Allah Ta’ala berfirman:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Ali Imran: 92)

Kata “al-Birr” yang disebut dalam ayat ini secara bahasa berarti “keluasan dalam kebaikan”. Dari akar kata yang sama terbit kata “al-Barr” yang berarti daratan karena luasnya. Ini berarti bahwa Al-Birr mencakup segala bentuk kebaikan. Namun kebaikan terkait dengan harta yang disebutkan setelahnya.

Imam Asy-Syaukani mendefinisikan al-Birr sebagai segala bentuk kebajikan, yang ditafsirkan oleh surah Al-Baqarah ayat 177 dengan enam prinsip iman dan prinsip-prinsip amal saleh. Selanjutnya beliau menyebutkan, “Kalian tidak akan bisa mencapai derajat al-Abrar yang ditandai dengan keimanan yang sebenar-benarnya (Shidqul Iman) dan kesalehan amal (Shalahul Amal) hingga kalian menginfakkan harta yang kalian paling cintai di jalan Allah Swt.”

Secara korelatif, ayat di atas sangat erat hubungannya dengan surah Al-Baqarah ayat 267. Allah Swt memerintahkan orang-orang yang beriman agar rela melakukan infak dari harta-harta yang baik yang tentunya ia senangi. Karena setiap orang menginginkan yang baik dan mencintainya. Demikian juga berinfak hendaklah dengan yang baik sehingga mendapatkan penerimaan yang baik pula dari mereka yang membutuhkan.

Melalui ayat ini, Allah menginginkan agar hamba-hamba-Nya mampu melakukan yang terbaik dalam melakukan penghambaan diri kepada-Nya, termasuk dalam mengabdi dengan harta yang dimilikinya. Betapa masalah harta sangat membutuhkan arahan dan petunjuk praktis dari Yang menganugerahkannya. Jika tidak meyakini ini, manusia akan tetap dalam tabiatnya, “Sesungguhnya manusia itu sangat bakhil karena cintanya yang besar kepada hartanya.” (al-‘Adiyat: 8).

Pada tataran aplikasinya, pengaruh ayat di atas sangat besar dalam jiwa para generasi terbaik umat ini.

Imam Ahmad meriwayatkan dengan isnadnya dari Abu Ishaq Abdullah bin Abi Thalhah, ia mendengar Anas bin Malik berkata, “Abu Thalhah adalah orang Anshar yang paling banyak hartanya, dan harta kebanggaan yang paling dicintainya adalah kebun “Bairuha” yang letaknya berhadapan dengan masjid Nabawi. Rasulullah juga kerapkali singgah ke kebun itu dan meminun airnya dengan senang hati.”

Anas melanjutkan ucapannya, “Ketika ayat ini turun, Abu Thalhah segera menemui Rasulullah saw dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, Allah telah berfirman dan harta yang paling saya cintai adalah Bairuha. Sesungguhnya ia kini menjadi harta sedekahku yang aku harapkan kebaikan darinya dan sebagai simpanan di sisi Allah. Maka taruhlah ia wahai Rasulullah sesuai dengan apa yang Allah beritahukan kepada Engkau.’ Rasulullah menjawab, ‘Bagus, bagus, itu adalah harta yang menguntungkan, itu adalah harta yang menguntungkan. Saya sudah mendengar dan menurut pandangan saya, engkau peruntukkanlah untuk sanak kerabat.’ Abu Thalhah menjawab, ‘Saya laksanakan, wahai Rasulullah.’ Lalu Abu Thalhah membagi-membagikan harta yang paling ia cintai kepada sanak kerabat dan anak-anak pamannya sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

Dalam Shahihain, diriwayatkan bahwa Umar bin Khattab berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak pernah memiliki harta yang menurut pandangan saya lebih berharga daripada bagian saya yang terletak di Khaibar. Maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku terhadap tanah saya ini?” Rasulullah menjawab, “Tahanlah asalnya dan sedekahkanlah hasilnya.” Inilah wakaf Umar bin Khattab.[]

Penulis: Dr. Atabik Luthfi, Ketua Divisi Humas, Sosialisasi, dan Literasi BWI
Editor: Nurkaib

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *