BWI Mediasi Sengketa Wakaf Dakwah Islam

 

Jakarta (27/10/08) | Meski telah dimediasi oleh pihak KUA Matraman dan Kantor Wilayah Depag DKI Jakarta, sengketa pengelolaan aset wakaf yang berasal dari Yayasan Dakwah Islam itu masih saja tak berujung. Akhirnya, BWI mengambil inisiatif menjadi mediator antara dua belah pihak yang sengketa, Yayasan Dakwah Islam dan Nazhir Masjid Dakwah Islam. Selasa, 21 Oktober 2008, rapat mediasi dua belah pihak digelar di kantor BWI, Pondok Gede, Jakarta Timur. Selain kedua belah pihak, pertemuan juga dihadiri oleh berbagai pihak, antara lain dari KUA Kecamatan Matraman, Kanwil Depag DKI, dan Jamaah Masjid Dakwah Islam.

 

Dalam hal ini, Kepala Divisi Pembinaan Nazhir BWI DR. KH. Maghfur Utsman bertindak sebagai pemimpin jalannya proses mediasi. Rapat berjalan alot. Dua belah pihak masih saja tetap ngotot pada pendirian masing-masing. Bahkan, sekretaris Yayasan Dakwah Islam Drs. H. Zuhroni, M.Ag. menggugat keabsahan bukti Akta Ikrar Wakaf (AIW) yang dipegang oleh Nadzir Masjid Dakwah Islam.

“Apa betul dulu itu memang terjadi ikrar wakaf?” tanya Zuhroni.
“Jelas betul, ini saya pegang AIW-nya,” jawab H. Yusuf Soekisno, ketua Nazhir Masjid Dakwah Islam.

Debat antara dua belah pihak pun tak terhindar. Kiai Maghfur mencoba melerai. “Kalau itu memang masalahnya, ya mohon maaf jangan di bahas di sini,” katanya. Ia menyarankan untuk membahas gugatan keabsahan wakaf Yayasan Dakwah Islam itu ke pengadilan. Sebab, menurutnya, BWI hanya berwenang untuk memediasi masalah-masalah terkait dengan pengembangan aset wakaf, bukan sengketa soal Akta atau Sertifikat Tanah.

Keduanya baru menyadari hal itu. “Ya, kalau memang tidak percaya keabsahan wakaf ini, kami siap digugat di pengadilan,” ujar Yusuf. Zahroni pun mereda. Tapi, ia kembali bersuara ihwal manajemen pengelolaan aset wakaf yang dinilai kurang transparan. Dan juga, tidak pernah melibatkan Idris Sutan Sampono dalam pengelolaan. Padahal, Idris masih tercatat sebagai salah satu dari lima nazhir Masjid Dakwah Islam sekaligus Pembina Yayasan Dakwah Islam. “Kami dulu sering mengundang pak Idris, tapi ia menyerahkan pengelolaan sepenuhnya pada kami karena faktor usia yang sudah sepuh,” terang Yusuf.

“Tidak, tidak betul itu,” sahut Idris, “Saya tidak pernah diundang dalam rapat-rapat.” Idris merasa tidak dianggap sebagai nazhir karena tidak pernah dilibatkan dalam pengelolaan. Karena itu, ia menuntut nazhir Masjid Dakwah Islam yang ada sekarang ini dibubarkan saja atau semuanya mengundurkan diri, setelah itu baru dipilih nazhir baru sesuai pilihan berbagai pihak terkait.

“Biarkan masyarakat dan jamaah yang memilih,” tegasnya. Kekecewaan Idris ini juga diakibatkan tidak dilibatkannya ia dalam proses pengangkatan nazhir baru tahun 2005, padal waktu itu ia juga termasuk bagian dari nazhir lama.

Atas tuntutan Idris ini, Kiai Maghfur menawarkan jalan kompromi. Karena, menurutnya, pangkal masalah ini adalah tidak dimasukkannya nama-nama nazhir dari unsur Yayasan Dakwah Islam. Ada dua model kompromi. Pertama, semua nazhir mengundurkan diri, lalu semua pihak bermusyawarah untuk memilih nazhir yang baru lagi. Kedua, komposisi nazhir yang ada sekarang itu ditambah lagi orangnya dari unsur yayasan.

Saat itu, dua belah pihak belum bisa memutuskan, jalan kompromi mana yang harus dipilih. Tapi, setidaknya sudah ada titik terang, langkah ke depan yang harus dipilih dalam rangka islah atau mengakhiri sengketa yang tidak produktif ini. “Anda boleh kembali ke sini lagi, kalau sudah siap memilih dua tawaran tersebut. Jika masih keras kepala, kami angkat tangan,” pungkas Kiai Maghfur sebelum forum mediasi ditutup. [aum] 

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *