Jakarta (20/11/08) | BWI dalam menangani kasus perwakafan di Indonesia seringkali menemukan kasus penukaran harta benda wakaf. Pada dasarnya, penukaran harta benda wakaf adalah tidak boleh, kecuali memenuhi beberapa syarat: (a) sesuai RUTR (Rencana Umum Tata Ruang), (b) Izin tertulis dari Menteri atas persetujuan BWI, dan (c) harta wakaf baru senilai manfaat dan nilai tukarnya. (UU No. 41/2004, pasal, 40 dan 41).
Ketentuan ini diperjelas lagi dalam PP No.42/2006, pasal 49-51. Izin tertulis dari Menteri hanya dapat diberikan dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. Perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
b. Harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf.
c. Pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak.
Selain itu, izin pertukaran harta benda wakaf hanya dapat diberikan jika:
a. Harta benda penukar memiliki sertifikat atau bukti kepemilikan sah sesuai dengan Peraturan Perundang¬-undangan
b. Nilai dan manfaat harta benda penukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.
Sedangkan Nilai dan manfaat harta benda penukar adalah ditetapkan oleh bupati/walikota berdasarkan rekomendasi tim penilai yang anggotanya terdiri dari unsur:
a. Pemerintah daerah kabupaten/kota
b. Kantor pertanahan kabupaten/kota
c. Majelis Ulama Indonesia (MUI) kabupaten/kota
d. Kantor Departemen Agama kabupaten/kota
e. Nazhir tanah wakaf yang bersangkutan
Adapun nilai dan manfaat harta benda penukar tersebut dihitung sebagai berikut:
a. Harta benda penukar memiliki Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sekurang-kurangnya sama dengan NJOP harta benda wakaf; dan
b. Harta benda penukar berada di wilayah yang strategis dan mudah untuk dikembangkan. [aum]