Jakarta – Wakaf bukanlah istilah baru bagi umat Islam di Tanah Air. Sejak dulu, umat Islam yang kaya biasa mewakafkan tanah dan bangunan yang mereka miliki untuk digunakan di jalan Allah. Mungkinkah setiap Muslim bisa berwakaf tanpa harus menunggu menjadi kaya? Jawabannya, bisa. Sejak 2002, para ulama di Indonesia mulai mengenalkan wakaf uang yang memungkinkan setiap Muslim bisa mewakafkan uang mereka. Lalu sejak kapan wakaf uang mulai diterapkan di dunia Islam? Sejatinya, wakaf uang memang belum dikenal di zaman Rasulullah. Wakaf uang (cash waqf) baru dipraktikkan sejak awal abad kedua hijriyah. Imam Az-Zuhri (wafat 124 H) merupakan salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al-hadits memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam.
Ketua Badan Pelaksana Badan Wakaf Indonesia (BWI), Prof KH Tholhah Hasan, mengungkapkan, dalam sejarah perwakafan di negara-negara Islam, pada zaman kepemimpinan Salahudin Al-Ayyubi, di Mesir sudah berkembang wakaf uang. Hasilnya, digunakan untuk membiayai pembangunan negara serta membangun masjid, sekolah, rumah sakit serta tempat-tempat penginapan.
’’Sebelumnya juga, Nurudin Az-Zangki yang berkuasa di Suriah juga menggunakan wakaf uang untuk memberdayakan umat,’’ ungkap Kiai Tholhah. Wakaf uang semakin popular pada era kekuasaan Kekhalifahan Turki Usmani. Pada zaman itu, wakaf uang telah menjadi bagaian dari kehidupan umat Islam.
Bersumber dari dana wakaf uang itulah, pemeritah Turki Usmani mendirikan rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah dan lain sebagainya. ‘’Di Indonesia, wakaf uang memang kurang popular, karena sebagian besar umat Islam Indonesia bermazhab Syafi’i,’’ tuturnya.
Pada April 2002, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan fatwa yang membolehkan wakaf uang. Ketua MUI, KH Ma’ruf Amin, mengatakan, wakaf uang adalah sesuatu yang memiliki nilai yang diwakafkan untuk kepentingan masyarakat. ”Dulu, wakaf uang diperdebatkan tapi kini tidak lagi. Yang penting, ‘ain-nya (benda)-nya tidak berkurang dan nilainya tetap, bisa dipertahankan,” ungkapnya.
Menurut tokoh Nahdlatul Ulama ini, uang yang diwakafkan, terlepas kepemilikannya dari pemiliknya. Artinya, uang itu sudah menjadi milik Allah SWT dan masyarakat. Sehingga, ahli warisnya tidak berhak lagi untuk menguasai uang tersebut.
Lantas siapa saja yang bisa mewakafkan uang? Menurut dia, siapa saja bisa mewakafkan uangnya. Dengan catatan uang tersebut adalah miliknya sendiri, bukan milik orang lain. ”Uang yang diwakafkan haruslah uang yang didapat dari cara yang halal. Jangan hasil mencuri atau korupsi,” ujarnya menegaskan.
Kiai Ma’ruf menambahkan tak ada batas minimal atau maksimal besaran wakaf uang. Yang terpenting, papar Kiai Ma’ruf, uang itu miliknya sendiri dan didapat dengan cara yang halal. Wakaf uang di Indonesia juga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
Guna mengatur masalah wakaf, Indonesia juga telah memiliki Badan Wakaf Indonesia (BWI). Lemaga independen ini dibentuk untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional. BWI telah mengatur tata cara mewakafkan uang, dengan bekerja sama dengan lima bank syariah sebagai penerima wakaf uang (PWU).
Kelima bank syariah itu antara lain; Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, Bank Muamalat, Bank DKI Syariah serta Bank Mega Syariah. Menurut Kiai Ma’ruf, selain bisa membayarkan wakaf uang kepada lembaga yang dikelola BWI, umat Islam pun bisa mewakafkan uangnya kepada lembaga-lembaga yang siap dan mampu mengelola wakaf.
”Tidak ada masalah seseorang mewakafkan uangnya kepada lembaga pendidikan, asal wakaf uang tersebut dapat dikelola dengan baik dan nilainya tidak berkurang. Lebih menarik jika setelah penyerahan wakaf uang, kepada wakif diserahkan sertifikat sebagai tanda bukti wakaf uang,” ungkapnya.
Dirjen Bimas Islam Departemen Agama, Prof Nasaruddin Umar, mengakui wakaf uang relatif baru dalam dunia Islam. ”Memang ini (wakaf uang) relatif baru di dunia perbendaharaan fikih Indonesia, karena mayoritas mazhab yang berlaku di Indonesia adalah Syafi’I,’’ ujar Rektor PTIQ itu menegaskan.
Dalam Mazhab Syafi’I, kata dia, tidak ditemukan qaul (pendapat) yang memberikan pembenaran terhadap wakaf uang. Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menambahkan, satu-satunya qaul yang bisa ditemukan dalam kitab fikih ialah qaul Abu Hanifah yang menganggap wakaf uang itu dimungkinkan.
”Organisasi Konferensi Islam (OKI) beberapa waktu lalu di Saudi Arabia sepakat memberikan legitimasi wakaf uang. Ternyata, kesepakatan ini disambut negara-negara Islam sangat positif,” jelasnya. Wakaf uang, menurutnya, memungkinkan setiap Muslim untuk berwakaf.
”Potensi wakaf uang di Indonesia sangat besar bisa melebihi dari potensi zakat yang nilainya mencapai Rp 19,3 triliun. Karena seseorang bisa mewakafkan uangnya, tanah maupun kebun atau sawahnya,” imbuh Prof Nasaruddin.
Untuk itu, sudah saatnya semua pihak bekerja sama membangun kesadaran umat Islam untuk gemar berwakaf baik dalam bentuk uang, tanah maupun benda lainnya. Karena, wakaf itu sifatnya permanen, tidak seperti zakat yang harus habis dibagikan kepada para mustahiknya.
”Wakaf justru harus tetap pokoknya dan bahkan kalau bisa bertambah. Yang dapat dimanfaatkan adalah hasil dari pengelolaan wakaf,” paparnya. Indonesia bisa meniru negara Islam yang telah berhasil mengelola dana wakaf sehingga memberikan manfaat yang sangat besar bagi masyarakat.
Prof Nasaruddin dan Kiai ma’ruf mengajak para pegawai negeri, pegawai swasta dan pekerja yang memiliki pendapatan di atas rata-rata, untuk mewakafkan uangnya. Jika dikelola dengan professional dan transparan, dana wakaf uang itu akan mampu memartabatkan umat yang masih terjerat dalam kubangan kemiskinan dan ketertinggalan. (dam/rpblk)