Oleh Dr. Uswatun Hasanah, MA.

Ketua Divisi Penelitian dan Pengemabangan BWI.

 

Asal-muasal lahirnya hukum wakaf adalah bertujuan mendekatkan diri kepada Allah untuk mencari keridhaan-Nya. Karena itu, pemanfaatan wakaf harus dalam batas-batas yang diperbolehkan syariat Islam, dan dalam koridor pendekatan diri kepada Allah. Seperti, wakaf untuk fakir miskin, ulama, mahasiswa, keluarga dekat, atau untuk kepentingan umum seperti masjid, rumah sakit, sarana olah raga, dan perpustakaan. Menurut Sayyid Sabiq, berdasarkan tujuannya, wakaf terbagi dua: wakaf ahli dan wakaf khairi.

 

Wakaf ahli adalah wakaf yang diperuntukkan bagi anak-cucu atau kerabat. Sedangkan waikaf khairi adalah wakaf yang ditujukan untuk kepentingan umum. Pada prinsipnya, wakaf ahli tidak berbeda dengan wakaf khairi. Keduanya sama-sama bertujuan membantu pihak-pihak yang memerlukan. Ini sebagai realisasi perintah Allah kepada manusia untuk membelanjakan sebagian dari hartanya untuk orang lain, sebagaimana tercantum dalam surat Ali Imran ayat 92.

Perbedaan antara keduanya hanya terletak pada pemanfaatannya. Pada wakaf ahli, pemanfaat¬annya hanya sebatas keluar¬ga wakif. Yakni, anak-anak mereka pada tingkatan pertama dan seluruh keturunannya secara turun temurun sampai seluruh anggota keluarga itu meninggal dunia. Baru setelah itu hasil wakaf dapat dimanfaatkan orang lain, seperti anak yatim piatu, fakir-miskin dan pihak lain yang memerlukan. Sedangkan yang dimaksud wakaf khairi adalah wakaf yang sejak semula ditujukan untuk kepentingan umum.

Di beberapa negara di limur Tengah, wakaf ahli pada akhirnya menimbulkan masalah, terutama kalau wakaf ahli itu berupa tanah pertanian. Masalah yang timbul itu berupa pe-nyalahgunaan wakaf. Misalnya, menjadikan wakaf ahli seba¬gai alat untuk menghindari pembagian kekayaan pada ahli waris yang berhak menerimanya, setelah wakif meninggal dunia. Kadang kala wakaf ahli juga dijadikan alat untuk mengelakkan tuntutan kreditor terhadap utang-utang yang dimiliki orang yang mewakafkan tanahnya itu. Itu sebabnya, waka ahli atau wakaf keluarga ini dibatasi dan bahkan dihapuskan di beberapa negara.

Sepanjang sejarah, cukup banyak program yang didanai dari hasil wakaf. Seperti pengembangan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat, rehabilitasi orang cacat membantu proyek penciptaan lapangan kerja, asrama maha¬siswa, sarana dan prasarana mahasiswa melakukan riset dan menyelesaikan studi mereka, penulisan buku, penerjemahan, kegiatan-kegiatan ilmiah dalam berbagai bidang termasuk bidang kesehatan dan lain-lain.

Dalam perkembangannya wakaf tidak hanya mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan masyarakat. Di bidang kesehatan misalnya, lembaga wakaf menyediakan fasilitas peningkatan kesehatan masyarakat seperti pem-bangunan rumah sakit, sekolah medis, industri obat-obatan dan kimia. 

Rasulullah saw sendiri pernali mewakafkan tujuh bidang kebun di Madinah, dan hasil wakaf itu diperuntukkan bagi kepentingan sosial, yakni untuk fakir miskin, ibnu sabil dan sanak keluarga. Teladan ini kemudian diikuti pula oleh Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Talib dan para sahabat lainnya. 

Syarat lain dari tujuan wakaf adalah tetapnya tujuan wakaf selama-lamanya. Jika tujuan wakaf tidak disebutkan, menurut Abu Hanifah dan Muhammad, wakaf menjadi tidak sah. Sedangkan di kalangan ulama Syafi’iyyah ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan sah wakaf mutlak dan tidak menyebutkan kepada siapa wakaf itu diperuntukkan, karena wakaf adalah pelepasan pemilikan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pendapat lainnya, yang lebih kuat adalah yang menganggap tidak sah wakaf yang tidak jelas peruntukannya. Oleh karena itu, idealnya, wakif harus menyebutkan dengan jelas kepada siapa wakaf itu diperuntukkan. []

Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *