Kemitraan Usaha dalam Wakaf Produktif

Oleh H. Sirodjul Munir, Bendahara Badan Wakaf Indonesia

Wakaf adalah permasalahan yang sudah lama dikenal masyarakat, bahkan sejak generasi pertama dikenalnya peradaban manusia. Al-Quran menyebutkan bahwa Ka‘bah adalah harta wakaf pertama di dunia yang dibangun oleh Nabi Adam AS, direnovasi oleh Nabi Ibrahim AS dan anaknya Nabi Ismail AS, dan akhirnya sampai ke zaman Nabi Muhammad SAW dan umatnya saat ini. Allah SWT berfirman dalam surah Ali ‘Imran (3:96), “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia”.

 

Ahli Kitab mengatakan bahwa rumah ibadah yang pertama dibangun berada di Baitul Maqdis. Oleh karena itu, Allah SWT membantahnya. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan memiliki sifat alamiah menyukai kebaikan. Dengan perilaku alamiah ini, manusia membentuk masyarakat dan pada akhirnya timbullah perbuatan wakaf dari sebagian masyarakat yang care dengan lingkungan sekitarnya, di samping merupakan ajaran seluruh agama samawi di dunia.

Wakaf yang dikenal pada masa tersebut masih dalam bentuk wakaf tradisional untuk tempat ibadah, dan ada untuk sedikit kesejahteraan bagi orang fakir miskin, melalui para pendeta atau pemuka agama sebagai pengelola tempat ibadah, hal ini seperti yang terjadi pada akhir kerajaan Romawi dan Yunani. Perkembangan wakaf modern sebenarnya baru dimulai pada zaman Islam. Islam memperkenalkan istilah Al-Waqf Al-Dzurry (Wakaf Keturunan/keluarga) yang bertujuan membentuk modal tetap untuk investasi jangka panjang guna membantu keturunan waqif (orang yang berwakaf) menghadapi kesukaran ekonomi dan menambah penghasilan di masa depan.

Masyarakat Islam pada zaman Rasulullah SAW sudah membuat berbagai macam bentuk wakaf dan berbagai macam peruntukannya, kemudian perkembangan jenis wakaf dan peruntukannya pada masa selanjutnya diserahkan sepenuhnya kepada tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Islam tidak pernah membatasi perkembangan perwakafan untuk kesejahteraan umat, Islam hanya memberi tuntunan dan aturan agar niat dan tujuan baik ini dilakukan dengan cara yang baik. Dan perkembangan selanjutnya bahwa pada abad ke 3 H, masyarakat Islam sudah membentuk semua jenis wakaf yang diperuntukan bagi hampir semua kebutuhan masyarakat pada saat itu. Ada peruntukan wakaf untuk panti asuhan, subsidi gizi anak-anak, pendidikan, pemeliharaan sungai, penyediaan air bersih, dan lain-lain.

Bahkan Ibn Khaldun menggambarkan, Wakaf di Kairo dan Damsyik dapat membiayai penyelenggaraan pendidikan tinggi secara gratis, mengundang para mahasiswa dari berbagai penjuru dunia Islam dengan diganti biaya perjalanan dan biaya hidupnya dan beasiswa yang diberikan cukup bagi yang sudah menikah maupun yang masih bujang, di samping mampu memberi kesejahteran tinggi terhadap para pengajarnya. Semua persoalan ekonomi umat pada saat itu dapat dijawab sebagian besarnya melalui wakaf.
Masyarakat Indonesia secara umumnya kurang memahami permasalahan wakaf dalam Islam secara benar dan menyeluruh. Hal ini terbukti bahwa wakaf yang banyak dikelola masyarakat Indonesia adalah wakaf yang dikelola seperti pada zaman sebelum Islam seperti wakaf untuk tempat ibadah, kuburan, gedung madrasah dan wakaf lain yang tidak produktif. Wacana wakaf produktif dan wakaf uang kembali digaungkan di Indonesia oleh beberapa tokoh, pemikir dan cendekiawan Indonesia.

Pemerintah pun merespon positif desakan masyarakat luas untuk membentuk Undang-Undang No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah No 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaanya dan UU tersebut mengamanatkan perlunya berdiri satu lembaga otonom yang dapat membantu perkembangan perwakafan di Indonesia yaitu Badan Wakaf Indonesia.

Walaupun demikian upaya pengembangan pengelolaan wakaf tidak boleh hanya tergantung pada satu pihak tertentu saja. Para pengelola wakaf (nazhir) mesti melakukan langkah-langkah maju dengan membuat satu kemitraan usaha bersama lembaga-lembaga manajemen investasi, lembaga keuangan syariah, dan lembaga lainnya. Kemitraan usaha bagi nazhir wakaf mutlak diperlukan bagi pengembangan pengelolaan wakaf terutamanya jika berbentuk wakaf uang.

Para nazhir wakaf dituntut untuk amanah, teliti dan profesional dalam memilih bentuk-bentuk investasi dan kemitraan usaha untuk menghindari kemungkinan terjadi kerugian pada harta wakaf tersebut. Definisi WakafWakaf berasal dari perkataan الوقف yang berarti berhenti atau menahan. Sedangkan menurut istilah adalah menahan asal sebuah harta dan mengalirkan manfaatnya, harta tersebut kekal wujudnya dan berterusan manfaatnya.

Doktor Munzir Qahaf mendefinisikan wakaf sebagai perbuatan menahan harta dari tangan pribadi, baik untuk selamanya maupun sementara. Hal Ini untuk dimanfaatkan hasilnya secara terus menerus dan manfaatnya untuk pribadi tertentu, masyarakat luas, keagamaan maupun untuk kebaikan lainnya secara umum, sesuai syarat yang ditetapkan oleh waqif dan sesuai dengan hukum syariat Islam.

Hukum Wakaf adalah sunnah, sebagaimana disebut dalam hadits:

عن عبد الله بن عمر أن عمر رضي الله عنه أتى النبي صلى الله عليه وسلم وكان قد ملك مائة سهم من خيبر فقال قد أصبت مالا لم أصب مثله وقد أردت أن أتقرب به إلى الله تعالى فقال حبس الأصل وسبل الثمرة

“Dari Abdullah bin Umar bahwa sesungguhnya Umar bin Khattab mendatangi Nabi SAW, (pada waktu itu) Umar baru saja memperoleh 100 kavling tanah Khaibar (yang terkenal subur), maka Umar berkata, ‘Saya telah memiliki harta yang tidak pernah saya miliki sebelumnya dan saya benar-benar ingin mendekatikan diri kepada Allah SWT melalui harta ini.’ Maka Rasulullah SAW bersabda, ‘Tahanlah asal harta tersebut dan alirkan manfaatnya’.“

Wakaf adalah salah satu akad ekonomi dalam Islam yang memiliki keunikan, di mana sahnya wakaf cukup dengan ucapan wakaf dari seorang wakif saja dan tidak perlu kabul dari pihak lain, karena negara boleh mengambil alih pengelolaan wakaf seperti ini.

Namun wakaf seperti akad lainnya memiliki rukun dan syaratnya. Rukun-rukun wakaf ada empat: pertama, Waqif (الواقف) adalah orang mewakafkan hartanya. Kedua, Mauquf Alaih ( موقوف عليه) adalah peruntukan harta wakaf tersebut. Ketiga, Mauquf (موقوف) adalah harta wakaf sebagai objek wakaf. Keempat, Sighat (صيغة) adalah ikrar atau pernyataan wakaf. Masing-masing rukun di atas memiliki syarat masing-masing. Antara lain:

Syarat Waqif adalah seorang waqif mesti termasuk individu yang oleh hukum dan syariat dianggap layak untuk melakukan transaksi ekonomi seperti dewasa, berakal dan merdeka. Tidak sah wakafnya anak kecil, orang gila dan hamba sahaya.Syarat Mauquf Alaih adalah peruntukan hasil wakaf dapat diserahkan kepada pihak yang berhak menerima hasil wakaf pada waktu wakaf dilakukan, maka tidak sah wakaf dengan perntukan untuk janin yang masih dalam kandungan.

Karena janin tidak dapat menerima peruntukan hasil wakaf pada waktu wakaf. Syarat bagi Mauquf adalah harta wakaf tersebut adalah nyata, dapat dimanfaatkan, dapat dipindah tangankan dan merupakan hak milik waqif sendiri.Sedangkan syarat lafadz dalam akad wakaf adalah bahwa lafaz tersebut mesti jelas menunjukkan terjadinya perbuatan wakaf seperti perkataan saya mewakafkan sepuluh hektar kebun sawit saya ini untuk beasiswa pendidikan bagi fakir miskin di desa tertentu misalnya.

Dasar Hukum Wakaf Dalam Islam

Selain hadits tersebut di atas para ulama berpendapat bahwa dasar hukum utama wakaf adalah Al-Quran. Secara umumnya ayat-ayat Al-Quran mengajarkan umat Islam untuk banyak beribadah sosial yaitu berinfak dalam arti yang luas. Ibadah sosial ini selalu disambung dan didampingkan dengan perkataan beriman. Sehingga ada korelasi yang kuat antara keimanan dan kepedulian sosial.

Ayat-ayat Al-Quran yang menganjurkan umat Islam berinfak dengan harta terbaik di antaranya Surah Ali-‘Imran (3:92):

 

 

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai, dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”

عن أبي هريرة رضي الله عنه، قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له رواه مسلم

“Dari Abu Hurairah Apabila anak keturunan Adam meningal dunia maka putuslah semua amal ibadahnya, kecuali tiga perkara, yaitu: Sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakan kedua orang tuanya.” (HR. Muslim)

Jelas, Ijma (kesepakatan) seluruh umat Islam semenjak zaman Nabi Muhammad SAW hingga saat ini di dunia juga menetapkan bahwa hukum wakaf adalah sunnah.

Paradigma Baru Tentang Wakaf Uang

Sebenarnya wacana mengenai wakaf uang sudah mulai difatwakan pada awal abad ke 2 Hijrah oleh Imam Az-Zuhri seorang ulama yang pertama meletakkan dasar-dasar kodifikasi (penyusunan) hadits-hadits Rasulullah SAW. Beliau membolehkan wakaf dengan dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak). Dalam mazhab Syafi‘iyyah sendiri ada yang membolehkan wakaf dinar (mata uang emas) dan dirham (mata uang perak). Karena mata uang tersebut dapat diambil manfaatnya dengan mengekalkan fisik barangnya.

Bentuk-bentuk wakaf uang pada zaman tersebut adalah masih sederhana seperti untuk Al-Qard Al-Hasan (dipinjamkan kemudian dikembalikan lagi dengan bunga 0 %), atau dimudharabahkan kemudian hasilnya untuk keperluan wakaf dan lain-lainnya. Sedangkan mazhab-mazhab lainnya seperti mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali secara garis besarnya kebanyakan ulama-ulama mereka membolehkan wakaf uang ini.Perkembangan zaman saat ini menuntut diperlukannya wakaf uang di Indonesia melihat situasi dan kondisi investasi saat ini yang banyak memerlukan money capital.

Yang paling utama dapat diharapkan dari wakaf uang adalah wakaf uang dapat menjadi alternatif untuk menyelesaikan krisis ekonomi dan mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Banyak asumsi dibuat oleh para pemikir dan cendekiawan muslim Indonesia mengenai besarnya wakaf uang yang dapat dihimpun setiap tahunnya di Indonesia. Ada yang mengasumsikan wakaf tunai di Indonesia minimalnya dapat dihimpan sejumlah Rp 3 triliun dengan perkiraan yang berwakaf hanya 10 juta Muslim saja.

Dan banyak lagi para tokoh politik, pejabat, akademisi, cendekiawan, peneliti dan masyarakat luas yang memprediksi bahwa penghimpunan wakaf tunai adalah dapat mencapai angka yang lebih tinggi lagi dari asumsi angka di atas.Pemerintah Indonesia sendiri telah membuat UU No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah No 42 tTahun 2006 Tentang Pelaksanaannya untuk membantu pengembangan pengelolaan wakaf terutamanya wakaf produktif.

Dalam UU dan PP ini telah dijelaskan dengan sangat baik dan relatif lengkap mengenai pola dan sistem pengembangan perwakafan di Indonesia termasuk wakaf uang. Pengelolaan wakaf uang ini akan sangat tepat sasaran jika dilaksanakan dengan memakai manajemen investasi profesional dengan menggunakan alternatif pola-pola investasi yang akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya dalam wakaf produktif. Yang jelas bahwa rakyat Indonesia sebenarnya menanti sebuah solusi yang logis dan islami untuk membantu menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi, pendidikan dan sosial dalam masyarakat Indonesia.

Masyarakat luas akan dengan senang hati turut andil dalam pemberdayaan ekonomi umat seperti ini. Unsur kepercayaan (trust) menjadi kunci utama kesediaan masyarakat luas berpartisipasi aktif disamping unsur profesionalitas nazhr-nazhir wakaf perlu dibuat standarisasinya secara nasional dan internasional. []

 

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *