ahli waris sebagai pewakif dan fungsi lain dalam menangani wakaf keluargannya menandakan bahwa pemasukan dari jabatan-jabatan ini besar, sehingga mereka tidak ingin melibatkan orang banyak. Sistem pewarisan jabatan ada pula pada lembaga-lembaga keuangan dan administratif lainnya. Kelemahan kedua yang dapat dilihat adalah tidak diperhatikannya lagi profesionalitas.[17] Orang-orang yang semestinya kompeten menangani pengelolaan wakaf tidak dilibatkan. Sistem ini merambat ke pranata-pranata sosial lain di bidang pendidikan, keagamaan, dan administrasi atau birokrasi.

 

Dalam Dinasti Usmani, kantor-kantor pemeritahan dan organisasi sosial menaruh perhatian dalam melakukan program kesejahteraan sosial, khususnya di panti-panti sosial keagamaan. Beberapa organisasi perempuan aktif dalam kerja sosial untuk meningkatkan perberdayaan, kedudukan, dan kesejahteraan perempunan.

 

Sejarah Perkembangan Wakaf di Indonesia

Dengan asas kebangsaan di dalam UUD 1945 Pasal 9 ayat (2) bahwa: “Tiap-tiap warga Negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya”. Oleh karena itu, perlu diadakan perlindungan bagi golongan warga Negara yang lemah terhadap sesama warga Negara yang kuat kedudukan maupun ekonominya. Di dalam Pasal 26 ayat (1) ditentukan bahwa: “Jual beli penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah, seperti PP No. 28 Tahun 1977 tentang Wakaf Tanah Milik. Pelaksanaan perwakafan harus dilakukan secara tertulis dan tidak cukup hanya dengan ikrar lisan. Tujuannya adalah untuk memperoleh bukti yang otentik yang dapat dipergunakan untuk berbagai persoalan seperti untuk bahan-bahan pendaftaran pada kantor Sub Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya, dan untuk keperluan penyelesaian sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari tentang tanah yang diwakafkan.

 

Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk di Indonesia.  Sejak masa dahulu praktek wakaf ini telah diatur oleh hukum adat yang sifatnya tidak tertulis dengan berlandaskan ajaran yang bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda dalam menyikapi praktek dan banyaknya harta benda wakaf telah dikeluarkan berbagai aturan yang mengatur tentang persoalan wakaf Pada tahun 1922 telah terdapat wakaf di seluruh Nusantara, mulai dari Aceh, Gayo, Tapanuli, Jambi, Palembang, Bengkulu, Minahasa, Gorontalo, Lombok, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Nama dan benda yang diwakafkan berbeda-beda. Di Aceh disebut wakeuh, di Gayo disebut wokos, di Payakumbuh disebut ibah. Benda yang diwakafkan ada yang berbentuk benda tidak bergerak seperti sawah, tanah kering, masjid, langgar, rumah, kebun karet, kebun kelapa dan benda bergerak seperti Al-Quran, sajadah, dan batu bata.[18]

 

Aset wakaf di Indonesia lebih banyak berbentuk tanah dan biasanya dipakai untuk kuburan, masjid dan madrasah, dan sedikit sekali yang didayagunakan secara produktif. Pengelolaan wakaf di Indonesia mengalami masa yang cukup panjang. Terdapat tiga periode besar pengelolaan wakaf di Indonesia. Pertama, periode tradisional. Wakaf dianggap sebagai ajaran agama murni yang dimasukkan dalam kategori ibadah mahdhah di mana hampir semua benda wakaf diperuntukkan untuk kepentingan pembangunan fisik, seperti masjid, mushalla, pesantren, perkuburan, yayasan dan sebagainya. Keberadaan wakaf pada periode ini memberikan kontribusi sosial yang luas karena hanya banyak pihak yang merasakan langsung dana bantuan dari wakaf dan pula untuk kepentingan yang bersifat konsumtif.

 

Kedua, periode semi profesional. Pengelolaan wakaf dilakukan hampir sama dengan periode tradisional, namun pada masa ini sudah mulai dikembangkan pola pemberdayaan wakaf secara produktif meskipun belum maksimal. Sebagai contoh adalah pembangunan masjid-masjid yang letaknya strategis dengan menambah bangunan gedung untuk pertemuan, pernikahan, dan acara lainnya seperti masjid Sunda Kelapa dan Pondok Indah di Jakarta.

 

Ketiga, periode professional. Pada periode ini potensi wakaf sudah mulai dilirik untuk diberdayakan secara profesional-produktif. Profesionalisme yang dilakukan meliputi aspek manajemen, SDM kenazhiran, pola kemitraan usaha, bentuk benda wakaf bergerak seperti uang, saham dan surat berharga lainnya. Terdapat political will dari pihak pemerintah secara penuh di dalam pengelolaan wakaf, salah satunya lahirnya UU Wakaf No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf dan Fatwa Majlis Ulama Indonesia tahun 2002 tentang legalitas dan dibolehkannya wakaf uang.[19]

 

Di satu sisi, telah banyak terjadi perkembangan di bidang wakaf. Saat ini masyarakat miskin Indonesia telah merasakan manfaat wakaf dengan memanfaatkan layanan kesehatan cuma-cuma oleh Dompet Dhuafa yang dibangun 2002 melalui dana wakaf yang dihimpun oleh lembaga Tabung Wakaf Indonesia. Wakaf tunai pun telah memberikan kesempatan bagi masyarakat miskin untuk belajar dan bekerja melalui investasi wakaf.

 

Di sisi lain, tanah wakaf masih banyak yang belum memperoleh Akta Ikrar Wakaf dan menganggap bahwa tidak begitu pentingnya pensertifikatan tanah wakaf. Sebab lain dari  keengganan mereka adalah karena prosesnya yang berbelit-belit. Pendaftaran tanah perwakafan sangat penting artinya, baik ditinjau dari segi tertib hukum maupun dari segi administrasi penguasaan dan penggunaan tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan telah didaftarkan dan dicatatnya, wakaf tersebut dan sertifikat tanah hak milik yang diwakafkan, maka tanah wakaf itu telah mempunyai alat bukti yang kuat.

Penutup

Kehidupan sosial dibangun pada umumnya di dunia Islam untuk kehidupan sosial yang dilandaskan atas hukum-hukum Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan sunah Nabi Muhammad saw. Ajaran Islam dan khususnya wakaf memberi penekanan penting pada prinsip keadilan dan asas solidaritas, sehingga gerakan-gerakan sosial yang diselenggarakan merupakan gerakan-gerakan yang diperjuangkan setia umat Islam sebagai ungkapan iman kepada Allah.

 

Dari catatan sejarah diperoleh semangat untuk generasi yang hidup di zaman modern ini untuk lebih berupaya menyusun undang-undang serta menngalang dana wakaf guna menghilangkan kemiskinan dan kebodohan. Semoga di masa yang akan dating kaum peremuan juga lebih banyak berwakaf dan berpegang erat pada soldaritas umat Islam dan bangsa Indonesia secara umum.[]

 

*) Ditulis oleh Amany Lubis, Guru Besar Sejarah Politik Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

 

**) Artikel dimuat di jurnal al-Awqaf, Vol. 5, No. 1, Januari 2012

 

Editor: Nurkaib

 

 


[1] Asy-Syaukani, Nail al-Authâr (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.),  j. 6, h. 127.

[2] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh (Beirut: Dar al-Fikr, 2008),  j. 8, h. 154.

[3] Amany Lubis, Hermawati, dan Nurhasan, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 168.

[4] Amany Lubis, Hermawati, Nurhasan, Sejarah Peradaban Islam, h. 157-158.

[5] Muhammad Muhammad Amin, Al-Auqâf wal-Hayah al-Ijtimâ‘iyyah fi Misr Dirasah Târîkhiyyah Watsa’iqiyyah (Kairo: Dar an-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1980), h. 61.

[6] Muhammad Muhammad Amin, Al-Auqaf, h. 109.

