Seorang ahli ekonomi Islam yang berasal dari Turki, DR Murat Cicakza, mengatakan dalam salah satu bukunya bahwa wakaf dapat menurunkan peranan riba. Sekilas tampak aneh, bagaimana mungkin wakaf yang selama ini identik dengan masjid, sekolah, rumah sakit, dan kuburan, yang notabenenya masalah-masalah sosial bisa punya peran dalam menurunkan riba (bunga) bank konvensional yang identik dengan hal-hal yang bersifat bisnis.

 

Sebelum kita membahasnya lebih jauh, mari kita review sedikit tentang wakaf. Secara sederhana, wakaf berarti berhenti. Maksudnya, ketika suatu aset tersebut kita donasikan sebagai wakaf, aset tersebut harus tidak boleh berkurang.

 

Sedekah bisa habis nilai pokoknya, misalnya, kita menyedekahkan sebungkus nasi bagi orang miskin yang kita temui, maka hal ini tidaklah bisa disebut wakaf mengingat nasi adalah barang konsumtif yang habis pakai. Sedangkan, contoh wakaf adalah wakaf mesin, tanah, rumah yang notabene bisa digunakan berulang-ulang sampai kapan pun.

 

Wakaf mempunyai peranan yang sangat besar terhadap menurunkan peran riba, misalnya, Indonesia dengan populasi 250 juta penduduk telah terbentuk jiwa sosialnya sehingga mereka mempunyai preferensi terhadap suatu sektor tertentu dalam pemberian donasi wakafnya. Contoh lainnya 1.000 orang terkaya di Indonesia mempunyai preferensi untuk donasi wakaf ke bidang kesehatan.

 

Mereka melobi presiden supaya presiden tidak mengeluarkan dana kesehatan untuk rakyatnya. Semua dana kesehatan akan ditanggung melalui donasi wakaf yang dilakukan oleh 1.000 orang tersebut. Mereka dapat membangun rumah sakit dan hotel atau apartemen sekaligus.

 

Argumennya adalah pasien opname biasanya tidak datang sendirian, tetapi ditemani oleh keluarganya. Hotel tersebut adalah untuk tinggal keluarganya selama pasien dirawat. Dengan demikian, kita bisa harapkan tingkat okupansi hotel tersebut tinggi. Pendapatan dari hotel akan digunakan untuk membiayai operasional hotel dan sisanya untuk operasional rumah sakit. Apabila ini berhasil, pemerintah dalam hal ini tidak perlu mengeluarkan dana kesehatan karena memang sudah ditanggung oleh masyarakatnya.

 

Selain itu, 1.000 orang kaya yang lain sangat menyukai sektor pendidikan. Maka, mereka bisa menemui presiden untuk meminta agar biaya pendidikan tidak perlu dikeluarkan oleh presiden. Mereka adalah orang kaya yang bersedia untuk menyumbang wakaf untuk sekolah dan proyek bisnis yang nantinya digunakan untuk membiayai sekolah.

 

Tepat di sebelah sekolah didirikanlah gedung perkantoran yang disewakan. Keduanya didanai oleh wakaf. Keuntungan dari sewa kantor digunakan untuk membiayai operasional sekolah, misalnya, membayar gaji guru, listrik, air, dan peralatan sekolah yang diperlukan.

 

Seribu orang yang ketiga sangat fokus terhadap pembangunan infrastruktur. Mereka sanggup untuk memberikan donasi wakaf dengan membuat jalan tol dua arah dengan masing masing delapan jalur yang bisa dilalui oleh mobil, truk dan bus, sepeda motor, kereta api. Bahkan, mereka bisa membuat jalan tol tersebut mulai dari (misalnya) Sabang sampai dengan Papua. Selain jalan tol yang berbayar, sepanjang jalan tersebut dapat disewakan untuk restoran, pengisian bahan bahar, dan lain-lain. Keuntungan dari sewa tersebut untuk membiayai hal yang lain.

 

Dengan adanya 3.000 orang yang fokus pada tiga sektor, sudah barang tentu presiden akan mencoret pengeluaran pada sektor-sektor tersebut karena memang sudah dibiayai. Dengan demikian, anggaran bisa jadi berubah dari defisit menjadi surplus.

 

Ataupun kalau masih ada defisit, tentunya berkurang drastis sehingga Presiden tidak perlu lagi pinjam utang luar negeri yang notabene berbasiskan riba. Inilah penjelasan bahwa wakaf bisa menurunkan secara signfikan peranan riba.

 

Untuk mewujudkan hal tersebut, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Pertama, terbentuknya masyarakat yang gemar berwakaf. Dalam hal ini dibutuhkan masyarakat yang mengutamakan kepentingan akhirat daripada kepentingan dunia. Janji Allah akan pahala yang tidak terputus ketika berwakaf menjadi dorongan motivasi yang sangat kuat dari masyarakat.

 

Untuk berwakaf tidak harus dilakukan oleh orang kaya saja. Orang yang tidak kaya bisa berpartisipasi dalam wakaf ini. Bahkan, dalam Alquran telah dijelaskan bahwa bersedekahlah dalam kelapangan dan kesempitan. Adalah suatu kewajaran apabila kita diberi kelapangan rezeki dan kemudian kita memberi sedekah. Namun, Allah juga mengingatkan bahwa ketika dalam kesempitan, kita juga disarankan untuk bersedekah. Ini adalah suatu ujian keimanan.

 

Kedua, diperlukan peranan pemerintah yang signifikan mengakomodasi masyarakat dalam berwakaf. Paling tidak ada empat sektor yang sangat layak untuk dibantu oleh wakaf, yaitu pendidikan (pembangunan sekolah), kesehatan (rumah sakit), infrastruktur (jalan raya, pembangkit listrik, pengairan) dan masjid. Apabila empat sektor ini dibiayai dengan wakaf, ini cukup membantu meringankan beban APBN pemerintah.

 

Ketiga, perencanaan yang matang dalam penghimpunan dana wakaf. Pemahaman masyarakat tentang wakaf berbeda-beda. Oleh karena itu, perencanaan penghimpunan dana harus diawali dengan segmen masyarakat yang sudah siap berwakaf. Untuk segmen masyarakat lain, sosialisasi perlu dilakukan untuk membangkitkan keinginan untuk berwakaf.

 

Keempat, perencanaan yang matang tentang prioritas pembangunan yang didanai oleh dana wakaf. Badan Wakaf Indonesia sebagai regulator dalam pengembangan wakaf di Indonesia hendaknya membuat daftar prioritas pembangunan aset wakaf produktif secara transparan. Untuk hal tersebut, teknologi informasi sangat dibutuhkan.

 

Calon wakif cukup buka website Badan Wakaf Indonesia. Di website tersebut masyarakat ditawarkan suatu proyek, misalnya, rumah sakit dan hotel beserta besaran dana yang dibutuhkan secara real time.

 

Dengan demikian, wakif dapat melakukan transfer dari kartu debit atau kartu kredit kita ke rekening proyek tersebut. Misalnya proyek rumah sakit tersebut butuh Rp 200 miliar, maka ketika seseorang berwakaf tunai Rp 50 miliar, angka kebutuhan proyek yang tertera di website akan berkurang menjadi Rp 150 miliar (karena dana kita sudah sampai ke rekening proyek yang dimiliki oleh BWI).

 

Setelah infrastruktur matang, maka tugas pemerintah dan masyarakat umum untuk dapat menyosialisasikan dana wakaf tersebut. Apabila sosialisasi dilakukan secara komprehensif dan serentak, bukan tidak mungkin kebutuhan dana sebesar Rp 200 miliar untuk rumah sakit dan hotel dapat ditutupi hanya dalam jangka waktu yang tidak lama.

 

Penulis: Raditya Sukmana (Ketua Program Studi Magister Sains Ekonomi Islam Universitas Airlangga)

 

Artikel opini ini pernah dimuat di Harian Republika 23 Juni 2015

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *