REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Melihat aset wakaf bisa dioptimalkan dan lebih berdaya guna, BNI Syariah berencana mengembangkan aset Untuk itu, BNI Syariah sendiri sedang merapikan model bisnisnya.
Direktur Utama BNI Syariah Dinno Indiano mengatakan, aset wakaf di Indonesia belum dikelola maskimal. Padahal, beberapa aset wakaf ada di jalan-jalan utama. Jika di atas tanah wakaf itu dibuat pusat bisnis produktif yang penghasilannya dikembalikan lagi untuk wakaf, dampaknya akan luar biasa.
Dinno mengaku BNI Syariah tengah merapikan model bisnisnya agar jangan sampai ada pembangunan aset produktif di atas tanah wakaf yang akhirnya mangkrak. Ia juga tahu Bank Pembangunan Islam (IDB) banyak melakukan kerja sama dengan bank syariah untuk mengoptimalkan aset wakaf dan ia ingin itu bisa berjalan juga di Indonesia.
“Intinya kami ingin aset wakaf berfungsi optimal, entah fungsi asetnya sosial atau komersial. Untuk itu, harus ada pengelola,” kata Dinno.
Direktur Bisnis BNI Syariah Imam Teguh Saptono mengatakan pengelolaan wakaf ini jadi inovasi yang dilakukan BNI Syariah. Pengelolaan aset sosial keagamaan oleh bank syariah juga jadi keunikan sendiri keuangan syariah.
Imam melihat masih ada sekolah yang berdiri di atas tanah wakaf tapi terbengkalai. Belum lagi alokasi dana pemerintah yang dikeluarkan untuk merawat tanah wakaf yang diam.
Kalau di atas tanah itu, terutama tanah wakaf yang prospektif untuk bisnis, dijadikan pusat bisnis, aset wakaf lebih produktif dan lebih manfaat sehingga lebih banyak sekolah dan anak yang bisa dibiayai dari pendapatan aset itu. ”Semangatnya ada pada peningkatan kualitas,” kata Imam.
Pengelolaan wakaf ada sisi pembiayaan dan pendanaan. Nazhir diamanahi tanah wakaf untuk pendidikan. Padahal prospek pendidikan tanah di lokasi itu kurang bagus karena sudah dikelilingi perkantoran dan lebih cocok untuk pusat bisnis. Tanah seperti itu banyak.
Kalau bangun pusat bisnis dengan memberi pembiayaan, secara konvensional bank harus lihat kelaikan aset dan butuh arus kas dari nadzir. Bank bisa tersangkut aturan prudensial oleh regulator. Kalau pendekatannya selalu seperti itu, bank tidak bisa masuk membangun di atas tanah wakaf. Dengan swakarya, bank syariah jadi memiliki aset karena hanya bank syariah yang boleh memiliki inventaris.
Bangunan pusat bisnis yang dibangun oleh bank kemudian dioperasikan dan dananya digunakan untuk melunasi biaya pembangunan. Tetap ada penyisihan uang sesuai yang sebelumnya diamanatkan wakif kepada nazhir. Saat sudah lunas, bangunan dan tanah dikembalikan kepada nazhir.
“Hanya begini caranya. Aset wakaf itu feasible tapi unbankable. Bank syariah juga ada masalah kolektabilitas karena aset milik bank,” kata Imam.
Pendanaannya juga bisa dari masyarakat melalui tabungan mudharabah-muqayyadah wakaf. Mereka boleh mewakafkan dana berapa saja dan bank menjaga nilai uangnya tidak turun. ”Kembalikan bank syariah ke khittah-nya,” ungkap Imam.
Terkait pemindahan kepemilikan sementara aset wakaf dari nazhir ke bank, hal yang butuh dibicarakan bersama Badan Wakaf Indonesia (BWI). Sebagai lembaga otonom yang bisa membuat aturan, memungkinkan bagi BWI membuat aturan yang bolehkan aset wakaf dititipkan sementara ke bank. Bank mencatat aset itu sebagai aset sementara. Kalau aset wakaf jadi aset sementara bank, bank boleh bangun gedung di atas tanah itu.
Kalau nazhir menitipkan ke bank syariah, bank syariah akan lebih tertib karena bank akan berusaha agar pembangunan bisa selesai segera. Imam mengatakan BNI Syariah sudah mengajukan ide swakarya ini ke otoritas. Otoritas, kata Imam, menyampaikan akan melakukan kajian serta melihat negara lain yang sudah memiliki mekanisme seperti ini.
Sumber: ROL