[7] Al-Qalqasyandi, Subh al-A‘sya fi Sina‘ah al-Insya (Kairo: Wizarah ats-Tsaqafah wa al-Irsyad al-Qaumi, t.t.), j. 4, h. 51. Lahan yang diberikan sebagai gaji bagi para alim ulama dan fakih bersifat wakaf sementara karena apabila ahli waris orang yang mendapatkannya sudah tidak ada lagi, maka lahan tersebut kembali ke baitulmal. Lihat Muhammad Muhammad Amin, Al-Auqaf, h. 109.

[8] Al-Qalqasyandi, Subh al-A‘sya, h. 38.

[9] Untuk penjelasan lebih lanjut lihat Muhammad Muhammad Amin, Al-Auqaf, h. 113-116.

[10] Khanqah dengan bentuk jamak khawaniq berasal dari bahasa Persia yang artinya rumah, kemudian dipergunakan sebagai tempat penampungan orang-orang yang gemar beribadah atau tempat para sufi yang miskin yang datang dari berbagai wilayah.

[11] Fasilitas umum yang diwakafkan di masa Dinasti Mamluk meliputi hal-hal yang tidak dapat dipindahkan (al-‘aqar) dan yang dapat dipindahkan (al-manqul). Selain tanah pertanian, yang biasa diwakafkan adalah rumah, istana, sekolah, panti asuhan anak yatim, toko, kantor, penginapan, surau, kedai, tempat minum bagi musafir dan hewan, penggilingan biji-bijian, pabrik minyak makan, pemeras tebu, pembakaran roti, pemandian umum, gudang hasil bumi, pabrik sabun dan tekstil, peternakan unggas, pabrik sagu dan amoniak, ladang gembalaan, dan lain-lain. Contoh dari yang dapat berpindah untuk diwakafkan adalah para hamba sahaya, istri-istri, dan anak-anak mereka yang ditugasi mengelola masjid atau sekolah. Muhammad Muhammad Amin, Al-Auqaf, h. 101.

[12] Contoh dari keperluan yang meningkat dari kalangan militer adalah ketika Sultan al-Guri berusaha mencari dana pemasukan negara dengan jalan menjual tanah-tanah baitul mal. Berdasarkan akte wakaf (watsiqah atau hujjah waqf) atas nama Sultan al-Guri, prosedur yang dilakukan ialah dengan mewakilkan penjualan tanah tersebut kepada orang lain, yakni kepada nazir al-khawas dan kepala baitul mal. Setelah dibeli oleh pihak ketiga dari kalangan istana kesultanan, tanah tersebut diambil alih oleh al-Guri untuk diwakafkan yang hasilnya bisa untuk membayar gaji-gaji. Dari suatu penelitian dokumen di badan perwakafan Mesir, dinyatakan bahwa terdapat lebih dari 200 akta wakaf ditemukan atas nama Sultan al-Guri. Disarikan dari Muhammad Muhammad Amin Al-Auqaf, h. 91 dan 300-302.

[13] Carl F. Petry, Protectors or Praetorians? the Last Mamluk Sultans and Egypt’s Waning as a Great Power (New York: State University of New York, 1994), h. 161.

[14] Muhammad ‘Afifi, Al-Auqaf wal-Hayah al-Iqtishadiyyah fi Mishr fil-‘Ashr al-‘Utsmani (Kairo: al-Haiah al-‘Ammah lil-Kitab, 1999), h. 9.

[15] Muhammad ‘Afifi, Al-Auqaf wal-Hayah al-Iqtishadiyyah, h. 304.

[16] Amany Lubis, Sistem Pemerintahan Oligarki dalam Sejarah Islam (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), Cet. Kedua, h. 180.

[17] Amany Lubis, Sistem Pemerintahan Oligarki dalam Sejarah Islam, h. 181.

[18]Imam Suhadi, Wakaf untuk Kesejahteraan Umat (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2002), h., 38.

[19]Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Bunga Rampai Perwakafan (Jakarta: Departemen Agama, 2006), h. 21-22.

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *