Sumbangan Wakaf pada Peradaban Islam (3-habis)

Dr. Raghib As Sirjani dalam Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia mencatat bahwa wakaf di Damaskus tidak terhitung karena jumlahnya sangat banyak. Ia mengutip tulisan pengembara Ibnu Batutah yang menyebutkan bahwa hasil wakaf diberikan untuk keperluan jamaah haji.

 

Ada pula wakaf yang ditunjukkan untuk mempersiapkan anak-anak perempuan kepada suami-suami mereka. Mereka ini adalah anak-anak perempuan yang orang tua mereka tidak mampu membiayai pernikahan mereka.

 

Ada pula wakaf yang dtunjukkan untuk menebus tawanan perang. Begitu juga dengan wakaf-wakaf yang diberikan kepada Ibnu Sabil, dimana mereka mendapatkan bekal yang mereka makan dan pakaian yang mereka kenakan dari mereka juga mendapat bekal untuk pulang ke negara mereka.

 

Ada juga wakaf yang ditujukan untuk perbaikan jalan dan trotoar. Sebab masing-masing jalan di Damaskus memliki dua trotoar di kanan kirinya untuk pejalan kaki, dan ditengahnya untuk kendaraan. Begitu juga berbagai wakaf yang ditunjukkan untuk kebaktian sosial.

 

Di antara kekaguman yang dikemukakan Ibnu Bathuthah adalah wakaf bejana-bejana. Dalam pengalaman pribadinya, ia mengisahkan “ Pada suatu ketika, aku melewati jalanan di Damaskus. Tiba-tiba aku melihat seorang hamba sahaya yang masih kecil membawa sebuah piring dari keramik China dan terjatuh. Mereka menamakan piring tersebut dengan Ash-Shuhn.

 

“Piring itu pun pecah dan orang-orang pun segera mengerumuninya. Kemudian salah seorang di antara mereka mengatakan, “ Kumpulkan serpihannya dan kemudian bawalah bejana-bejana tersebut kepada pejabat wakaf.” Lalu hamba sahaya itu pun mengumpulkan serpihannya dan ia pun membawa serpihan tersebut kepada pejabat wakaf setempat seraya memperlihatkannya kepadanya. Lalu ia pun menyerahkan bejana-bejana yang dibelinya tersebut kepada pejabat wakaf. Ini merupakan salah satu amal terbaik.

 

“Karena tuan dari hamba sahaya tersebut pastilah akan memukulnya karena telah memecahkan piring atau paling tidak membentaknya yang tentunya juga membuat bersedih. Untuk merubah keadaan semacam ini, maka wakaf ini dimaksudkan untuk mengobati hati yang sedih. Semoga Allah membalas kebaikan orang yang ingin berbuat baik seperti ini.”

 

Di sebagian besar negara-negara Islam terdapat wakaf yang ditujukan untuk menyewa perhiasan dan aksesoris pernikahan . Orang-orang fakir dan masyarakat umum dapat memanfaatkan wakaf ini agar dapat mengenakan perhiasan dan aksesoris menarik dalam berbagai pesta dan kemudian mengembalikannya ke tempat semula sesudah pesta.

 

“Dengan cara seperti ini, maka si fakir dapat memperlihatkan diri dalam busana pengantin yang dilengkapi dengan perhiasan yang layak dan mempelai perempuan dapat mengenakan aksesoris yang menarik bagi mereka berdua,” kata ustaz Budi Ashari.

 

Di Tunisia terdapat wakaf untuk sunatan anak-anak yang kurang mampu, di mana seorang anak dapat disunat dan kemudian mendapatkan pakaian dan sejumlahn uang.

 

Ada pula wakaf berupa pembagian kue yang dilakukan di bulan Ramadhan secara gratis. Dalam beberapa hari dalam setahun di Tuni terdapat banyak ikan, dimana hasil tangkapan para nelayan berlimpah.

 

Karena itu, di sana terdapat wakaf dimana mereka membelanjakan pendapatan mereka untuk membeli ikan dalam jumlah yang besar dan kemudian dibagi-bagikan kepada kaum fakir dan miskin secara Cuma-Cuma.

 

Di samping itu, ada juga wakaf yang diberikan kepada orang terkena minyak lampu atau pakaiannya terkena kotoran yang lain, maka ia dapat mengadu kepada badan wakaf ini dan mengambil sejumlah uang untuk membeli pakaian yang lain.

 

Yang lebih aneh lagi, bahwasanya di kota Marrakisy di Maroko terdapat yayasan wakaf bernama Dar Ad-Duqqah. Dar Ad-Duqqah adalah sebuah tempat pengaduan untuk para istri yang berseteru dengan suami mereka, saling membenci, dan membelakangi. Perempuan-perempuan tersebut boleh tinggal, makan, dan minum di sana hingga pertengkaran antara mereka dengan suami-suami mereka mereda.

 

Perwakafan memiliki peran signifikan dalam bidang kesehatan sejak abad pertama Hijriyah. Orang pertama yang mewakafkan rumah sakit untuk para penderita sakit adalah khalifah dari Bani Umayyah Al-Walid bin Abdul Malik; dimana ia membangun sebuah rumah sakit di Damaskus dan kemudian didermakan untuk orang-orang yang menderita sakit.

 

Al-Walid memperlihatkan perhatian khusus kepada para penderita kusat dan melarang mereka untuk meminta-minta. Ia juga mewakafkan sebuah tempat untuk persinggahan mereka dan memberikan subsidi rutin kepada mereka. Di samping itu, ia juga memerintahkan kepada setiap orang yang cacat untuk diberikan seorang pembantu dan mereka yang sedang buta mendapat seorang penunjuk jalan.

 

Di antara rumah sakit wakaf yang terpenting di Baghdad adalah rumah sakit Al-Adhadi. Rumah sakit ini dibangun oleh tokoh-tokoh terkemuka dalam pemerintahan Al-Buwaihi di Baghdad tahun 366 H/976 M, yang terletak di sebelah Barat Daya kota Baghdad. Rumah sakit ini ditangani oleh 24 dokter yang membuktikan luas dan banyaknya spesialisasi yang dimilikinya.

 

Dalam rumah sakit ini terdapat banyak perwakafan, yang diantaranya ; pengobatan gratis bagis seluruh warga, dimana seorang pasien mendapatkan perawatan yang sangat memuaskan baik dari segi pemberian pakaian yang baru dan bersih, makanan yang beraneka ragam, lezat, dan bergizi, maupun obat-obatan yang harus dikonsumsi, dan setelah si pasien sembuh diberikan biaya untuk perjalanan pulang agar dapat sampai ke rumahnya.

 

Perhatian dan pelayanan rumah sakit wakaf ini sangatlah tinggi, maju, dan berkelas terhadap para pasiennya. Hingga kita mendapati beberapa orang yang tidak merasa malu berpura-pura sakit karena ingin masuk rumah sakit ini dan mendapatkan pelayanannya.

 

“Karena mereka yakin akan mendapatkan pelayanan dan perawatan yang memuaskan, semua kelas sama, sama-sama sangat baik. Menu makanan yang menggugah selera dan bergizi. Walaupun dokter tahu orang ini pura-pura sakit, tetap saja dilayani,” kata ustaz Budi Ashari.

 

Seorang pakar sejarah kenamaan Khalil Syahin Azh-Zhahir mengemukakan bahwa ia pernah berkunjung ke salah satu rumah sakit di Damaskus tahun 831 H/1427 M. Ia belum pernah melihat rumah sakit wakaf semegah dan senyaman itu pada masanya. Kebetulan ia mendapati seseorang yang berpura-pura sakit di rumah sakit ini. Lalu sang dokter menuliskan resep kepadanya setelah hari ketiga sejak kedatangannya di rumah sakit tersebut, “ Tamu tidak boleh bermukim lebih dari tiga hari.”

 

Perwakafan dalam peradaban Islam memiliki keistimewaan karena keragaman dan pemerataannya. Sistem perwakafan Islam membuktikan keunikan peradaban Islam dibandingkan yang lain, yang telah memperkenalkan berbagai mekanisme yang beragam dan belum pernah dikenal dunia sebelumnya bagi umat Islam maupun non muslim demi terciptanya jaminan sosial, saling mencurahkan cinta dan kasih sayang dan demi kebangkitan peradaban Islam. [habis]

 

Sumber: Tabolid Alhikmah

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *