Wakaf, sebagai bagian dari syariat Islam, merupakan salah bukti bahwa Islam memperhatikan isu pemberdayaan ekonomi umat. Wakaf adalah salah satu bentuk pengelolaan harta dengan menahan pokok dari suatu harta; dan memberikan manfaatnya untuk digunakan di jalan Allah; serta harta tersebut tidak boleh dijual, dihibahkan, maupun diwariskan.
Wakaf memiliki dua dimensi, yakni ibadah dan sosial. Dimensi ibadah wakaf tecermin dari hadis Rasulullah saw. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya, dan anak saleh yang selalu mendoakannya.” (HR Muslim, no. 3084).
Dimensi sosial wakaf terlihat dari fakta bahwa wakaf adalah suatu instrumen pengelolaan harta yang dapat dipergunakan untuk memakmurkan ekonomi umat dan memberdayakan masyarakat yang tergolong duafa.
Di Indonesia, wakaf sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat Islam telah diakui oleh hukum positif yang berlaku di republik ini melalui pengesahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan UU tersebut. Saat ini pun telah berdiri Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai nazhir wakaf di tingkat nasional dan pengawas semua nazhir wakaf yang berada di Indonesia.
Perkembangan terkini dari wakaf di Indonesia cukup mencengangkan. Menurut data Kementerian Agama RI pada tahun 2010, jumlah lokasi tanah wakaf di Indonesia sebanyak 414.848 lokasi dengan luas tanah 2.171.041.349,74 meter persegi dan hampir 95 persen aset wakaf belum dimanfaatkan secara optimal. Sebuah studi lain yang dilakukan oleh Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010 mengungkapkan bahwa jumlah unit wakaf yang terdata mencapai hampir 363.000 wakaf berupa lahan yang tersebar di berbagai wilayah yang nilainya mencapai Rp590 triliun.
Meskipun memiliki aset wakaf yang tergolong luas dan bernilai ekonomis besar, belum optimalnya pengelolaan wakaf di Indonesia menunjukkan bahwa pengelolaan wakaf di Indonesia masih memiliki permasalahan yang harus diselesaikan. Pertama, pola pengelolaan wakaf di Indonesia masih belum diarahkan menuju pengelolaan produktif. Masih banyak masyarakat yang berpikir bahwa wakaf hanyalah berupa tanah dan digunakan untuk masjid, sekolah, dan pemakaman yang tidak menghasilkan nilai ekonomis. Meskipun tujuan peribadatan wakaf tercapai, namun jika wakaf hanya berupa aset tersebut saja maka aset wakaf justru menjadi beban bagi masyarakat.
Kedua, sumber modal bagi pengelolaan wakaf yang masih bergantung dari dana sosial masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa aset wakaf belum dapat dijalankan secara mandiri. Ketiga, nazhir wakaf masih belum profesional dan kreatif dalam mengelola aset wakaf. Hal ini terlihat dari banyaknya masjid dan aset-aset wakaf lainnya yang terbengkalai.
Khusus terkait permasalahan nazhir, profesionalitas dan kreativitas mereka selaku pemegang amanah dari wakif menjadi sangat mutlak dibutuhkan. Nazhir dapat diibaratkan sebagai manajer investasi dalam dunia pasar modal, yang memiliki keahlian dan kewenangan mengelola portofolio aset investor untuk dapat menghasilkan keuntungan bagi investor. Manajer investasi yang tidak profesional tentu akan merugikan investor. Demikian pula nazhir, harus profesional agar dapat menjaga kepercayaan wakif.
Untuk dapat meningkatkan profesionalitas nazhir maka diperlukan suatu lembaga yang dapat menjadi wadah pendidikan dan pelatihan bagi para nazhir. Konsep semacam Sekolah Nazhir (School of Nazhir) selayaknya dapat diajukan.
Sekola Nazhir dapat diaplikasikan menjadi suatu lembaga yang mewadahi pelatihan bagi para calon nazhir yang ingin mendapat pengakuan dalam pengelolaan aset wakaf. Lembaga ini dapat berada di bawah hierarki organisasi BWI secara langsung.
Beberapa materi yang selayaknya diajarkan dalam Sekolah Nazhir ialah (1) dasar-dasar keislaman, (2) fikih muamalah khususnya wakaf, (3) manajemen keuangan dan investasi, dan (4) isu kontemporer perwakafan.
Kehadiran Sekolah Nazhir dapat membawa dampak positif. Di antaranya (1) standarisasi pengelolaan wakaf di Indonesia dapat terwujud, (2) sumber daya insani dalam pengelolaan wakaf dapat dipertanggungjawabkan kredibilitasnya, dan (3) nazhir akan memiliki pengakuan terkait profesionalitasnya dalam mengelola aset wakaf.
Dengan adanya Sekolah Nazhir, maka dalam jangka panjang, potensi aset wakaf yang berada di Indonesia dapat dikelola oleh SDM-SDM profesional sehingga manfaat wakaf akan semakin terasa bagi umat dan masyarakat luas.[]
Penulis: Imam Wahyudi Indrawan
Mahasiswa Universitas Airlangga, Jurusan Ekonomi Islam