Seluruh Nazhir Wajib Ikuti Peraturan

 

Jakarta (9/9/08) | Sejak disahkannya UU Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaannya, seluruh nazhir (pengelola wakaf) wajib mengikuti ketentuan PP tersebut. Nazhir (baik perseorangan, organisasi maupun badan hukum) wajib mendaftarkan diri pada Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan Menteri Agama (Menag) RI melalui Kantor Urusan Agama (KUA) setempat. 

 

Adapun tugas Nazhir, sebagaimana dimaksud dalam UU wakaf pasal 11, wajib mengadministrasikan, mengelola, mengembangkan, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf. Dan secara berkala, nazhir wajib membuat laporan kepada Menteri dan BWI mengenai kegiatan perwakafan sesuai dengan apa yang telah diatur di dalam Peraturan Menteri. (Pasal 13, PP 42/2006).

Karena adanya nazhir yang diangkat jauh sebelum PP atau UU tersebut dibentuk, maka sesuai dengan ketentuan ini, mereka wajib mendaftarkan diri kepada BWI atau Menteri melalui KUA setempat.

Beberapa persoalan yang saat ini sering timbul mengenai pengelolaan harta wakaf sebagian besar dikarenakan adanya perebutan antar nazhir. Satu pihak menyatakan yang bersangkutan sudah habis masa berlakunya, yang satu lagi mengatakan yang bersangkutan meminta pergantian karena menginginkan jabatan tersebut. Inilah yang menjadi conflict of interest (konflik kepentingan) antar nazhir.

Sesuai dengan pasal 14 PP Nomor 42 Tahun 2006 tersebut, masa jabatan seorang Nazhir adalah selama lima tahun dan dapat diangkat kembali. Namun, karena adanya konflik kepentingan, seringkali masalah ini yang muncul.

Seorang nazhir dapat diganti apabila: habis masa jabatannya, meninggal dunia, berhalangan tetap, mengundurkan diri atau diberhentikan oleh Badan Wakaf Indonesia (pasal 5, PP 42/2006). Dari beberapa survei yang dilakukan BWI, nazhir yang bermasalah itu biasanya dikarenakan tidak bisa menjalankan tugasnya atau bahasa hukumnya disebut berhalangan tetap.

Karena itulah Badan Wakaf Indonesia selaku organisasi yang menaungi para nazhir dan mengembangkan pengelolaan harta wakaf, akan berusaha maksimal dalam menyelesaikan setiap persoalan dengan baik. Perlu digaris bawahi, BWI bukanlah pengadilan, tetapi bertanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan perwakafan. Jika nantinya BWI belum bisa menyelesaikan, maka penyelesaian masalah ditempuh melalui arbitrase atau pengadilan untuk mendapatkan kepastian hukum (pasal 62, UU 41/2004). (rpblk) 

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *