Banda Aceh (28/3/08) | Paska tsunami, permasalahan tanah menjadi salah satu isu besar. Hal ini disebabkan karena banyaknya kasus tanah yang timbul. Tidak hanya masalah-masalah hilangnya batas tanah atau bukti-bukti kepemilikan tanah, tetapi juga karena banyaknya persil (bidang) tanah yang musnah. Dari persoalan-persoalan tanah tersebut ada beberapa kasus yang menimbulkan sengketa. Sengketa atas tanah ini tidak hanya terjadi pada tanah-tanah yang merupakan hak milik pribadi, tetapi juga ada kasus yang justru memantik perhatian khalayak, yaitu kasus tanah-tanah wakaf.
Wakaf menurut UU No.41 tahun 2004 Pasal 1 ayat (1) tentang wakaf menyebutkan, wakaf adalah perbuatan hukum wakif (orang yang mewakafkan) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah atau kesejahteraan umum menurut syariah. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 215, wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna epentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Dalam adat Aceh sendiri, seperti dikutip dari buku Pola Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan Tanah secara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (ditulis Syamsidah dan Sugiarto Dakung, 1984-1985, h.46) disebutkan bahwa tanah wakaf atau tanoh wakeueh diartikan sebagai lembaga keagamaan, di mana seseorang yang memiliki tanah menyerahkan sebagian dari padanya untuk keperluan seseorang tertentu atau sesuatu keperluan bersama, sesuai dengan hukum Islam. Biasanya, penyerahan wakaf ini dilakukan kepada geuchik dan imam meunasah, dan pengurusan tanah ini selanjutnya dilakukan oleh kedua aparat gampong tersebut.
Di Aceh Besar, terdapat praktek wakaf yang dilakukan tidak hanya oleh individual, tetapi juga oleh masyarakat suatu gampong. Mereka secara bersama-sama membeli sebidang tanah di dekat kompleks meunasah dan mewakafkannya untuk tempat mendirikan Langgar kaluet/balai empat anak-anak mengaji (Tentang Penguasaan Tanah pada Masyarakat Pedesaan di Aceh, T.I Elhakimy, 1993, h.84-85). Dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh, Pasal 213 ayat 4 No.11 Tahun 2006 menyebutkan, Pemerintah Aceh dan/atau pemerintah kabupaten/kota wajib melakukan perlindungan hukum terhadap tanah-tanah wakaf, harta agama dan keperluan suci lainnya.
Pada dasarnya, terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam ikrar wakaf. Sesuai dengan UU No.41 Tahun 2004 Pasal 40 disebutkan, harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: (a) dijadikan jaminan, (b) disita, (c) dihibahkan, (d) dijual, (e) diwariskan, (f) ditukar, atau (g) dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya
Meskipun demikian, ketentuan pada huruf (f) dikecualikan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariah (Pasal 41 ayat (1) UU N0.41Tahun 2004. Penyimpangan dari ketentuan tersebut, menurut Pasal 225 ayat (1) KHI, hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama kecamatan, berdasarkan saran dari Majelis Ulama kecamatan dan camat setempat dengan alasan: pertama, karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif. Kedua, karena kepentingan umum (Pasal 225 ayat 2 KHI).
Seperti kasus yang ada dalam catatan LBH Banda Aceh, masyarakat Paya Bili, Langsa bersengketa dengan pemborong pelaksana pembangunan sekolah. Sengketa ini terjadi karena pembangunan sekolah menggunakan tanah wakaf dan belum ada proses ganti rugi. Setelah dimediasi oleh LBH Banda Aceh, maka masing-masing pihak dapat memahami dan akhirnya tanah wakaf itu diganti rugi dengan tanah lainnya.
Di Kecamatan Meuraxa, disebutkan Wakil Kepala KUA Meuraxa, Samsul Hadi,S.Ag, ada tanah wakaf yang beralih fungsi paska tsunami. Sebelum tsunami, tanah wakaf tersebut berupa sawah yang dikelola dan hasilnya dimanfaatkan masyarakat gampong yang bersangkutan. Tetapi setelah tsunami, sawah tersebut tidak bias digunakan lagi sebagai sawah karena tanahnya sudah tidak dapat digunakan untuk menanam padi. Berdasarkan hasil musyawarah gampong, tanah itu akan dijadikan tempat pembangunan masjid. Kemudian, banyak juga para ahli waris mewakafkan tanah-tanah warisan mereka.
Selain dibangun sarana untuk kegiatan keagamaan, sejumlah tanah wakaf ini juga akan digunakan untuk kuburan. Karena paska tsunami banyak lokasi kuburan yang rusak. Ada juga diakuinya tanah wakaf yang terpakai sebagian oleh masyarakat untuk pembangunan rumah, tetapi hal itu sudah disepakati oleh penduduk gampong, sehingga tidak menjadi sengketa. Persoalan tanah wakaf lainnya juga banyak terjadi di daerah lain di beberapa kawasan yang cukup parah terkena tsunami, seperti kawasan Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh.
Disebutkan Kepala KUA Kutaraja, Drs.H.Nurdin Ali, Kelurahan Merduati sebagai salah satu kelurahan yang memiliki banyak tanah wakaf. Sedikitnya, ada 90 persil tanah wakaf dan 78 di antaranya sudah memiliki sertifikat di daerah itu. Selain banyaknya batas tanah yang hilang, tsunami yang menghantam Kecamatan Kutaraja, juga banyak memusnahkan akta ikrar wakaf. Meski begitu, pengurusan akta baru sudah dan sedang dilakukan.
Dari banyaknya tanah wakaf di kawasan ini, ada beberapa tanah wakaf yang bermasalah. Masalah timbul karena tanah wakaf yang ada kini diduduki oleh orang-orang yang sebelum tsunami tidak mendiaminya. Menurut Drs. H.Nurdin Ali, dahulu kawasan Kecamatan Kutaraja hampir seluruhnya merupakan rawa-rawa. Kemudian tanahtanah itu diwakafkan oleh Teungku Dianjong. Setelah diwakafkan, penduduk yang saat itu menjadi penerima wakaf, menimbum rawarawa itu dan selanjutnya dijadikan pemukiman, sampai akhirnya tsunami menghantam kawasan tersebut.
Masalah mulai timbul ketika kemudian para ahli waris yang sebelumnya tinggal di kawasan tanah wakaf itu membangun rumah bantuan paska tsunami. Sebagian warga dikatakannya menolak keberadaan para ahli waris karena status tanah tersebut adalah tanah wakaf, artinya tidak bisa diwariskan. Kasus ini menurutnya sudah irekomendasikan untuk diselesaikan secara musyawarah di tingkat gampong dengan bantuan beberapa pihak, seperti Kanwil Depag NAD dan juga notaris. Karena jika sengketa ini dilanjutkan sampai ke tingat Mahkamah Syar’iyah, dikhawatirkan akan memakan waktu yang lama.
Apalagi menurutnya, saksi-saksi atas perwakafan tanah itu sudah banyak yang meninggal dunia. Dari lima nadzir (kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf—Pasal 215 ayat (5) KHI) yang dimiliki Kecamatan Kutaraja, empat di antaranya sudah meninggal dunia akibat tsunami, hanya satu yang masih ada dan itupun sudah udzur, sehingga kemungkinan akan sulit menghadirkan saksi, jika seandainya kasus ini disidangkan di Mahkamah Syar’iyah.
Kasus lainnya, seperti pencabutan hak tanah wakaf oleh ahli waris wakif atas sebidang tanah di kawasan Kelurahan Peulanggahan yang selama ini diperuntukkan untuk balai pengajian. Kasus ini juga dikatakannya sedang diselesaikan lewat musyawarah gampong. Tidak hanya di wilayah yang terkena tsunami, temuan kasus sengketa tanah wakaf juga terjadi di Kecamatan Ulee Kareng. Di kecamatan ini, sengketa tanah wakaf terjadi karena peruntukan tanah yang diubah dari perjanjian semula.
Menurut Kepala KUA Ulee Kareng, Saifullah,S.Ag, tanah wakaf tersebut dalam aktanya disebutkan akan digunakan untuk kegiatan keagamaan. Tetapi kini, di atas tanah wakaf itu dimanfaatkan untuk pembangunan Poliklinik Desa (Polindes). Sebenarnya, kata Saifullah,S.Ag, tidak ada ketentuan yang melarang, selagi pemanfaatanya untuk masyarakat. Tetapi persoalan muncul ketika bangunan yang didirikan merupakan milik pemerintah.
Persoalan ini sudah dicoba diselesaikan melalui musyawarah gampong, tetapi enemukan jalan buntu.akhirnya kasus tanah wakaf ini sudah ditangani pihak berwajib. Dari beberapa temuan kasus tanah wakaf ini dapat ditarik kesimpulan, bahwa menjadi hal yang sangat penting membuat akta ikrar wakaf. Karena lewat akta ikrar wakaf yang dibuat di depan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), dapat dijadikan sebagai bukti status tanah dan juga sebagai bukti peruntukan tanah wakaf yang dimaksud. Hal ini karena dalam akta ikrar wakaf, akan jelas disebutkan peruntukan tanah wakaf yang dimaksud dan jangka waktu wakaf, sehingga tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari. (srmbind)